"Hari itu dia datang bersama seorang perempuan kerumah Lou Jin cin. Kecuali mereka berdua masih ada lagi empat Busu. Hujin coba kau terka orang macam apakah keempat Busu itu?" demikian tutur Siau seng cu.
"Mana aku tahu coba kau jelaskan," sahut Lu Hujin.
"Bermula akupun tidak tahu asal usul mereka. Akhirnya kudengar mereka bicara dengan bahasa asing yang tidak pernah kudengar, sekecappun aku tidak tahu apa yang tengah mereka perbincangkan, menurut seorang kawanku, baru aku tahu bahwa mereka adalah orang-orang Mongol."
Lu Giok yau terkejut bathinnya, "Orang she Cin ini berkata bahwa In tong yan adalah tuan puteri Tartar Mongol, kiranya benar adanya."
Terdengar ibunya sedang bertanya, "Lalu siapa pula perempuan itu? Apakah bangsa Mongol juga?"
Tutur Siau seng cu, "perempuan itu bicara dengan bahasa Han malah. Tapi bila bicara dengan para Busu itu menggunakan bahasa Mongol juga. Mereka kelihatan sangat hormat dan segan kepadanya. Ada pula sebuah berita lain, sebelum rombongan perempuan dan para busu itu datang, sebelumnya ada datang seorang Lama dirumah Lou Jin cin itu, menurut kabarnya adalah Koksu (imam negara) bangsa Mongol. Kalau Koksu ini berani membentak dan bicara kasar terhadap para Busu itu, tapi terhadap perempuan itu ia berlaku sangat sayang dan sopan santun."
"Cin toako," tiba-tiba sela Khu Tay seng, "Beritamu itu tepat dan benar seluruhnya. In tiong yan diiringi dan dilindungi oleh para Busu. Koksu juga lemah lembut terhadapnya, apa pula kedudukannya kalau bukan tuan putri?" sembari bicara dengan sinis ia melirik kearah sang Piaumoay, terlihat Lu Giok-yau tengah tunduk menepekur entah sedang memikir apa. Dalam hati Khu Tay-seng membatin, "Hatinya tentu sangat sedih dan mendelu, tak enak aku menggodanya lagi." Mana dia tahu meskipun Lu Giok yau tahu apa yang dituturkan Siau seng cu itu bukan bualan belaka, namun betapapun juga ia tidak mau percaya bahwa Hong thian-lui sudi bergaul dan kepincut terhadap tuan putri bangsa Mongol itu.
Terdengar Lu hujin tengah berkata lagi, "Bagaimana keadaan dan pergaulan Ling siangkong dengan putri Mongol itu dirumah keluarga Lou ? Menurut apa yang kau lihat atau dengar coba tuturkan seluruhnya kepada kami !"
"Aku hanya seorang pembantu rendahan, bila tiada kepentingan tidak boleh masuk ke ruang dalam. Tapi dari mulut Siau-kan yang suka bercerita itu memang ada kudengar beberapa kejadian."
"Siapa pula Siau-kan yang kau maksudkan itu ?" tanya Lu hujin.
"Siau-kan adalah murid tukang kebun yang berkuasa ditaman rumah Lou, kerjaannya sehari-hari memelihara dan menanam kembang !" sahut Siau-seng-cu.
"Emangnya tukang kebon lantas boleh masuk kedalam ruang besar?" sela Lu Giok-yau dengan mengejek.
"Tidak, Siau kan ini bersahabat kental dengan salah seorang pelayan pribadi istri besar Lou Jin cin yang bernama Siau Cui."
"O, jadi Siau-cui memberitahu Siau kan dan Siau kan memberitahu kau. Apa yang dia katakan ?" tanya Lu-hujin.
"Menurut katanya," demikian tutur Siau-seng-cu lebih lanjut. "Sang bangsawan itu sering seorang diri memasuki kamar Ling-siangkong. Pernah terjadi pada suatu malam, kira-kira tiba kentongan ketiga, dia mendapat perintah dari majikannya masuk dapur memasak bubur kolesom, kebetulan lewat kamar-kamar tamu dipekarangan luar. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat perempuan itu baru saja keluar dari kamar Ling siangkong itu."
Betapa pedih dan pilu hati Lu Giok-yau, namun dalam hati ia membatin, "Cerita mulut orang yang berlidah tidak bertulang, belum tentu dapat dipercaya." dalam batin ia berkeukuh pendapat namun tidak bisa tidak tergerak juga hatinya, pikirannya, "Mungkin benar Ling-tiat-wi telah kena dipincut oleh siluman perempuan itu? Ai, peribahasa mengatakan seorang pahlawanpun akhirnya bakal tekuk lutut dipelukan wanita cantik. Bukan mustahil Ling Tat wipun mengalami kesalahan langkah ini."
"Ada kejadian apa lagi yang diketahuinya?" tanya Lu hujin lebih lanjut.
"Tiada kejadian apa-apa lagi," sahut Siau seng-cu. "Baik, uang itu kau bawa pulang dan lekas bawa adikmu pergi ketempat yang jauh malam ini juga kalian harus berangkat."
Setelah Siau seng cu pergi; segera Lu-hujin membujuk dan menghibur putrinya, "Ling Tiat-wi melakukan kesalahan besar yang memalukan ini kaupun tidak perlu bersedih bagi dia, yang penting besok kau harus pergi menyambut ayahmu pulang. Sekarang masuklah istirahat sekalian bersiap untuk berangkat besok pagi."
Lu Giok-yau mengiakan, katanya, "Mengenai persoalan Tiat wi itu, betapa pun dia adalah penolong keluarga kita."
"Lalu apa kehendakmu atas diriku, kau minta aku menyeretnya kemari? Bukan saja aku tidak bisa kelayapan diluar, seumpama aku benar kesana menggelandangnya pulang paling tidak harus melabrak dulu, siapapun perempuan itu, hubungan mereka sudah begitu mesra, masa dia mau kembali lagi?"
Segera Khu Tay seng ikut menambahi, "Tadi Siau Seng cu sudah menjelaskan seluruhnya. Menyirapi ke Yo-ka-tong, juga tiada membawa manfaat lagi. Piaumoay kunasehatkan kau lupakan saja kejadian memalukan ini."
"Piauko, apa yang kau cerewetkan?" omel Lu Giok yau uring-uringan. "Aku hanya ingin menyelidiki kebenaran berita ini, kau kira aku mementingkan hubungan pribadi melulu. Piauko, jangan kau lupa Ling Tiat-wi juga pernah menolong jiwamu dari renggutan elmaut tahu!"
Merah padam selebar muka Khu Tay seng, ingin dia mendebat, namun dihadapan sang Bibi ia menjadi kuncup nyalinya, pikirannya, "Ling Tiat wi bocah keparat itu tidak mungkin bakal kembali lagi kemari. Cepat atau lambat Piaumoay bakal menjadi istriku, sekarang dia sedang uring-uringan dan jengkel buat apa aku bertengkar mulut dengan dia?" karena pikirannya ini maka dengan menyengir kecut ia berkata, "Piaumoay, aku berkata demi kebaikanmu. Mungkin kata-kataku tadi rada menyakiti hatimu, maafkanlah! Ehm, Ling Tiat-wi sendiri yang melakukan kesalahan yang memalukan ini, seumpama kita harus membantu dia juga menjadi serba runyam!"
"Sungguh, jangan singgung lagi soal Tiat-wi," sela Lu hujin merengut. "Giok-yau, mari kau ikut aku pulang kamar, Tay seng, siapkan sebuah kamar untuk tempat tinggal Cin-siheng ini, hari ini harus istirahat lebih pagi."
Dalam hati Tay seng menepekur, "Orang she Cin ini meski Sute Ling Tiat-wi, kelihatannya iapun membenci perbuatan Suhengnya yang memalukan itu." Karena Cin Liong hwi membawakan berita yang menjelekkan nama baik Ling Tiat-wi, maka Khu Tay seng merasa simpatik terhadapnya. Segera ia layani segala keperluan orang dengan tekun dan ramah tamah, katanya, "Saudara Cin, silahkan kau istirahat. Besok pagi pagi kita berangkat bersama." setelah segala keperluan Cin Liong-hwi diatur beres, ia mengundurkan diri kembali ke ruang dalam menemui bibinya untuk mencari berita lebih lanjut.
Kata Lu-hujin, "Untung Piaumoaymu dapat kubujuk dan putuskan pikirannya terhadap bocah gendeng itu, sekarang dia sudah kembali tidur, jangan kau ganggu dia. Kau sendiri lekas pergi tidur dan tidak usah banyak pikiran."
Tidur seorang diri Cin Liong-hwi gulak-gulik diatas ranjang tidak bisa pulas, hatinya gundah gulana, sampai kentongan ketiga matanya masih belum meram. Sekonyong-konyong didengarnya ketokan lirih dua kali diatas papan jendela kamarnya Cin Liong-hwi tersentak sadar lalu melompat bangun, bentaknya lirih, "Siapa itu?" dari luar terdengar sahutan suara perempuan berkata, "Cin toako, jangan keras keras, akulah adanya. Giok yau!"
Kejut dan girang pula hati Cin Liong-hwi, cepat ia mengenakan pakaian lalu membuka pintu menyilahkan Giok yau masuk, katanya, "Nona Lu tengah malam buta rata kau kemari, entah ada urusan apakah?"
"Cin toako. Sejak kecil kau dibesarkan bersama Ling Tiat wi, apa kau percaya benar bahwa dia bisa kepincut akan paras cantik dan menyerah kepada Tartar Mongol?"
"Iniini" Cin Liong-hwi tersekat, dalam hati ia membatin, "Aku harus mengambil hatinya, jangan sekali-kali aku membicarakan kejelekan Ling Tiat-wi dihadapannya lagi. Aku harus bersabar dan menggunakan akal untuk memeletnya supaya dia berobah hati, akan tiba suatu hari kau harus jatuh hati kepadaku." untuk sesaat ia menjadi tergagap tidak menemukan kata-kata untuk diucapkan.
Lu Giok yau menjadi gugup, katanya mendesak, "Cin-toako, kau harus berkata sejujurmu kepadaku."
"Nona Lu, kau sedemikian percaya kepadaku ! Masa aku berani aku bicara ngelantur pada kau," demikian kata Cin Liong-hwi. "Watak Ling toako aku tahu, menurut adatnya yang polos itu tidak mungkin terjadi hal seperti itu. Tapi dia itu terlalu perasa, entah cara bagaimana siluman perempuan itu menggunakan akalnya untuk melet dia, ai apalagi bila dia dipengaruhi oleh perasaan, sulit dikatakan lagi."
"Menurut apa yang kau katakan ini, jadi kau sendiri juga belum berani memastikan jadi masih ada kecurigaan?"
Cin Liong hwi tahu orang berpikir ke arah yang lurus, ketujuan yang baik, karena sungkan bicara terlalu bebas terbuka, terpaksa ia manggut manggut, sahutnya, "Benar, semoga apa yang dilihat dan didengar oleh Sip lt-sian dan Siau-seng-cu tidak benar semua. Atau mungkin dibelakangnya ada kejadian lain yang belum kita ketahui."
"Baik. Cin toako kalau begitu aku mohon bantuanmu !"
Cin Liong-hwi tercengang, katanya, "Mengenai urusan apa ? Asal aku dapat ..."
"Cin-toako, mari kau ajak aku ke Yo-ka-thong, kita selidiki sendiri kesana," demikian ajak Lu Giok-yau.
Cin Liong-hwi terperanjat, katanya, "Bukankah Siau-seng cu ada bilang ada seorang Koksu bangsa Mongol berada disana ? Kepandaian silat Lou Jin cin juga tidak lemah, apalagi masih ada beberapa Busu Mongol lainnya ..."
Berkerut kening Lu Giok-yau, katanya, "Ling Tiat hwi adalah tuan penolong keluarga kami, seumpama aku harus berkorban juga aku harus mencari tahu duduk perkara sebenarnya. Justru kau sendiri adalah sutenya, apakah kau tidak rela menempuh bahaya demi Suhengmu ?"
Cin Liong-hwi menjadi tersentak sadar, pikirnya, "Benar, demi mengambil hatinya, betapapun aku harus berbuat sedemikian rupa untuk menyenangkan hatinya, terutama jangan sampai diketahui hubunganku dengan Ling Tiat-wi sudah renggang," untung dia seorang licik yang cukup pintar mengikuti situasi, sedikitpun tidak merah mukanya, selanjutnya ia berkata: "Sejak kecil aku dibesarkan bersama Tiat-wi, belajar silat bersama pula seperti saudara kandung sendiri, demi menolong dia masa aku sayang mengorbankan jiwaku sendiri? Ucapanku tadi karena aku tidak ingin merembet kepada nona saja."
"Baik, kami punya maksud dan tujuan yang sama, maka marilah segera berangkat," demikian ajak Lu Giok-yau.
"Entah apakah nona sudah minta ijin kepada ibumu?"
"Aku harus mengelabuinya. Bila sampai diketahui ibu tentu dia melarang aku pergi."
"Jika begitu rasanya kurang enak malah?"
Bertaut pula alis Lu Giok yau, katanya, "Kau ini kenapa plintat plintut? kami berangkat dulu ke Yo ka-thong, biarlah piauko-ku yang menjenguk ayahku kerumahmu."
"Bukan aku cerewet, soalnya masih banyak urusan cukup menguatirkan."
"Soal apa lagi yang menguatirkan ?"