Si Tangan Halilintar Chapter 59

NIC

Siauw Beng dan A Siong tersenyum. Gadis ini lucu dan ramah. Mereka lalu duduk dalam perahu, berhadapan dengan Ai Yin dan Siauw Beng menceritakan keadaannya secara singkat.

“Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, mereka sudah meninggal dunia ketika aku masih …. Bayi, dan …..”.

“Aduh, kasihan sekali kau, Siauw Beng “, Ai Yin memotong.

“Sejak bayi aku di pelihara ayah angkatku, juga guruku, dan aku menjadi muridnya bersama suhengku A Siong ini. Dia jua sudah yatim piatu. Ayah angkatku itu adalah seorang pejuang pula, mungkin engkau sudah mendengar namanya, Ai Yin”.

“Siapa sih namanya?”.

“Namanya Ma Giok dan sekarang tinggal di Thai-san “

“Aih, kau maksudkan Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?”. “Benar, kau kenal dia?”. “Aku pernah mendengar namanya di puji-puji ayahku, akan tetapi susiok Can Ok pernah menceritakan bahwa Lam-liong mengkhianati perjuangan dan membela pembesar Mancu”.

Dari ucapannya ini saja, tahulah Siauw Beng bahwa gadis ini jujur dan terbuka, menceritakan apa adanya tanpa khawatir menyinggung perasaan orang.

“Aku tidak heran mendengar Can Ok bercerita seperti itu kepadamu, Ai Yin. Ketika itu, dua puluh tahun lebih yang lalu, guruku itu melihat rumah seorang pembesar Mancu diserbu segerombolan perampok yang selain merampok juga membunuh orang dan menculik wanita. Putera pembesar itu yang masih pengantin baru di culik oleh segerombolan perampok dan pengantin wanitanya, seorang perempuan Han, akan di perkosa di depan suaminya, Melihat ini, suhu turun tangan menyelamatkan mereka dan mengusir para perampok, walaupun gerombolan itu mengaku sebagai pejuang yang membenci Kerajaan Mancu. Nah, kalau engkau yang melihat peristiwa seperti itu terjadi di depanmu, apakah engkau tidak akan menolong mereka dan menentang para gerombolan itu?”.

Ai Yin mengangguk-angguk. “Sudah ku duga demikian, maka akupun tidak percaya kepada cerita susiok Can Ok. Buktinya, dia tadi juga bermaksud buruk kepada kalian. Aku tidak segan-segan menentang siapapun juga yang melakukan kejahatan”.

“Nah, setelah kami berdua selesai belajar ilmu-ilmu dari ayah angkatku dan dari mendiang suhu Pek In San-jin kami lalu di suruh turun gunung oleh ayah angkatku”.

“Hemm, Pek In San-jin? Nama itupun pernah ku dengar dari ayahku yang memuji-muji dia sebagai seorang tokoh sakti yang setia kepada Kerajaan Beng yang sudah runtuh oleh orang Mancu”.

Ai Yin memandang kepada Siauw Beng dengan kagum.

“Pantas engkau lihai, kiranya mendapat gemblengan dari orang sakti itu. Lalu kemana kalian hendak pergi?”.

“Kami hendak melihat-lihat keadaan Kota Raja”. Kata Siauw Beng yang tidak bercerita tentang ditemukannya Pedang Lui-kong Sin-kiam dan pelajaran ilmu silat di dinding gua.

“Ketika kami tiba di tepi Sungai Huang-ho, kami membeli sebuah perahu kecil ini dari orang yang menawarkannya. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu dan setibanya di sini, kami dihadang gerombolan tadi dan baru kami tahu bahwa yang menjual perahu kepada kami adalah Can Ok tadi. Mungkin dia melihat kantung uang kami ketika kami membayar perahu kecil itu. Nah, sekarang tiba giliranmu, untuk bercerita, Ai Yin. Ceritamu tentu jauh lebih menarik“.

“Namaku Wong Ai Yin. Aku tidak mempunyai ibu lagi. Ibu meninggal ketika aku masih kecil. Aku hidup bersama ayahku di dusun besar Po-keng di lereng gunung Beng-san. Ayahku bernama Wong Tat, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya Bu-tek Sin-kiam”.

“Aku pernah mendengar nama besar Bu-tek Sin-kiam. Menurut ayah angkatku, Bu-tek Sin- kiam adalah seorang pejuang yang ditakuti Kerajaan Mancu “, kata Siauw Beng. “Memang ayahku dahulu seorang pejuang yang gigih melawan orang-orang Mancu, akan tetapi karena semua perjuangan itu gagal, kini ayah lebih banyak bertapa di lereng Beng- San. Ayah pernah menjadi murid kakek guru Hui-kiam Lo-mo, maka ayahku menjadi suheng (Kakak seperguruan) Toat-beng Siang-kiam Can Ok yang kusebut susiok (paman guru)“.

“Akan tetapi bagaimana tingkat kepandaianmu dapat lebih tinggi daripada tingkat kepandaian paman gurumu, Ai Yin?” Tanya A Siong. “Tingkat kepandaian ayahku jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian kakek guru Hui- kiam Lo-mo karena setelah tamat belajar pada kakek guru, ayah memperdalam ilmunya dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet”.

Siauw Beng dan A Siong mengangguk-angguk maklum.

“Ayah sudah bertahun-tahun mengasingkan diri di gunung Beng-san dan tidak mencampuri urusan dunia ramai. Akan tetapi ayah selalu memesan kepadaku untuk membantu perjuangan para pendekar yang menentang kekuasaan pemerintah penjajah, juga agar aku bersikap dan bertindak sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Setelah ayah menganggap aku cukup kuat untuk melindungi diri sendiri, ayah memperkenankan aku pergi turun gunung dan memesan agar aku mengunjungi susiok Can Ok untuk membantunya kalau dia masih melakukan kegiatan melawan Kerajaan Mancu. Akan tetapi, ketika aku melihat dia mengganggu kalian yang bukan orang Mancu, aku menjadi penasaran dan menentangnya.

Sekarang aku tidak sudi lagi membantunya karena ternyata perjuangannya hanya menjadi kedok bagi gerombolannya yang sesungguhnya hanyalah gerombolan bajak sungai dan perampok!”.

Siauw Beng menghela napas panjang. “Yah, begitulah keadaannya, Ai Yin. Memang, menurut cerita ayahku, dahulu pemerintah Kerajaan Beng menjadi lemah karena para pemimpinnya hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, melakukan koropsi dan kecurangan sehingga Negara menjadi lemah, rakyatnya tidak bersemangat sehingga mudah saja mereka ditaklukan oleh Bangsa Mancu. Ketika itu, beberapa orang pendekar, termasuk ayahmu itu, berusaha untuk menentang pemerintah penjajah. Akan tetapi semua usaha itu gagal dan pemerintah Kerajaan Mancu menjadi semakin kuat sehingga seluruh wilayah daratan telah mereka kuasai. Kini, tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk melanjutkan perjuangan puluhan tahun yang lalu itu karena kita tidak akan mendapat dukungan rakyat jelata. Pemerintah Mancu ini lebih bijaksana, memperhatikan kesejahteraan rakyat jelata. Juga para pemimpin bangsa Mancu membuka kesempatan besar kepada pribumi Han untuk itu mendorong roda pemerintahan. Bahkan para bangsawan Mancu tidak segan-segan untuk menggunakan nama Han, menerima kebudayaan kita sebagai kebudayaan mereka, kehidupan keluarga mereka juga disesuaikan dengan kehidupan kita. Tidaklah mengherankan kalau rakyat akhirnya dapat menerima kepemimpinan bangsa Mancu, bahkan para pendekar pun banyak yang mulai mendukung usaha pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Aku sendiri sudah beberapa kali bertemu orang-orang Mancu yang berwatak baik. Juga ayah angkatku menganjurkan kepadaku agar kami membela kebenaran dan keadilan sebagai pendekar karena sekarang bukan waktunya untuk memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Menurut ayahku, pemberontakan menggulingkan pemerintah Mancu bukanlah hal yang mudah karena tidak mungkin kita lakukan tanpa dukungan sepenuhnya dari rakyat jelata. Sekarang kami berdua harus melakukan perantauan dan siap menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tidak peduli apakah dia orang Mancu ataukah orang Han sendiri. Dengan cara itu pun kita sudah membantu memerangi kejahatan dan menentramkan kehidupan rakyat”.

“Benar sekali, Siauw Beng. Ayahku juga berpendapat seperti itu. Kau tadi mengatakan bahwa kalian hendak pergi ke kota raja?”.

“Ya, akan tetapi sebelum ke Kota raja, kami hendak pergi dulu ke kota Keng-koan. Aku ingin berkunjung ke makam ayah kandungku”.

Posting Komentar