Song Kwan bertanya, alisnya berkerut.
"Benar, paman. Dan saya mengenal nama-nama paman berlima. Paman Song Kwan, Song Kui, Ciang Hu Seng, Bhe Kam dan paman Lee Bun, bukan?"
"Hei! Bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Song Kwan dan yang lain-lain juga terheran dan ingin tahu sekali.
"Paman, yang memberitahu kepada kami adalah ayah angkat saya Ma Giok dan guru saya adalah mendiang Pek In San-jin."
Lima orang itu terkejut. "Dan kau...... kau ini..... she Lauw...... " Song Kwan tidak melanjutkan kata-katanya, meragu.
"Ayah kandung saya adalah mendiang Lauw Heng San, dan ibu kandung saya adalah mendiang Bu Kui Siang."
"Ahh !!" Seruan ini keluar dari mulut lima orang pendekar itu.
“Su-siok, apa paman tidak melihat jelas siapa mereka ini? Lihat, mereka ini orang-orang begini sederhana, bukan pejabat, bukan bangsawan bukan hartawan, bahkan saudara ini buntung lengan kirinya, dan paman masih tega untuk membajaknya? Ini keterlaluan namanya!”.
Orang bermuka hitam yang ternyata adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok tersenyum. “Ai Yin, engkau tahu apa? Orang-orang ini menyimpan banyak emas dan perak. Karena itulah aku menghadang mereka! Kalau engkau berpihak kepada mereka, engkau hanya akan membuat mereka ini mengadalkan perlindunganmu dan bersembunyi di belakangmu!”
Sejak mendengar bahwa Hui-kiam Lo-mo sudah meninggal dunia dan orang bermuka hitam ini bukan lain adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok, A Siong sudah mengepal tinju dan menyentuh lengan Siauw Beng. Akan tetapi pemuda buntung ini masih bersabar. Jadi inikah orang yang dahulu bersama mendiang Hui-kiam Lo-mo telah menyerang Lam-liong (Naga selatan) Ma Giok pada saat ibunya melahirkan dia? Biarpun tidak secara langsung, orang bermuka hitam ini yang membuat ibunya ketakutan dan kaget, sehingga ibunya meninggal ketika melahirkan dia.
“Nona, terima kasih atas pembelaanmu!” kata Siauw Beng kepada gadis itu sambil mengangkat tangan kanannya, di miringkan ke depan dada sebagai tanda penghormatan. “Akan tetapi biarkan kami menghadapi sendiri Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak buahnya. Kami tidak takut menghadapi mereka, nona”.
“Nah, Ai Yin, kalau yang kau bela tidak mau, apakah engkau berkukuh hendak membela mereka? Minggirlah, biar kami berurusan dengan bocah sombong ini!” kata Can Ok.
Gadis yang di panggil Ai Yin itu memandang Siauw Beng dengan alis berkerut.
“Benar-benar engkau berani melawan su-siok Toat-beng Siang-kiam? Dia ini datuk Sungai Huang-ho dan lihai sekali kenapa kalian berdua tidak cepat pergi saja dari sini dan aku yang akan melarang mereka mengganggu kalian!”.
“Jangan khawatir, Nona. Kami akan berusaha sekuat tenaga“.
“Akan tetapi lenganmu ….. “Gadis itu memandang kea rah lengan baju sebelah kiri Siauw Beng yang tergantung kosong bagian bawahnya.
“Aku tidak takut, Nona. Terima kasih atas kebaikanmu dan maafkan kalau kami menolak pembelaanmu”.
Gadis itu mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu ia mendengus dan berkata, “Kalau engkau mati jangan bilang bahwa aku tidak membelamu dan membantu paman guruku yang menyeleweng!” Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kepungan.
“He, bocah sombong! Berani kau melawan aku?” Can Ok membentak dan memandang ringan. Dia adalah seorang tokoh besar, menggantikan mendiang gurunya, menjadi datuk Sungai Huangho! Terkenal sebagai seorang ahli pedang sehingga mendapat julukan Toat- beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), maka tentu saja dia memandang ringan walaupun tadi dua orang pemuda itu telah memperlihatkan kepandaian merobohkan anak buahnya.” Katakan dulu siapa nama kalian agar jangan menjadi roh penasaran karena sebentar lagi kalian berdua akan mampus!”.
A Siong mendahului sutenya menjawab dengan suaranya yang lantang. “Buka telingamu lebar-lebar, kepala bajak sungai! Aku bernama A Siong dan suteku ini yang di kenal sebagai Lui-kong-ciang ( Si Tangan Halilintar)!”. Mendengar ini Siauw Beng tersenyum saja karena setiap kali memberi pertolongan kepada orang-orang tertindas dan menentang kejahatan, suhengnya itu selalu memperkenalkan sebutan Lui-kong-ciang itu untuknya. Dia membiarkan saja karena hal itu sesuai dengan pesan ayahnya, Ma Giok, dalam usahanya untuk membersihkan nama ayah kandungnya yang dulu juga di sebut Si Tangan Halilintar. Karena nama itu dengan sengaja “diobral “oleh A Siong, maka sebentar saja julukan Lui-kong-ciang menjadi terkenal sebagai pendekar berlengan satu yang baru muncul.
Can Ok belum pernah mendengar julukan Si Tangan Halilintar itu, maka dia tertawa mengejek. Suhengnya berwajah dan bersikap seperti orang bodoh, dan sutenya itu hanya seorang pemuda yang bertangan satu, sama sekali tidak perlu di takuti.
“Hemm, bocah-bocah kemarin sore macam kalian berani menentangku! Majulah kalian berdua. Sepasang pedangku ini sudah haus untuk minum darah kalian!”.
Dia menggerakkan kedua tangan ke belakang dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika sepasang pedang yang berada di kedua tangannya itu tertimpa sinar matahari.
Asiong tertawa. “ha-ha-ha, kami bukan orang-orang yang suka melakukan pengeroyokan seperti pengecut. Engkaulah yang pasti akan mengandalkan pengeroyokan!”.
Wajah Can Ok semakin hitam dan matanya mendelik. Baru sekarang tokoh ini tampak galak menyeramkan, padahal tadi ketika menjadi penjual perahu, tampak lemah lembut. “Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan! Kalau begitu, hayo engkau sendiri yang maju melawanku, satu lawan satu. Yang lain menjadi saksi!”.
“He-he-he, siapa percaya saksi seperti anak buahmu ini? Kalian pasti akan bertindak curang”. Kata A Siong, sengaja memanaskan hati karena biarpun dia tidak cerdik, namun dia tahu benar bahwa kemarahan membuat seorang ahli silat kurang waspada dalam sebuah pertandingan silat.
“Biar aku yang menjadi saksi!” tiba-tiba terdengar suara nyaring dan ternyata yang berteriak itu adalah gadis tadi yang kini sudah duduk di atas sebuah dahan pohon dengan kedua kakinya ongkang-ongkang (tergantung), lagaknya seperti anak kecil yang sedang menonton pertunjukan menarik yang akan dilihatnya di bawah pohon!.
“Bagus sekali kalau engkau suka menjadi saksi, Nona!” kata A Siong. Akan tetapi sebelum dia melayani Can Ok bertanding, Siauw Beng yang dapat menduga bahwa orang ini cukup lihai, segera melangkah maju.
“Ha-ha, baiklah, Sute. Kalau kau tidak dapat mengalahkannya, barulah aku yang maju!” katanya, sengaja menyombongkan diri untuk membikin gentar hati lawan.
“Aku akan menjaga agar jangan ada yang main curang!”.
Can Ok menghadapi Siauw Beng dengan senyum mengejek. Dia melintangkan kedua pedangnya di depan dada dengan bersilang, membentuk gunting, lalu berseru, suaranya mengejek. “Si Tangan Halilintar, coba keluarkan tangan ampuhmu itu dan bersiaplah untuk mati!” Dia sudah siap untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gadis itu nyaring.
“Tahan! Sebagai saksi aku merasa tidak adil kalau yang seorang menggunakan sepasang pedang, padahal lawannya hanya bertangan satu dan tidak bersenjata! Eh, Tangan Halilintar, kalau kau tidak mempunyai senjata, boleh kau pinjam pedangku ini, agar pertandingan menjadi adil. Kalau tidak adil begini, lebih baik batalkan saja!”. Mendengar ini diam-diam Siauw Beng merasa kagum kepada gadis itu. Boleh jadi gadis itu berandalan dan liar, sikapnya kasar, bahkan lebih ugal-ugalan dibandingkan Puteri Mayani. Mendengar ucapan gadis itu, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dan Can Ok terkejut karena dia tidak dapat mengikuti gerakan tangan kanan itu, tahu-tahu tangan itu memegang gagang sebatang pedang tipis yang mengeluarkan suara mengaung ketika tiba-tiba berkelebat menjadi sinar kilat itu. “Bagus, kiranya engkau memiliki sebatang pedang yang amat baik, buntung!. Nah, sekarang kalian berdua boleh mulai bertanding!” Gadis itu berseru girang.
“Lihat pedang!” Can Ok membentak dan dua sinar pedang berkelebat menyambar- nyambar tubuh Siauw Beng. Akan tetapi dengan lincah pemuda ini bergerak cepat, tubuhnya bagaikan baying-bayang berkelebat di antara kedua sinar pedang itu.
Tentu saja Can Ok terkejut dan dari gerakan yang amat ringan itu saja dia dapat menilai bahwa pemuda buntung yang berjuluk si Tangan Halilintar ini benar-benar lihai. Maka dia bersikap hati-hati dan mempercepat gerakan sepasang pedang sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya. datuk Sungai Huangho ini memang lihai sekali mempergunakan sepasang pedangnya. Gerakannya kini amat cepat. Sejak dia kalah oleh Ma Giok sekitar dua puluh tahun yang lalu, dia telah memperdalam ilmu pedangnya, di latih gurunya, Hui- kiam Lo-mo yang kini telah meninggal sehingga kini dia jauh lebih lihai daripada dahulu. Karena serangan sepasang pedang itu menjadi semakin ganas dan berbahaya, Siauw Beng terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga saktinya pula.
“Haiiiitttt …….. trakk-trakkk …….! “Can Ok melompat ke belakang dan matanya terbelalak memandang kedua batang pedangnya yang telah patah ketika bertemu sinar pedang kilat lawan sehingga yang tinggal di tangannya hanya gagang dan sepotong pedang pendek sekali! Sama sekali tidak di sangkanya bahwa hanya dalam pertandingan belasan jurus saja, padahal pemuda itu sama sekali belum balas menyerang, sepasang pedangnya sudah patah-patah! Tentu pokiam ( Pedang pusaka) si lengan buntung itu luar biasa ampuhnya, pikirnya. Kalau bertanding tangan kosong tentu dia akan lebih unggul, mengingat lawannya hanya bertangan satu.
“Orang muda, pedangmu amat ampuh sehingga sepasang pedangku patah. Beranikah engkau melanjutkan pertandingan dengan tanngan kosong?”.