“Tidak bisa! Kalau engkau mengaku kalah sebelum bertanding, berarti engkau pengecut!”.
“Sute, nona ini hanya ingin menguji kepandaian, mengapa engkau menolaknya? Tanpa mengenal ilmu masing-masing persahabatan tidak akan menjadi akrab dan dapat saling mencurigai”.
Mendengar ucapan A Siong itu, Siauw Beng menghela napas panjang. Sebetulnya dia tidak ingin bertanding dengan gadis yang telah membelanya itu. Akan tetapi gadis itu memaksanya, bahkan kini A Siong juga ikut membujuknya. Malah dia akan di anggap pengecut kalau mengaku kalah sebelum bertanding, dia akan melayani dan sekaligus mengobati ketinggian hati gadis liar ini, gadis yang bersikap begitu berani terhadap paman gurunya sendiri yang ugal-ugalan namun agaknya memiliki ilmu kepandian yang tinggi.
“Baiklah kalau engkau memaksa. Nah, maju dan seranglah!”.
Melihat Siauw Beng tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri dengan santai, gadis itu memberi peringatan dengan seruang nyaring. “Lihat seranganku!” Ia lalu menyerang maju. Dari kuda-kuda dengan jurus Pek-ho-liang-ci ( Bangau Putih Pentang Sayap) ia lalu bergerak maju dan kedua tangannya dengan cepat dan bergantian menotok kea rah jalan darah di tujuh jalan darah terpenting yang terdapat di bagian tubuh Siauw Beng. Ia menyerang dengan jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Gerakannya ringan dan cepat sekali, juga dari angin pukulan yang menyambar mendahului jari-jari mungil yang menotok, Siauw Beng tahu bahwa gadis ini memiliki sin-kang ( tenaga sakti) yang kuat, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan Can Ok tadi. Dia cepat mengelak ke kanan kiri, kecepatan gadis itu sehingga totokan bertubi-tubi itu tak pernah mengenai sasaran. Setelah mengelak terus dan melihat betapa gadis itu mengejarnya dan bahkan mempercepat serangannya yang bertubi-tubi, Siauw Beng menangkis dengan ujung bajunya yang kosong.
“Wuuuttt ….. plak-plak-plak!” Tiga kali totokan gadis itu tertangkis ujung lengan baju dan gadis itu merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat oleh lengan baju yang lemas itu. Ia kagum sekali, maklum bahwa orang yang sudah mampu menyalurkan tenaga ke ujung kain lengan baju itu tentu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Timbul kegembiraan di hati gadis itu. Tadi ia sudah menduga bahwa pemuda lengan buntung yang memakai julukan Si Tangan Halilintar ini pasti seorang yang lihai sekali dan ternyata benar. Ayahnya pernah mengingatkannya bahwa kalau ia berhadapan dengan seorang wanita atau pria tua, seorang pengemis, seorang penderita cacat atau seorang pendeta, ia harus bersikap hati-hati. Orang-orang yang tampaknya lemah tadk berdaya itu, kalau sudah menguasai ilmu silat, biasanya amat berbahaya. Orang biasanya condong memandang rendah kepada merak dan karena memandang rendah inilah orang dapat roboh oleh orang-orang yang pada umumnya lemah tak berdaya ini.
Setelah merasa yakin bahwa Si Tangan Halilintar itu benar-benar lihai, gadis itu bersemangat dan kini ia mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menyerang Siauw Beng. Melihat perubahan ini dan merasakan betapa serangan gadis itu, Siauw Beng membela diri dan selain mengelak dan menangkis, dia juga mulai membalas dengan serangan tamparan dan totokan dengan ujung lengan buju kiri, walaupun dia berhati-hati agar jangan sampai kesalahan memukul atau menotok bagian tubuh yang berbahaya. Kedua orang itu berkelebatan sehingga tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang saling serang. Demikian hebatnya gerakan mereka sehingga daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang tertiup angin pukulan mereka!.
Melihat serunya pertandingan itu, A Siong berulang kali bertepuk tangan sambil berseru memuji, “Bagus, bagus, hebat!”.
Mendengar pujian ini, gadis itu menyerang semakin gencar dan Siauw Beng juga mengimbanginya. Tiba-tiba gadis itu mengubah gerakan silatnya dan berseru nyaring, “sambut seranganku ini!”.
Siauw Beng terkejut karena gadis itu kini berkelebat dan membuat gerakan berputar-putar. Gerakan kedua lengannya mengeluarkan angin berpusar seperti angin rebut. Itulah ilmu silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun ( Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)!.
“Hyaaattt ……!!” Gadis itu menyerang dengan ganas sekali dengan jurus Hong-cui-pai-hio ( Angin Meniup Daun). Kedua tangan itu menyambar-nyambar dan tubuhnya berkelebat, menyerang Siauw beng dari delapan penjuru! Siauw beng yang bagaimanapun juga tidak mau kalah, mendorong-dorongkan tangan kanannya. Dari telapak tangan itu keluar hawa dorongan yang amat kuat. Pernah gadis itu terserempet dorongan sehingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya melompat ke atas, lalu dari atas ia turun dengan kedua kaki terlebih dulu, menginjak kea rah kepala pemuda itu! Siauw Beng cepat mengelak lalu menyambut sebelah kaki lawan dan mendorongnya ke atas sehingga tubuh gadis itu melayang ke atas sampai melebihi pohon tingginya! Akan tetapi ketika ia meluncur turun, tubuhnya seperti melayang dan ia hinggap di atas dahan pohon seperti seekor burung saja.
A Siong bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kalian berdua memang lihai sekali!” Gadis itu melayang turun ke depan Siauw Beng dan tersenyum. Manis sekali!.
“Julukanmu Si Tangan Halilintar ternyata bukan omong kosong! Ciang-hwat-mu ( Ilmu Tangan Kosongmu) memang hebat, aku telah mengujinya dan aku mengaku kalah. Akan tetapi aku ingin sekali menguji Kiam-hwat ( ilmu pedang) yang tadi telah engkau perlihatkan ketika melawan susiok Can Ok!”.
Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya yang berkilauan. “Nah, cabutlah pedangmu, Tangan Halilintar!”.
“Nona, kiranya sudah cukup. Mengapa kita harus bertanding lagi? Aku khawatir akan merusak po-kiam ( pedang pusaka) yang kau pegang itu. Kalau pedangmu sampai rusak, engkau akan merasa kecewa dan aku akan merasa menyesal sekali”.
“Hemm, pedangku ini adalah Liong-cu-kiam ( Pedang Naga), tidak mungkin akan terbabat putus oleh pedangmu. Mungkin pedangmu yang akan patah oleh pedangku”.
Kalau begitu lebih berbahaya lagi! Aku tidak ingin pertandingan persahabatan yang main- main ini mengakibatkan pedang kita rusak”.
Tiba-tiba A Siong menghampiri mereka sambil membawa dua potong ranting kayu sebesar lengan dan panjangnya seukuran pedang. “Ha-ha, kalian tidak perlu menggunakan pedang pusaka masing-masing. Untuk mengukur ilmu pedang masing- masing, cukup menggunakan ini sebagai pengganti pedang!”.
Siauw Beng dan gadis itu agaknya setuju dan mereka berdua menerima sepotong kayu ranting dari tangan A Siong. Gadis itu sudah menyimpan kembali pedangnya. “Bagus, usul ini baik sekali! Nah, Tangan Halilintar, coba perlihatkan ilmu pedangmu!”.
“Engkau yang ingin menguji ilmu pedang, nona, maka engkaulah yang harus membuka serangan”. “Hemm, awas, lihat serangan pedangku!” Gadis itu membentak dan iapun sudah menggerakkan rantingnya menyerang dengan tusukan kea rah mata Siauw Beng. Itulah jurus yang amat berbahaya bagi lawan! Siauw Beng membuat gerakan ke samping untuk mengelak, akan tetapi ranting di tangan gadis itu, begitu tusukannya gagal, sudah di lanjutkan dengan gerakan membabat dari samping kea rah leher lawan. Siauw Beng kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis ini memang hebat dan dahsyat sekali.
Tenaganya kuat dan gerakannya begitu cepat bagaikan angin sehingga dia terpaksa menangkis dengan rantingnya. “Tukk!” Dua ranting bertemu dan keduanya mundur dua langkah, lalu gadis itu menyerang lagi. Agaknya karena ia yakin akan ketangguhan lawan, maka kini ia tidak mencoba-coba lagi, lalu langsung saja mengeluarkan ilmu pedang intinya, yaitu Sin-liong-kiam-sut ( Ilmu Pedang Naga Sakti). Pedangnya bergerak-gerak bergelombang seperti seekor naga melayang-layang dan mengamuk. Pedang itu, pada saat itu digantikan ranting, menusuk, membabat, membacok atau berputar menyambar-nyambar, masih dibantu dengan gerakan tangan kiri menampar dan dua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan- tendangan maut! Benar-benar seorang gadis ahli pedang yang hebat, pikir Siauw Beng. Gadis ini tentu saja menjadi seorang ahli pedang yang hebat karena perguruannya juga terkenal dengan ilmu pedangnya. Buktinya Can Ok itu berjuluk Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) dan kalau tadi sepasang pedang itu tidak patah oleh Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) di tangannya, tentu dia tidak dapat memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Menurut ayah atau gurunya, Ma Giok, Can Ok adalah murid datuk Sungai Huangho yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo ( Iblis Tua Pedang Terbang).
Kalau Paman gurunya dan kakek gurunya semua ahli pedang, tentu saja gadis ini pun mahir bermain pedang. Akan tetapi bagaimana ilmu pedang gadis ini jauh lebih lihai dibandingkan ilmu pedang yang dimainkan Can Ok tadi? Akan tetapi betapa hebatpun permainan “pedang “gadis itu, Siauw Beng yang sudah menguasai ilmu pedang ajaib Lui-kong Sin-kiam, tentu saja tidak merasa terdesak. Dia juga segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari Lui-kong Sin- kiam. Begitu ia mainkan ilmu pedang ini dan membalas, gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Semua serangannya membalik dan ranting di tangan pemuda itu berubah menjadi sinar kilat berwama kehijauan seperti halilintar menyambar-nyambar! Juga semua serangan bantuan dengan tangan kiri dan kedua kakinya, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh sasaran, bahkan kalau ujung lengan baju kiri pemuda itu menangkis, dara ini merasa tangan atau kakinya yang tertangkis amat panas dan nyeri.
“Wuutttt …..!” Kini ranting di tangan Siauw Beng mendesak dan berputar-putar. Ketika gadis ini menangkis, dia mengerahkan sin-kang menyambut tangkisan itu.
“Wuuuttt … Kreekkk!” Ranting di tangan gadis itu patah menjadi dua dan ia melompat ke belakang, wajahnya menjadi pucat akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah berdiri tegak menghadapi Siauw Beng dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira!.
“Hebat sekali ilmu pedangmu. Senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Tangan Halilintar!”.
“Nona, kamilah yang beruntung sekali dapat berkenalan dengan nona yang gagah perkasa dan telah membantu kami menghadapi gerombolan bajak tadi “, kata A Siong sambil memandang wajah yang manis itu.
“Nona, harap nona jangan menyebut aku Tangan Halilintar. Aku adalah seorang biasa saja dan namaku Lauw Beng dengan sebutan Siauw Beng ( Beng Kecil) dan ini adalah suhengku A Siong”.
“Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebutmu Siauw Beng dan A Siong“, kata gadis itu yang agaknya tidak peduli bahwa dua orang pemuda itu, terutama sekali A Siong, jauh lebih tua daripadanya. “Dan aku sendiri bernama Wong Ai Yin”. Gadis itu lalu duduk di atas sebuah dari empat perahu yang berada di situ, yaitu sebuah perahu kecil milik Siauw Beng dan tiga buah milik para bajak sungai tadi. “Dan jangan kalian menganggap bahwa mereka tadi gerombolan bajak atau perampok. Sesungguhnya mereka adalah segolongan pejuang yang menentang segolongan pejuang yang menentang pemerintah Mancu yang menguasai tanah air kita“.
Siauw Beng teringat akan cerita ayah angkatnya. Ayahnya juga menceritakan bahwa Hui- kiam Lo-mo dan muridnya Can Ok, adalah orang-orang golongan hitam, akan tetapi mereka itu pembenci Kerajaan Mancu. Bahkan dulu mereka menyerang Lam-liong Ma Giok karena mereka menuduh Ma Giok pengkhianat karena menolong putera pembesar Mancu yang di ganggu perampok. Dia menghela napas panjang. Benarkah orang sesat dapat menjadi pejuang, dapat menjadi pahlawan? Ataukah mereka itu berjuang dengan pamrih untuk menguntungkan diri pribadi? Orang sesat selalu bertindak dengan dasar pamrih untuk keuntungan sendiri, maka yang mereka namakan berjuangan itu sesungguhnya hanya untuk menutupi kejahatan mereka.
“Nona Wong ……”.
“Husshh!” Gadis itu memotong ucapan Siauw Beng. “Kalau aku menyebut kalian Siauw Beng dan A Siong, mengapa engkau menyebut aku pakai nona-nonaan segala? Namaku Wong Ai Yin dan sebutanku Ai Yin begitu saja, tanpa nona-nonaan!”.
“Baiklah, Ai Yin. Terus terang saja, kami merasa heran sekali melihat keadaanmu. Bagaimana engkau menyebut Toat-beng Siang-kiam Can Ok tadi sebagai paman gurumu? Dan kalau dia paman gurumu, mengapa aku mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong maupun pedangmu jauh lebih lihai daripada dia?”.
Gadis itu memandang wajah Siauw Beng dengan sinar mata mencorong, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum.
“Siauw Beng, sudah sepatutnya kalau laki-laki memperkenalkan diri lebih dulu kepada perempuan. Karena itu, sebelum aku menceritakan keadaanku, engkau harus lebih dulu menceritakan tentang kalian, darimana kalian datang dan hendak pergi kemana, lalu mengapa kalian sampai bentrok dengan paman guru Can Ok dan anak buahnya di sini”.
Siauw Beng dan A Siong saling berpandangan. Ai Yin berkata, “Hayo, duduklah kalian, tidak enak bercakap-cakap sambil berdiri seperti anak wayang!”.