Si Tangan Halilintar Chapter 53

NIC

A Siong memandang dan menyeringai maklum. Mereka melihat kereta yang indah dan mereka mengenal sepuluh perajurit pengawal yang tadi mengawal puteri Mancu itu, kini mereka berdiri di dekat kereta bersama kusir kereta. Tak salah lagi, tentu puteri Mancu tadi makan di restoran ini!

Mereka berdua melihat bahwa bukan mereka berdua saja yang menonton kereta yang indah itu. Ada beberapa orang bergerombol di seberang jalan sambil mengamati kereta. Mereka tidak berani terlalu mendekat karena" sepuluh perajurit pengawal itu memasang muka asam sehingga tidak ada yang berani mendekat.

Pada saat itu, keluarlah sang puteri itu dari dalam rumah makan, diikuti oleh majikan rumah makan dan beberapa orang pegawainya, mengikuti sampai di luar dan membungkuk-bungkuk dengan amat hormatnya. Sang puteri dengan angkuhnya keluar lalu memasuki kereta yang pintunya dibukakan oleh para pengawal. Kusir sudah menduduki bangkunya dan tak lama kemudian kereta itupun bergerak pergi, diikuti sepuluh orang pengawal yang menunggang kuda.

Siauw Beng dah A Siong melihat seorang di antara mereka yang bergerombol tadi kini sibuk bercerita, menggerakkan kepala dan tangannya, didengarkan banyak orang yang tampak tertarik sekali. Diam-diam Siauw Beng dan A Siong mendekati dan ikut pula mendengarkan. Orang itu memang pandai bicara dan ternyata dia bercerita tentang sang puteri tadi.

"Kalian tahu apa? Puteri secantik bidadari tadi bukanlah puteri bangsawan biasa! Nama lengkapnya Puteri Mayani Gunam, biasa disebut Puteri Maya saja. Dan kalian tahu ia itu siapa? Ia masih keponakan Yang Mulia Kaisar Kerajaan Ceng! Ayahnya adalah seorang pangeran aseli! Ia puteri pangeran yang besar kekuasaannya. Dan kalian tentu mengenal pembesar yang paling berkuasa di kota Sauw-ciu? Bukan lain adalah Kepala Daerah dan pembesar itu adalah kakak dari ibu kandung Puteri Maya, seorang pribumi Han. Nah, tentu saja kekuasaan sang puteri itu besar sekali. Ia cantik seperti bidadari dan belum juga bertunangan. Kabarnya yang kudapat dari kota raja, para pemuda bangsawan, para pangeran putera kepala-kepala suku banyak yang tergila-gila kepadanya, akan tetapi semua pinangan ditolaknya! Entah pemuda macam apa yang dicarinya sebagai jodohnya."

"Siapa tahu ia akan mencari jodoh seorang pemuda pribumi Han, mengingat bahwa ibunya seorang pribumi!" terdengar seorang laki-laki berkata. "Hemm, siapa tahu? Mungkin saja. Mudah-mudahan begitu. Semakin banyak orang berdarah pribumi menjadi keluarga istana, makin baik karena tentu pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan yang terlalu menindas kita”. Ramai kini mereka saling bicara sendiri. Siauw Beng sudah merasa puas akan apa yang didengarnya dan diapun mengajak A Siong pergi dari situ. Ketika berada di kamar penginapan, malam itu Siauw Beng banyak melamun sehingga beberapa kali A Siong menegurnya.

Siauw Beng tidak dapat melupakan wajah Puteri Maya! Wajah yang seperti selalu membayang di depan matanya. Pandang mata yang tajam beriing dan indah itu. Bibir yang mungil itu dengan senyumnya yang khas. Dan kehebatan ilmu silatnya. Dia merasa terkagum-kagum. Seorang gadis yang am at luar biasa! Seperti yang diajarkan oleh mendiang Pek In San-jin, dalam keadaan seperti itu, dia mengamati hati dan akal pikirannya sendiri. Dia mendapat kenyataan bahwa rasa kagum itu bukan semata-mata karena gadis itu cantik menarik dan menggairahkan. Rasa kagum dan tertarik di dalam hatinya itu bukan semata karena gejolak nafsu berahi. Namun ada sesuatu yang membuat dia tertarik. Sesuatu pada sinar gadis itu, pada gerak bibirnya. Ada sesuatu yang membuat dia merasa bahwa dia harus melindunginya, harus menjaganya dari ancaman bahaya. Ada semacam perasaan "iba" dalam hatinya terhadap gadis itu walaupun pikirannya mencela perasaan ini karena pikirannya mengatakan bahwa gadis itu terlalu kejam dan tinggi hati! Ketika ia berhasil merampas pedang si pendek gendut dengan sabuknya, ia lalu menyerangkan pedang rampasan itu ke arah leher si gendut. Serangan itu merupakan serangan maut dan kalau saja Hartawan Song tidak menangkis, tentu si pendek gendut she Ciang itu sudah tewas terpenggal pedang sendiri! Pikirannya mencela gadis itu, akan tetapi mengapa ada perasaan iba dan harus melindungi di dalam hatinya? Siauw Beng menghela napas panjang dan berkata pada diri sendiri bahwa dia besok pagi akan melihat keadaan. Kalau memang ada nyawa terancam, dia akan turun tangan mencegah terjadinya pembunuhan. Bukankah menurut sikap mereka, lima orang laki-laki tua itu juga bukan sebangsa penjahat? Bahkan Hartawan Song dikatakan sebagai seorang dermawan yang terkenal di kota Sauw-du! Dia tidak akan berpihak, hanya akan melindungi pihak yang terancam bahaya dan kalau mungkin mencegah terjadinya permusuhan yang akan saling membunuh.

"Engkau kenapa sih, Siauw Beng? Dari tadi melamun saja. Bahkan engkau tidak mau makan malam, menyuruh aku makan sendiri. Nih, kubelikan bakpauw, makanlah. Kalau tidak, engkau akan kelaparan dan dapat terse rang angin." kata A Siong yang baru masuk sambil memberikan bungkusan terisi bakpauw sebanyak lima buah kepada Siauw Beng.

Siauw Beng menerima bakpauw itu dan memakannya. A Siong memandang kawannya yang makan bakpauw dengan alis berkerut. Dia tak sabar lagi.

"Siauw Beng, agaknya pikiranmu selalu terganggu oleh peristiwa pagi tadi. Mengapa engkau pusingkan benar urusan orang lain itu?"

"A Siong, aku khawatir gadis itu akan celaka. Lima orang itu bukan orang sembarangan. Terutama sekali Hartawan Song itu. Aku melihat ketika dia mencabut pedang dan menangkis, gerakannya begitu cepat dan kuatnya. Dia tentu seorang ahli pedang yang tangguh sekali. Gadis itu memang lihai, akan tetapi tak mungkin ia mampu menandingi lima orang itu dan kalau dibiarkan mereka bertanding, gadis itu tentu akan celaka."

A Siong tersenyum, lalu merebahkan diri di at as satu di antara dua buah pembaringan itu. "Mengapa dipusingkan benar? Biarkan gadis itu kalah kalau memang ia kalah. Pula, bukankah ia seorang gadis Mancu, bahkan masih keluarga Kaisar Mancu? Kebetulan kalau ia tewas dalam pertempuran, berkurang satulah musuh bangsa kita. Bukankah menurut Ma lo-sicu, musuh utama bangsa kita adalah keluarga kaisar yang mengatur penjajahan di negara kita?" "A Siong, pendapatmu itu keliru. Ingat, kita harus selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Siapapun juga orangnya, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, bangsa apapun juga, kalau ia tertindas dan nyawanya terancam, kita harus menolong dan membelanya. Sebaliknya, siapapun orangnya, kalau bertindak sewenang-wenang, harus kita tentang! Demikian pesan ayah Ma Giok, bukan?"

A Siong tidak suka kalau diajak berpikir banyak. Kepalanya menjadi pening kalau harus memikirkan hal yang pelikpelik, dan dia berkata, "Ya, sudahlah, bagaimana engkau sajalah. Lalu apa yang hams kita lakukan sekarang?"

"Sekarang? Sekarang kita mengaso dan tidur agar besok pagi-pagi kita dapat pergi ke hutan cemara. Kita nonton pertandingan itu dan kita lihat saja perkembangannya. Jangan engkau lakukan sesuatu sebelum kuberi isarat."

"Baik, kita tidur. Akupun sudah lelah dan mengantuk." A Siong melepaskan sepatu dan baju luarnya karena hawa malam itu agak panas.

"Hemm, engkau lupa lagi, ya? Apa yang harus kita lakukan sebelum tidur?" Siauw Beng mengingatkan sesuatu kebiasaan yang sudah harus mereka lakukan semenjak dahulu sesuai dengan perintah Ma Giok.

A Siong menghela napas panjang, bangkit duduk dan mengenakan lagi sepatunya. "Ya...... ya......, membersihkan mulut dan gigi sebelum tidur! Engkau lebih galak daripada Ma lo-sicu dalam hal ini, Siauw Beng!"

Siauw Beng tertawa. "Karena hal ini penting sekali untuk kesehatan kita, maka aku selalu mengingatkanmu.

Setelah makan bakpauw dan membersihkan mulut dan gigi, Siauw Beng juga merebahkan diri di atas pembaringannya yang sederhana karena memang sewa kamar penginapan itu murah. Mereka segera tertidur pulas. Tadinya memang Siauw Beng amat terganggu oleh dengkur A Siong yang menggetarkan kamar itu. Akan tetapi dia menutupi telinganya dengan bantal dan akhirnya dapat pulas Juga.

Pagi-pagi benar lima orang yang kemarin berpesta di loteng rumah makan Ho Tin sudah tnemasuki hutan cemara. Oi tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rum put yang terbuka dan di sanalah mereka menanti sambi! duduk di atas batu-batu gunung yang banyak terdapat di Bukit Kera itu.

Lima orang ini sebetulnya adalah pendekar-pendekar yang dulu pernah mengguncang dunia persilatan dan mereka dulu terkenal dengan julukan Ciong-yang Ngo-tai-hiap (Lima Pendekar Besar dari Ciong-yang), juga disebut Ngo-kiam-hiap (Lima Pendekar Pedang). Dua puluh tahun yang lalu, Ciong-yang Ngo-kiam-hiap ini pernah menjadi pejuang melawan penjajah Mancu bersama Lam-liong Ma Giok dan lain pejuang. Setelah semua perlawanan terhadap pasukan Mancu gagal, mereka menghentikan perlawanan dan mereka berlima bahkan berpencar agar tidak mudah dilacak oleh pasukan Mancu yang tentu saja mencatat nama mereka dalam daftar hitam sebagai pemberontak-pemberontak. Seperti juga para pejuang yang lain, setelah tidak ada kesempatan untuk melawan pemerintah penjajah Mancu, mereka bekerja sebagai pendekar-pendekar yang menentang kejahatan, membela rakyat yang tertindas.

Orang pertama dari Lima Pendekar Pedang dari Ciong Yang ini adalah Song Kwan yang kini telah berusia enam puluh tahun. Song Kwan ini menjadi pedagang dan dia berhasil memperoleh kemajuan sehingga menjadi seorang yang kaya raya di kota Sauw-ciu. Akan tetapi biarpun dia sudah menjadi seorang hartawan, tetap saja jiwa kependekarannya tak pernah lenyap. Dia kini mendapat lebih banyak kesempatan untuk menolong rakyat, baik dengan hartanya maupun dengan tenaganya sehingga Song K wan yang cjikenal sebagai Hartawan Song amat terkenaI di Sauw-ciu sebagai seorang dermawan besar. Oi antara lima orang pendekar itu, Song Kwan memiliki ilmu pedang yang paling lihai sehingga dahulu dia pernah mendapat julukan Kiam-sian (Dewa Pedang)! Mukanya yang merah gagah, tubuhnya yang tinggi besar, ditambah kumis jenggotnya yang panjang, membuat dia mirip tokoh Kwan Kong dalam kisah Sam Kok (Tiga Kerajaan) yang kemudian terkenal sebagai seorang tokoh yang amat setia dan bahkan dijadikan lam bang kesetiaan.

Orang ke dua merupakan adik kandung Song K wan, berusia lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, bernama Song Kui. Seperti juga kakaknya, Song Kui memiliki. ilmu pedang yang amat tangguh, bahkan dia pernah mendapat julukan Kiam-mo (Setan Pedang). Dua orang kakak beradik Song ini sudah berkeluarga. Kalau Song K wan tidak mempunyai keturunan, sebaliknya Song Kui mempunyai dua orang anak laki-laki yang waktu itu sudah dewasa. Song Kui dan keluarganya tinggal pula bersama Song Kwan yang hartawan, dan dia membantu kakaknya yang menjadi pedagang rempa-rempa yang besar. Karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka Song K wan menganggap dua orang keponakannya yang bernama Song Cun dan Song Cin, seperti anak- anaknya sendiri, bahkan dia yang menga jarkan ilmu pedangnya kepada dua orang keponakann yaitu Orang ke tiga adalah Ciang Hu Seng, tokoh pendek gendut yang berusia lima puluh lima tahun, yang wajahnya selalu riang penuh senyum dan tawa, juga suka melucu. Akan tetapi Ciang Hu Seng inipun memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia seorang ahli pedang yang tangguh sehingga pernah dijuluki Sin-kiam (Pedang Sakti). Dia sampai sekarang hidup menyendiri, sebatang kara dan suka mengembara, tidak tentu tempat tinggalnya akan tetapi di manapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan dan suka mengulurkan tangan untuk meno long mereka yang membutuhkan bantuannya.

Posting Komentar