Si Tangan Halilintar Chapter 57

NIC

“Wah, tidak adil!” kembali gadis itu berseru setelah tadi bertepuk tangan memuji melihat betapa sepasang pedang paman gurunya patah oleh tangkisan pedang Siauw Beng.

“Kalau mau adil, tangan susiok yang kiri harus di ikat di pinggang dan tidak boleh di gerakkan!”.

Can Ok tidak menjawab, hanya memandang Siauw Beng dengan mata mendelik.

“Lui-kong-ciang, bagaimana? Beranikah engkau bertanding dengan tangan kosong melawan aku?”.

Siauw Beng melibatkan lagi pedangnya di pinggang. Biarpun tangannya hanya sebelah, namun dia sudah terlatih dan dapat melibatkan pedang itu. Mula-mula gagang pedang yang di jepit di pinggang lalu ujung pedang di tarik dengan tangan kanan, dililitkan pinggang dan ujung pedang itu masuk ke sebuah lubang yang berada di belakang gagang pedang. Setelah melibatkan pedang Lui-kong-kiam, barulah dia menjawab.

“Tentu saja aku berani. Silahkan maju menyerang”.

“Hyaaaaaahhh …..!!” Can Ok menyerang dengan ganasnya. Gerakan kedua tangannya mendatangkan angin dahsyat.

Namun dengan keringanan tubuhnya Siauw Beng dapat mengelak dengan amat mudah. Can Ok menjadi semakin penasaran. Kini kedua tangan dan kedua kakinya menyerang sedemikian gencarnya sehingga mau tidak mau Siauw Beng harus menghindarkan diri dengan tangkisan karena kalau hanya mengelak terus, hal itu dapat membahayakan dirinya. Ketika kaki kanan lawan menyambar kea rah lambung kirinya, lengan bajunya berkelebat menangkis.

“Plaakkk!” Can Ok terkejut bukan main. Biarpun lengan baju itu bagian ujungnya kosong karena lengan Siauw Beng hanya sebatas siku, namun lengan baju itu mengandung tenaga yang hebat sehingga kakinya terpental membalik dan terasa panas dan nyeri! Can Ok merasa terkejut dan penasaran. Dia mengeluarkan semua ilmu silatnya dan mengerahkan selurruh tenaganya. Namun semua serangannya sia-sia belaka. Kalau tidak di elakkan tentu di tangkis pemuda buntung itu.

Tiba-tiba kedua tangan Can Ok bergerak di pinggangnya dan begitu tangannya bergerak ke depan, dua sinar kilat menyambar kearah tubuh Siauw Beng.

“Curang!!” terdengar gadis itu berteriak.

Akan tetapi tentu saja Siauw Beng tidak mudah di serang secara gelap dengan dua buah pisau terbang itu. Dia melompat ke samping dan menangkis dengan tangan kanannya. Sebatang pisau terbang meluncur lewat dan yang sebuah lagi dipukulnya runtuh. Can Ok sudah marah sekali, menubruk maju hendak menggunakan kesempatan selagi Siauw Beng menghindar dari sambaran dua batang pisau terbangnya, dia menyerang dengan ganas sekali. Siauw Beng miringkan tubuhnya dan ujung lengan baju kirinya menyambar dan membelit lengan kanan Can Ok, kemudian dia menarik dengan sentakan sehingga tubuh Can Ok tidak mampu mempertahankan diri dan begitu dia terhuyung ke depan, Siauw Beng menyambar tengkuknya, tangan kanannya menangkap leher baju di bagian tengkuk dan mengerahkan tenaga, tubuh Can Ok sudah terlempar, melayang ke arah sungai.

“Byyuurrr ….!!” Air sungai muncrat ketika tertimpa tubuh Can Ok.

Tujuh belas anak buah Can Ok yang tadinya menonton, kini mencabut senjata golok mereka yang menyerang kearah Siauw Beng. Akan tetapi A Siong mengeluarkan teriakan marah dan menyambut mereka dengan amukannya.

“Suheng, jangan membunuh orang!” kata Siauw Beng dan dia menjauhkan diri, membiarkan A Siong menghadapi pengeroyokan mereka karena dia maklum bahwa A Siong akan mampu mengalahkan mereka semua.

“Curang! Tidak tahu malu!” terdengar teriakan dan tubuh gadis itu melayang dari atas pohon lalu iapun mengamuk dan membantu A Siong!.

Siauw Beng tersenyum menyaksikan sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi belasan orang bersenjata golok dengan tangan kosong. Akan tetapi tamparan dan tendangan kaki mereka membuat para pengeroyok terpelanting ke sungai! Pertempuran itu tidak memakan waktu lama dan seluruh anak buah Can Ok sudah terlempar ke sungai semua. Mereka berenang ke tepi yang agak jauh dari situ lalu melarikan diri terlebih dulu!.

Setelah semua lawan pergi, Siauw Beng menghampiri gadis itu dan memberi hormat dengan tangan kanan depan dada sambil membungkuk. “Nona, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Nona yang telah membantu kami”. “Hemmm, aku tidak membantu kalian. Aku hanya tidak suka melihat sikap paman guruku, maka aku menentang dia dan anak buahnya!” Lalu ia memandang kepada A Siong kemudian kepada Siauw Beng lagi. “Aku telah melihat gerakan kalian berdua dan aku merasa heran sekali, mengapa kepandaian sang sute yang buntung lengan kirinya lebih lihai daripada suhengnya?”.

“Ha-ha, tidak usah heran, Nona. Sute ku ini berjuluk si Tangan Halilintar, sedangkan aku tidak mempunyai julukan apapun”.

“Aku juga merasa heran, Nona. Mengapa seorang keponakan murid berani menentang paman gurunya dan juga memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada kepandaian paman gurunya? Bukankah ini lebih aneh lagi?” kata Siauw Beng.

“Tangan Halilintar, ku lihat ilmu silat tangan kosong dan silat pedangmu hebat sekali. Aku jadi ingin mencobanya”. “Ah, Nona. Aku tidak ingin berkelahi denganmu!”.

“Siapa yang mau berkelahi? Aku hanya ingin menguji sampai dimana hebatnya ilmu silatmu sehingga engkau mendapat julukan Si Tangan Halilintar. Nah, bersiaplah, Tangan Halilintar!”.

Gadis itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya berjungkit, kedua tangannya dikembangkan dengan jari tangan terbuka menunjuk ke atas.

“Sudahlah, Nona. Biar aku mengaku kalah padamu”.

Posting Komentar