Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 58

CSI

Laki-laki baju hijau itu malah menggeleng kepala, katanya : "Aku tidak mau bergebrak dengan kau."

"Huh," dengus Cin Liong-hwi, ejeknya menyeringai, "Mulutmu bicara besar, kiranya juga begitu saja ilmu yang kau pelajari, kalau tidak berani bertanding silakan minggat dan jangan banyak cerewet disini."

Wajah laki-laki itu tetap kaku dingin tak bergerak, sedikitpun ia tidak jadi marah oleh sindiran Cin Liong-hwi, katanya, "Kau tahu apa, aku tidak mau gebrak dengan kau karena ada sebabnya. Tapi bila hanya bertanding kepandaian saja boleh deh !"

"Bertanding cara bagaimana; silakan sebutkan !" tantang Cin Liong-hwi.

"Aku perlu bicara dimuka, jikalau kau kalah dan tunduk lahir batin, kau harus berlutut dan menyembah dan angkat guru kepada aku."

Cin Liong-hwi, seorang yang gampang diumpak dan gampang dipancing perasaannya, tanpa memikirkan akan segala akibatnya, kontan ia menyemprot dengan murka, "Bila kau yang kalah ?"

Orang itu tertawa, ujarnya, "Hormat menghormati sudah tentu aku juga angkat kau menjadi guruku. Tak perduli usiamu jauh lebih muda dari aku."

"Baik," seru Cin Liong-hwi. "mari dimulai. Bertanding cara apa ?" dalam benaknya berpikir. "Pertandingan ini bukan mengadu kekerasan. Tadi dia bilang hendak membuatkan dan patuh supaya angkat guru padanya seandainya benar aku kalah, dimulut kukatakan tidak tunduk, juga bukan berarti aku melanggar janji."

Belum habis jalan pikirannya, terdengar laki-laki baju hijau itu sedang berkata, "Tadi kau pukul batang pohon ini, kau sudah tunjukkan jurus ilmu Bik-le-ciang dari warisan keluargamu yang paling ampuh. Sekarang menjadi giliranku untuk memukul juga batang pohon ini untuk dibanding dengan kau, bagaimana menurut pendapatmu ?"

Melihat orang bertubuh kurus kering, kulitnya kuning kuyu seperti berpenyakitan, tidak seperti tokoh lwekang yang liehay, maka tanpa beragu lagi Cin Liong-hwi berkata, "Baik begitulah jadi aku tidak perlu memukul lagi?"

"Memang kepalanmu sudah melepuh, bila mukul lagi pasti jauh lebih lemah dari pukulan pertama."

Kena terkorek kelemahannya Cin Liong hwi menjadi malu dan merah jengah seluruh mukanya, bentaknya, "Ayo lekas pukul, cerewet apa lagi ?"

Laki-iaki baju hijau itu berkata pelan-pelan, "Baik, coba kau perhatikan." enteng sekali pukulannya dihantamkan tanpa bersuara tidak membawa kesiur angin. Begitu kepalan mengenai batang pohon, sedikitpun pohon itu tidak tergetar atau bergoyang.

Cin Liong-hwi terbahak-bahak, ujarnya, "Walaupun kepandaianku tidak becus, jelek-jelek pukulanku merontokkan banyak daun pohon, sedang kau, pukulanmu merontokkan daun pohonpun tidak, apa apa kau tidak lekas menyerah kalah? Hehehe, haha lekas berlutut dan menyembah kepada aku, angkat aku sebagai guru."

Orang itu berdiri menggendong tangan, sikapnya acuh tak acuh seperti tak dengar dan tak melihat sikap congkak Cin Liong hwi yang takabur itu.

Gelak tawa Cin Liong-hwi semakin lemah, mendadak air mukanya mengunjuk rasa heran dan terbelalak heran, wajahnya kaku dan tak mampu tertawa lagi.

Tampak olehnya dalam sekejap lalu seluruh daun pohon menjadi layu dan menguning, seluruh dahan ranting dan pohon itu menjadi kuyu dan kering tak hidup lagi.

Sebelum ini batang pohon siong itu subur menghijau, sekarang mendadak berubah menjadi kuyu dan kering tak hidup lagi.

Berselang tak lama lagi, terdengar suara keretakan dari patahnya dahan-dahan pohon itu, bukan saja seluruh daunnya rontok menguning, seluruh ranting-rantingnya juga berjatuhan tinggal batangnya saja yang gundul.

Baru sekarang laki baju hijau itu buka suara, katanya, "Ai, demi pertandingan ini sebuah pohon siong yang hidup subur harus menjadi kurban. Sekarang kau harus paham kenapa aku tadi tidak mau bergebrak dengan kau?"

Cin Liong-hwi kesima, mulutnya terpentang lebar, matanya mendelik tak mampu buka suara dalam hati ia membatin, "Bila badan manusia yang terdiri dari daging dan tulang kena pukulan ini betapa akibatnya?"

"Kau sudah menyerah kalah lahir batin belum?'' tanya laki-laki baju hijau.

Diam-diam Cin Liong-hwi menepekur. "Kepandaian silat orang ini begitu lihay bila aku angkat dia sebagai guru kelak tentu akan dapat mengalahkan Hong thian-lui bocah keparat itu. Tapi mana boleh aku angkat dia sebagai guru secara resmi?" begitulah hati dirudung kekuatiran dan bersangsi namun lahirnya ia tetap mengakui keunggulan lawan, katanya, "ilmu silatmu kenyataan memang jauh lebih tinggi dari aku, aku tunduk."

"Kalau begitu ayo lekas maju berlutut dan menyembah angkat guru kepadaku."

Cin Liong hwi menjadi tersekat sekat, katanya; "Bukan aku hendak menjilat ludahku sendiri, hal ini, ini . . . ."

Laki-laki baju hijau seperti dapat meraba isi hatinya, katanya, "Kau hendak pulang minta restu dari ayahmu bukan?"

"Betul, urusan besar begini, betapapun aku harus lapor dan minta ijin kepada ayahku."

Berubah air muka laki baju hijau mukanya sungguh-sungguh katanya: "Ketahuilah, bila kau angkat aku sebagai guru maka jangan sampai diketahui oleh orang lain. Aku sendiri akupun tidak akan membocorkan rahasia ini. Bila dihadapan orang luar, anggap saja kau dan aku tidak pernah berkenalan. Sudi atau tidak kau angkat aku menjadi gurumu, terserah kepada kau."

Uraikan kata-kata ini justru merupakan pembuka jalan bagi kesulitan yang dihadapi Cin Liong-hwi. Maklum keluarga Cin merupakan keluarga persilatan sejak moyangnya turun temurun, ilmu silat keluarganya sangat disegani oleh seluruh kaum persilatan, bila diketahui ia angkat guru dan belajar kepandaian dari aliran lain merupakan suatu noda bagi keluarganya mana dia berani beritahu hal ini kepada ayahnya.

Dalam hati Cin Liong hwi sebetulnya sangat rela namun dimulut ia masih berkata, "Kenapa kau sudi menerima murid tidak becus macamku ini?''

Mendengar pertanyaan Cin Liong-hwi, orang itu terloroh loroh.

"Locianpwe apa yang kau tertawakan?"

"Kutertawakan kau ini tidak bisa meniIai diri sendiri, selain itu akupun merasa sayang bagi kau kutertawakan ayahmu yang menyia-nyiakan bakatmu yang bagus ini."

Kalau biasa Cin Liong-hwi mendengar kata kata ini pasti akan murka dan berjingkrak marah. Tapi sekarang dia tahu bahwa orang yang dihadapi ini seorang tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mana dia berani mengumbar amarah? Begitulah rasa hormatnya lebih mempertebal keyakinannya untuk mempelajari silat orang, maka dengan laku hormat ia menjura serta katanya, "Harap Locianpwe suka memberi petunjuk!"

"Sebetulnya pembawaanmu cerdik pintar dan berbakat," demikian ujar laki laki baju hijau, "kenapa kau tidak mentas dalam pelajaranmu, soalnya karena ayahmu tidak tahu cara mengajar orang harus disesuaikan dengan kondisi orang itu sendiri, yang menggelikan justru kau sendiri juga tidak punya keyakinan dan pendirian yang teguh, pintarmu hanya mengeluh dan salahkan orang lain, bukankah kau terlalu menilai rendah dirimu sendiri?"

Kata-kata ini lahirnya mencercah pada Cin Liong hwi, namun tujuan yang sebenarnya adalah mengumpak dan memuji secara tidak langsung. Bagi pendengaran Cin Liong hwi seolah-olah ia kejegal jatuh digumpalan awan tubuhnya melayang-layang tinggi diangkasa sehingga tulang2nya terasa ringan.

Segera ia berkata kegirangan, "Kalau begitu bila Tecu mendapat guru teladan yang baik, dan dididik tiga lima tahun secara tekun, tentu aku dapat mengalahkan Toa suhengku itu bukan?"

Laki laki itu mendengus hidung, jengeknya, "Apakah hanya begitu saja tujuanmu belajar silat? Jauh terlalu rendah cita-cita yang kau impikan! Bila kau menjadi muridku tidak perlu setahun kaudapat sejajar dengan ayahmu, kira kira tiga tahun kemudian, kutanggung kau akan dapat sejajar dalam urutan sepuluh tokoh kosen berilmu paling tinggi didunia ini! Bagaimana kau sudi angkat aku menjadi gurumu tidak?''

Keraguan Cin Liong-hwi sudah tersapu bersih, serta mendengar dirinya kelak dapat sejajar dalam urutan tokoh-tokoh kosen lebih girang pula hatinya, tanpa ragu lagi kontan ia berlutut dan menyembah tiga kali, dengan laku hormat ia menyebut, "Guru!"

Laki-laki itu terbahak bahak, sambil membimbingnya bangun, ujarnya, "Murid mencari guru pandai guru kenamaanpun harus memilih murid yang berbakat, sudah beberapa tahun ini aku main pilih saling berganti baru sekarang aku memperoleh murid yang memenuhi seleraku."

Selamanya Cin Liong hwe belum pernah mendapat umpak dan pujian begitu tinggi dari Cianpwe, keruan girang dan gembira benar hatinya. Dalam hati ia membatin, "Tak heran dengan berbagai akal muslihatnya dia menjebak aku menjadi muridnya. Ternyata, hanya akulah seorang yang sembabat menjadi muridnya." setelah berdiri ia bertanya, "Tecu masih belum mohon kenal she dan nama besar Suhu!"

Laki-laki itu tertawa katanya, "Namaku sudah banyak tahun tidak digunakan lagi, orang lain mengundangku Jing-hou-khek. Bila tiada orang lain boleh kita panggil aku Suhu bila ada orang seperti orang lain panggil aku Jing hou khek saja bila perlu anggap saja belum pernah berkenalan. Buat apa pula kau mengetahui she dan namaku?"

Dimulut Cin Liong hwi mengiakan, dalam batin ia berkata, "Kiranya watak Suhu begini aneh!''

Kata Jing hou-khek, "Mulai sekarang juga kuajarkan Lwekang Simhoat dari ajaran perguruan kita, kau harus tekun belajar dan mendengar dengan cermat. Coba kutanya dulu, cara bagaimana ayahmu mendidik kau?"

"Cara ayah mengajar Lwekang diharuskan hawa murni terpusat dipusar semakin latih hari kehari semakin tebal bulan kebulan semakin kuat, dengan sendirinya setelah makan waktu lama kekuatan hawa murni itu akan semakin besar." cara yang disebutkan ini adalah pengetahuan umum bagi pelajaran Lwekang dari aliran lurus setelah menjelaskan cara ajaran ayahnya ini diam diam Cin Liong hwi menjadi heran, pikirnya, "Apakah ajaran Lwekang Suhu punya perbedaan?''

Benar juga sesuai dengan dugaannya, tampak Jing hou khek geleng geleng kepala, ujarnya, "Salah, salah!"

Posting Komentar