“Lepaskan, In-kong, lepaskan. Biarkan saya mati saja! Tiada gunanya hidup lebih lama kalau in-kong tidak mau menerima saya ……. “Gadis itu menangis sesunggukan.
“Akan tetapi mengapa, Bi Hwa? Mengapa engkau menjadi nekat begini? Engkau masih mempunyai keluarga, bahkan ayahmu adalah seorang kepala dusun yang hidupnya serba kecukupan!” bujuk A Siong tanpa melepaskan rangkulannya karena gadis itu masih meronta, berusaha melepaskan dekapan A Siong.
“Tidak, tidak! Nama saya sudah tercemar, semua orang akan membicarakan saya, semua orang akan mencemooh dan memandang hina! Bahkan orang tuaku juga akan menderita karena aib. Biarkan saya mati, In-kong!”.
“Husshhh! Mengapa engkau berkata demikian? Aku mendengar sendiri ketika engkau bicara dengan kepala perampok itu. Engkau belum ternoda atau ….. sudahkah tercemar maka sekarang menjadi putus asa?”. “Tidak, In-kong! Kalau saya sudah ternoda, tentu saya sudah tidak hidup lagi. Tentu saya sudah membunuh diri”.
“Kalau begitu, mengapa engkau merasa namamu tercemar?”.
In-kong tidak tahu, semua gadis yang sudah di culik oelh iblis itu telah ternoda. Siapa yang akan percaya bahwa saya belum tersentuh? Tidak akan ada yang percaya dan orang sekampung akan mencemooh”. Ia berhenti sebentar sambil terisak. “Bahkan ayah ibuku tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya belum ternoda. Ah, malu sekali, In-kong. Mati jauh lebih baik daripada hidup menghadapi itu semua!”.
“Bi Hwa, biarlah aku yang akan bicara dengan orang tuamu.Aku yang akan menyakinkan mereka bahwa engkau masih bersih, belum ternoda. dan kalau ada orang di dusunmu yang tidak percaya dan mengejekmu, dia akan ku hajar!”.
“Saya tidak menginginkan itu, In-kong. Saya hanya menginginkan agar diperbolehkan ikut dengan mu, kemana pun In-kong pergi”.
“Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerimamu, betapa pun berat rasa hatiku. Aku tidak enak kepada sute, kepada suhu dan “
“Engkau keliru, suheng!” tiba-tiba ucapan A Siong itu terputus oleh suara ini dan muncullah Siauw Beng bersama Ai Yin di tempat itu. Ternyata tadi ketika Siauw Beng mendengarkan percakapan A Siong dan Bi Hwa sambil bersembunyi di belakang batu besar, datang Ai Yin menyusulnya dan gadis inipun ikut mendengarkan.
“Sute ….! Ai Yin …..! Kalian … kalian di sini ….? “A Siong bertanya gagap sehingga dia lupa bahwa kedua lengannya masih mendekap pinggang ramping Bi Hwa! Adapun gadis itu yang melepaskan rangkulan lengan A Siong dengan kedua tangannya. Baru A Siong menyadari dan cepat dia melepaskan rangkulannya dan mundur dua langkah.
"Suheng, Bi Hwa, Mari kita bicara di serambi“, kata Siauw Beng dengan suara serius. Mereka berempat lalu pergi ke rumah besar itu. Api unggun di serambi itu masih menyala dan Siauw Beng segera menambahkan kayu sehingga api unggunnya bernya semakin besar, mengusir hawa dingin dan nyamuk. Mereka duduk dekat api unggun, A Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah, sedangkan Bi Hwa mengambil tempat duduk di atas lantai dekat pemuda itu, memandang kepada Siauw Beng dan Ai Yin dengan harap-harap cemas.
“Maaf, suheng. Tadi aku telah melihat dan mendengar semua tentang keadaan kalian berdua. Engkau keliru kalau merasa tidak enak kepadaku dan kepada ayahku. Suheng, engkau berhak menentukkan jalan hidupmu sendiri. Apalagi mengenai perjodohan. Ayah tentu akan menyetujui dan merestui kalau engkau berjodoh dengan nona ini. Aku juga rela sepenuhnya, suheng. Hanya engkau yang dapat menolong Bi Hwa dan kalau kalian sudah saling mencinta, mengapa mesti ragu-ragu lagi?”.
“Siauw Beng berkata benar, A Siong. Tidak ada aib menimpa dari Bi Hwa dan keluarganya kalau ia menikah denganmu. Biarlah aku yang akan membicarakan dengan orang tua Bi Hwa, melamarnya untukmu agar kalian berdua dapat menikah dengan sah”.
“Tepat sekali, suheng. Jangan pikirkan tentang diriku. Aku bukan anak kecil lagi yang perlu kau bantu dan lincungi terus menerus. Engkau dapat menjadi suami Bi Hwa dan tinggal di sini, membantu usaha kepala dusun agar menyejahterakan kehidupan rakyat”.
Di hujan desakan Siauw Beng dan Ai Yin itu, A Siong tak mampu berkata apa-apa lagi dan tiba-tiba Bi Hwa berlutut menyembah kepada Siauw Beng dan Ai Yin.
“Ih, jangan begitu, Bi Hwa!” kata Ai Yin dan cepat ia memegang kedua pundak Bi Hwa untuk di paksa bangkit dan duduk kembali. Setelah Siauw Beng menyakinkan hati A Siong bahwa dia tidak keberatan bahkan girang kalau A Siong berjodoh dengan Lu Bi Hwa dan tinggal di dusun tempat tinggal gadis itu, dan menyakinkannya pula bahwa Ma Giok, ayah angkatnya, juga guru mereka pasti tidak akan merasa keberatan atau marah, akhirnya A Siong menerima juga.
Memang hatinya sudah tertarik kepada Bi Hwa. Dia merasa kasihan dan juga jatuh cinta karena selain dalam penglihatannya tidak ada wanita yang lebih cantik menarik daripada Bi Hwa, juga dia merasa kagum akan watak gadis itu.
Pada keesokan harinya, tiga orang pendekar itu, sambil mengajak Bi Hwa, mengiringkan lima orang gadis korban para penjahat dan memerintahkan belasan orang anggota Hek- houw-pang untuk mengakut semua barang rampokan dan menggiringkan beberapa ekor kerbau dan kambing, menuruni bukit itu menuju ke dusun Ki-cung. Rombongan ini di sambut oleh seluruh penduduk dusun yang sudah mendengar akan turunnya rombongan ini dari Bukit Menjangan. Para gadis itu di sambut dengan tangisan oleh keluarga mereka. Kepala dusun Lu dan keluarganya juga menyambut Bi Hwa dengan girang. Ketika penduduk melihat bahwa yang mengangkut barang rampokan dan menggiring ternak adalah para anggota gerombolan, mereka menjadi marah dan tentu belasan orang anggota perampok itu akan di keroyok dan di bunuh kalau saja A Siong, Siauw Beng dan Ai Yin tidak melarang mereka.
Semua penduduk bergembira ria mendengar bahwa gerombolan perampok itu telah terbasmi dan pemimpin mereka yang di takuti telah tewas. Setelah semua barang rampokan dan ternak di terima oleh penduduk dan di kembalikan kepada pemilik masing- masing, belasan orang bekas anggota Hek-houw-pang itu lalu diperkenankan pergi setelah diberi ancaman keras oleh Siauw Beng. Mereka mengucapkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Mereka inilah yang menyebarkan berita tentang munculnya seorang pendekar baru berjuluk si Tangan Halilintar, pendekar yang buntung lengan kirinya akan tetapi amat lihai.
Sebentar saja julukan itu tersebar sampai luas. Siauw Beng, A Siong dan Ai Yin di jamu pesta makan oleh Lurah Lu, kepala dusun ayah Lu Bi Hwa beserta beberapa orang yang di anggap sebagai tua-tua dusun Ki-cung. Mereka makan minum dengan gembira dan dalam kesempatan ini, Ai Yin berkata kepada Lurah Lu dan isterinya.
“Paman dan bibi berdua, kami tadi telah menceritakan tentang puteri kalian Bi Hwa yang nyaris celaka akan tetapi dapat di selamatkan oleh A Siong. Sekarang kami akan memperkenalkan keadaan A Siong kepada paman berdua sekeluarga. Ketahuilah bahwa A Siong ini telah yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga lain kecuali kami berdua sebagai sahabat baiknya dan gurunya yang tinggal jauh di Thai-san. A Siong sahabat kami ini adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan bijaksana, usianya sekarang sudah …. Eh, berapa usiamu, A Siong?”.
Dengan kedua pipi kemerahan A Siong menjawab sambil menundukkan mukanya. “Tiga puluh tiga tahun”.
“Ya, tiga puluh tiga tahun. Akan tetapi dia masih perjaka tulen, belum pernah menikah, belum pernah berpacaran. Setelah dia menyelamatkan kehormatan dan bahkan nyawa Bi Hwa, maka terdapat hubungan kasih di antara mereka berdua. Karena A Siong tidak mempunyai keluarga, maka kami berdua sebagai sahabat baiknya menjadi wakil keluarganya untuk meminang puteri kalian Lu Bi Hwa untuk menjadi jodoh A Siong! Bagaimana pendapat Paman berdua dan keluarga?”.
Siauw Beng mendengarkan dengan kagum. Bukan main gadis ini. Dapat bicara tentang pinangan sedemikian lancarnya. Padahal kalau dia di suruh mewakili dan mengajukan pinangan seperti itu, dia pasti tidak akan mampu bicara!. A Siong menundukkan mukanya. Dia merasa malu dan juga hatinya berdebar tegang. Mungkinkah kepala dusun dan keluarganya dapat menerima dia yang tidak mempunyai apa-apa itu sebagai jodoh Lu Bi Hwa? Sambil tunduk dia melirik kea rah Bi Hwa yang juga duduk di situ, di sebelah ibunya dan dia melihat gadis itu juga menundukkan muka. Mendengar ucapan Ai Yin, Lurah Lu dan isterinya saling pandang. Sungguh pinangan itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka! Puteri mereka yang telah di culik perampok, kini di lamar seorang di antara tiga pendekar yang telah menyelamatkan, bukan saja puteri mereka, bahkan seluruh penduduk dusun itu dari gangguan gerombolan perampok? Hampir mereka tidak dapat percaya!.
“Bi Hwa, bagaimana pendapatmu?” Tanya ayah dan ibu itu kepada puteri mereka hamper berbareng.
Bi Hwa yang tadinya menunduk malu, kini mengangkat muka dan pandang matanya penuh keberanian dan kepastian, “Ayah dan ibu, In-kong A Siong telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku. Aku sudah mengambil keputusan bulat untuk ikut dengannya dan menjadi pelayannya. Kalau hal itu tidak dapat terlaksana, aku akan bunuh diri saya karena hidup hanya akan mendatangkan aib bagiku”.
Lurah Lu dan isterinya tertegun mendengar ucapan putrinya itu. Telah banyak pinangan di ajukan orang terhadap Bi Hwa, namun gadis mereka itu selalu menolak keras dan sekarang Bi Hwa telah begitu pasrah kepada penolongnya, A Siong yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu.
Terdengar suara tawa dari seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Kakek ini adalah paman dari Lurah Lu.
“Ha-ha-ha, kalian ini termangu-mangu mempertimbangkan apa lagi?” katanya kepada Lurah Lu dan istrinya. “Bi Hwa sudah berusia dua puluh tahun dan selama ini selalu menolak pinangan yang datang sehingga meresahkan hati keluarga kita. Sekarang dia menemukan jodoh yang begini baik! Mereka sudah saling cocok dan dengan adanya pendekar … A Siong, eh siapakah nama keluarganya …..?”
Siauw Beng menjawab, “Nama keluarga suheng adalah Tan, akan tetapi dia sudah terbiasa di sebut A Siong”. “Ya, dengan adanya Pendekar Tan Siong sebagai cucu mantuku di sini, bukan saja keluarga kita akan terjamin keselamatannya, bahkan keselamatan seluruh dusun dapat di lindungi. Dimana lagi Bi Hwa bisa mendapatkan seorang suami seperti dia?”.
Lurah Lu dan istrinya tertawa dan mereka memandang kakek yangmenjadi paman mereka itu. “Aih, Paman, siapa yang termangu-mangu dan ragu? Kami hanya terheran-heran mendengar pinangan itu! Bagaimana mungkin seorang pendekar besar seperti Taihiap ini sudi jodoh dengan anak kami …..?”