"Toasuhu merintang jslan, entah ada petunjuk apakah?"
Pendeta tua angkat sebelah tangannya di-depan dada sambil bersabda Budha, lalu ia bertanya dengan suara rendah.
"Apakah Siau-si-cu ini adalah Kim-pit-jan hun Ma Giok liong yang baru-baru ini menggemparkan Bu lim?"
Alis Giok liong rada berjengkit, sahutnya sambil merangkap tangan.
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya, Harap tanya siapakah nama julukan Taysu ini serta dari aliran atau seaiaysjaa dikuil yang mana ?"
Sebentar sepasang mata pendeta tua memancarkan kilat tajam lantas menghilang, sahutnya tertekan.
"Loceng Hiankhong, Hong-tiang, Siau lim-si beserta dua belas muridku, sudah lama kita menunggu kedatangan tuan disini."
Terkejut Giok-liong dibuatnya, pikirnya.
"sungguh tak nyana Hong tiang Siao-lim-si Hian-khong Taysu pimpin para muridnya ikut campur dalam urusan ini. Apa mungkin kedatangan mereka disini melulu hendak menghadapi aku ?"
Ternyata ketua Siau-lim-si Hian-khong Taysu ini sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sekian tahun lamanya tidak ikut campur mengurus perkara duniawi, Begitu hebat kepandaiannya menurut kabarnya sudah sempurna betul, tapi selama ini belum pernah dengar ada orang pernah menjajal ilmu silatnya itu.
Otaknya berpikir, namun lahirnya Giok liong tetap berlaku tenang, sikapnya ini sungguh sulit untuk dijajaki, katanya sambil tersenyum.
"O ini ... aku yang rendah sungguh tidak berani terima sampai sampai ketua Siaulim-si serta para Taysu menunggu aku disini, Hian-khong Lo cianpwe apakah ada urusan harap suka memberi petunjuk!"
Sekali lagi Hian-khong bersabda Budha, baru berkata lirih.
"Kedatangan pendeta tua ini tak lain bukan hanya untuk menolong bencana pembunuhan yang berkenaan di Bu-lim."
"Oh."
Ujar Giok-Hong.
"Menghindarkan bencana pembunuhan besar yang berkancah di Bulim ini, adakah sangkut pautnya dengan diriku ?"
"Kulihat Siau-si cu bermuka cakap bersinar terang, kalau dugaan Loceng tidak salah pasti kepandaian silatmu tidak sudah dibawah gurumu Pang cian-pwe bukan ?"
Giok liong unjuk senyum lagi, ujarnya.
"Cian-pwe terlalu memuji, aku yang rendah sungguh tak berani menerima pujian ini."
"Kalau Siausicu mempunyai dendam sakit hati dengan delapan aliran besar lurus Loceng ingin benar mendengar penjelasan serta seluk beluknya. Mungkin aku bisa jadi penengah untuk melerai pertikaian, demi Siau-sicu sendiri juga bagi kaum persilatan umumnya."
Mendadak Giok-liong mendongak bergelak tertawa, nada gelak tawanya kumandang meninggi seperti gerungan naga dan aum singa, bergema lama dan menembus ketengah awan.
Setelah menghentikan tawanya, mendadak ia berseru lantang "Para kawan sudah jauh berdatangan kemari, sungguh aku yang rendah merasa sangat beruntung mendapat kehormatan begini besar.
Mengapa bermain sembunyi kepala mengerutkan ekor seperti bangsa panca longok ?"
Kelihatan Hian-khong Taysu sedikit mengerutkan alis, hatinya membatin.
"Baru saja aku mendengar kesiur angin. Dia lantas bisa mengetahui ...
"
Benar juga dari belakang batu besar sebelah samping sana lantas kumandang tawa terkekeh yang menusuk telinga, beruntun melompat keluar tiga orang enam puluhan tahun, rambut dan jenggot mereka sudah beruban semua.
Seorang tua yang terdepan berseru keras sambil tertawa lebar.
"Ma Giok-Iiong kiranya memang tidak bernama kosong, Aku Ka Liang-kiam benar-benar tunduk akan kelebihanmu ini."
Habis berkata berbareng mereka lantas unjuk hormat kearah Hian-khong Taysu serunya.
"Kita bertiga saudara setindak rada lambat, harap Taysu suka memberi maaf !"
Hian-khong membalas hormat sambil merangkap sebuah tangan didepan dada sahutnya.
"Thian-san-sam-kiam mau turun gunung sendiri, benar-benar merupakan keberuntungan Bulim."
Tengah mereka berbasa basi ini, dari hutan sana berjalan keluar pula seorang Tosu tinggi kurus, punggungnya memanggil sebatang pedang panjang enam kaki, raut muka rada pucat, kedua matanya sipit sembari jalan menghampiri ia menyelak dingin.
"Hehehehe, ternyata kalian sudah datang lebih dulu !"
Begitu melihat Tosu tua ini, Hian-khong serta Tian sansam- kiarn seketika tercengang segera mereka buru-buru unjuk hormat sambit tertawa.
"Tak nyana Ji-ngo Lo cian-pwe tidak menikmati hidup ma di Ciong-lam ini betul betul merupakan rejeki besar bagi kaum persilatan."
Tatkala itu dari empat penjuru beruntun berdatangan banyak macam dan ragam tokob-tokoh silat, ada Hwesio ada Tosu serta banyak pula orang-orang preman, sedikitnya ada puluhan orang jumlahnya.
Serta merta Giok-liong menjadi terkurung ditengah gelanggang.
BegituIah setelah semua hadirin saling sapa sekadarnya, pandangan semua hadirin lantas terpusatkan pada diri Giok liong, Suasana menjadi sunyi dan tegang melingkupi benak seluruh hadirin.
Begiulah setelah semua hadirin saling sapa sekedarnya, banyak orang meloncat tinggi di belakang Giok-liong.
Dimana mereka berbareng mengayun tangan, digabung sinar berkeredepan dari pancaran jarum berbisa warna biru meluncar kearah pinggang Giok liong.
Bukan sampai disitu saja serangan ganas ini, bersama itu tiga gulung angin pukulan juga sekaligus menerpa tiba.
Giok-liong berdiri tenang seperti tidak tahu bahwa dirinya terancam bahaya, ujung mulutnya menyungging senyum ejek yang samar-samar tak dapat dilihat orang lain.
Adalah Ciong-lam-koay-to (Tosu aneh dari Ciong-lam-san) Ji-ngo mendelikkan sepasang biji matanya yang membara, sambil mendengus hina ia menggumam.
"Dihadapan aku orang tua juga berani bermain pola !"
Lengan bajunya yang panjang gondrong pelan pelan dikebutkan, segulung angin segera menerjang keluar tanpa mengeluarkan suara. Giok-liong sedikit manggut kearahnya serta katanya.
"Terima kasih akan kebaikan Cian-pwe!"
Seenaknya saja sebelah tangannya mengulap sedepan, ditengah gelanggang lantas terdengar pekik kesakitan yang tertahan ketiga bayangan orang yang bergerak membokong mendadak jungkir baiik terpental balik tergulung didalam jarum jarum beracun yang disambitkan tadi, seketika terjadi hujan darah dan mereka terbanting sejauh beberapa tombak sebelum terbanting ditanah jiwanya sudah melayang.
Sementara itu Ji-ngo merasa seakan-akan suatu tenaga lunak yang tidak kentara membendung tenaga kebasan lengan bajunya itu sehingga badannya sedikit tergeliat.
Kejadiao yang mendadak ini menimbulkan kegemparan diluar gelaaggang, banyak orang memaki dan berteriak "Dimana keadilan dunia persilatan, bocah keparat ini sekali turun tangan lantas melukai orang ..."
"Kinilah saatnya kita tumpas kejahatan dan ringkus iblis laknak ini ..."
"Sungguh kejam dan telengas betul cara turun tangan bocah keparat ini ...
"
"Maknya, sekali turun tangan mencabut jiwa orang, emangnya jiwa manusia tidak berharga, permainan apa ini ..."
Bayangan orang berkelebatan tujuh delapan orang sudah melompat memasuki gelanggang di sebelah sana banyak para Tosu yang berangasan sudah mencabut pedang serta menghardik galak.
"Kita harus tuntut balas bagi Go-bi-pay, berabtas sampah persilatan, sekarang sudah tiba saatnya."
Semakin banyak orang berdatangan mengepung diluar gelanggang, mungkin jumlahnya tidak kurang dari seratus orang.
Ketua Siaulim si Hian-khong Tajsu malah pejamkan mata dan tunduk kepala, mulutnya bersabda Budba, Demikian juga Thian-san-sam-kiam berdiri diam saja.
Sekonyong konyong gema tawa dingin yang merindingkan pendengaran berkumandang diantara keributan itu, Ringan sekali Ji-ngo si Tosu aneh dari Clong-lam malah berdiri sejajar dengan Giok-liong, serunya dingin.
"Ketiga kurcaci ini membokong dari belakang. Dengan cara kematiannya ini cukup setimpal dengan perbuatan mereka ini sudah boleh dikata cukup bijaksana! Kalian semua coba siapa yang tidak terima, mari hadapi Lohu."
Memang ketenaran dan kebesaran nama si Tosu aneh dari Ciong-lam pay ini bukan kosong belaka, seketika seluruh hadirin terbungkam mulutnya. Giok-liong tersenyum ewa kearah Ji-ngo ujarnya.
"Teriina kasih akan bantuan cianpwe..."
Ciang-lam-koay to Ji-ngo menjengek dingin.
"Aku bekerja menurut gelagat sekarang, setelah urusan ini selesai, perhitungan lainnya harus diselesaikan secara lain."
Baru selesai ia bicara, meluncurlah dua bayangan abu-abu kedalam gelanggang tahu-tahu dua orang tua dengan jenggot panjang menjulai didepan dada menggunakan baju abu abu mendarat dihadapan Ciong-lam-koay-to, serunya.
"Selamat bertemu! selamat bertemu!"
Air muka Ciong-lam-koay to membeku dingin dengusnya.
"Untuk apa kalian kemari?"
Diluar terdengar suara bisik bisik.
"Cihu ji-lo juga datang, mungkin Ci hu-sin-kun sudah tidak jauh dari sini."
"Biarkan saja, coba lihat Ji-ngo si tua bangka itu cara bagaimana hendak menghadapi mereka."
Salah seorang dari Ci-hu-ji-lo yang berdiri disebelah kanan air mukanya mengunjuk warna abu-abu, segera ia merubah sikap lalu berkata menyeringai.
"Ma Giok-liong adalah orang yang sudah di tunjuk untuk diringkus pulang oleh Sin kun, kita berdua menerima perintah beliau untuk menyambutnya pulang!"
Tepat pada saat itulah muncul sesosok bayangan hijau pupus, laksana dedemit hinggap ditengah gelanggang, suasana seketika menjadi seram diliputi kengerian, sebuah suara yang mengalun lemah merdu berkata.
"Apakah obrolan Sin-kun saja lantas menjadi perintah kerai?"
Keruan semua hadirin menjadi kaget, beramai mereka berpaling kearah datangnya suara.
Kiranya bayangan hijau pupus ini adalah seorang pertengahan umur berwajah pucat pias, tubuhnya kurus semampai kelihatan sangat lemah.
Dari bentuk tubuhnya yang tinggi semampai raut mukanya yang lonjong indah serta bibirnya yang tak berdarah itu, dapatlah diperkirakan semasa mudanya pasti perempuan ini adalah seorang wanita cantik yang menggemparkan jagat.
Begitu orang ini muncul seluruh gelanggang menjadi ribut bisik-bisik dan seruan tertekan "Bik-lian-hoa..."
"Bu-lim-su-bi kiranya masih hidup ..."
Samar-samar Giokliong mendengar bahwa perempuan pertengahan yang baru datang ini ternyata adalah Bik-liam-taoan salah satu dari Bu - lim - su - bi serta merta darinhati kecilnya timbul rasa dekat dan bersahabat Berulang kali ia melirik memandang dengar seksama.
Apa yang dilihatnya menjadikan hati Gi-ok-liong merasa terkesiap dan kasihan..
Meski sudah pertengahan umur namun wajah Bik-lian-hoa masih kelihatan halus cantik kedua biji matanya yang hitam sebaliknya meoiankan rasa duka dan pedih sedalam lautan.