Sepasang Pedang Iblis Chapter 21

NIC

"Pedangku yang baik hari ini engkau boleh berpesta pora!"

Bun Beng mengepal tinjunya.

"Suhu, dia itu selain sombong juga kejam. Kalau teecu berkepandaian tentu teecu maju dan melabraknya! Sayang kepandaiannya terlalu tinggi, dia lihai bukan main. Akan tetapi teecu yakin bahwa Suhu tentu akan dapat melabraknya sampai dia meratap minta ampun!"

"Hushh! Ingat bahwa kita adalah penonton. Dia memang lihai dan baru sekarang engkau akan menyaksikan kehebatan tokoh-tokoh kang-ouw,"

Jawab suhunya. Tosu kurus itu kini memandang ke sekeliling.

"Pinto paling suka main pedang. Adakah di sini ahli-ahli pedang untuk bermain-main dengan pinto? Telah lama pinto mendengar nama-nama besar seperti Siauw-lim Chit-kiam yang dulu kabarnya dikalahkan oleh Kang-thouw-kwi, malah dua di antaranya tewas oleh puteri jelita! apakah mereka yang lima orang masih hidup? Ataukah sudah tidak berani lagi mencabut pedang setelah hilang yang dua orang?"

"Hemm, tosu sesat!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan kelima orang Siauw-lim Ngo-kiam sudah meloncat ke depan tosu itu. Bun Beng memandang penuh perhatian dan jantungnya berdebar. Kini barulah mereka akan membuka mata menyaksikan kelihaian Siauw-lim-pai, pikirnya bangga. Akan tetapi dengan heran ia mendengar gurunyaa mengeluh.

"Mengapa mereka itu masih berdarah panas? Mudah saja dipancing, sungguh celaka!"

Bun Beng tidak sempat bertanya karena ia tertarik sekali memandang ke lapangan itu. Si Tosu kurus menggunakan matanya yang sipit, menyapu kelima orang itu dengan pandang matanya penuh perhatian. Dia melihat dua hwesio dan tiga orang kakek yang usianya rata-rata lima enam puluh tahun, sikapnya gagah perkasa dan tenang sekali. Dia menduga-duga, kemudian tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Agaknya kalian inilah yang terkenal dengan julukan Siauw-lim-kiam yang sudah tinggal lime orang?"

Memang mereka adalah lima orang sisa Chit-kiam, dua orang telah tewas, yaiut orang keenam dan ketujuh. Yang pertama adalah Song Kai Sin, tinggi tetap, usianya hampir tujuh puluh tahun. Kedua adalah Lui Kong Hwesio, juga tinggi besar dan bermata lebar, berusia enam puluh dua tahun. Orang ketiga dan keempat adalah Oei Swan dan Oei Kong, kakak beradik yang berwajah sama, juga sudah enam puluh tahun lebih. Adapun yang kelima adalah Lui Pek Hwesio yang bertubuh kecil bermata tajam, berusia enam puluh tahun.

"Hok Cin Cu, kami tahu bahwa engkau adalah yang dahulu mengganas di pantai selatan dan berjuluk Cui-siauw-kiam. Kini berlagak jadi tosu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau hanyalah seorang sombong yang mengakuaku sebagai tosu sehingga mencemarkan agama To saja. Engkau tadi mencari kami, nah kami Siauw-lim Ngo-kiam berada di sini, engkau mau apa? Yang bicara adalah Song Kai Sin, orang tertua Siauw-lim Ngo-kiam.

"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali.! Kiranya Siauw-lim-pai mengutus jago-jago pedangnya untuk merebut kedududkan tertinggi di dunia persilatan!"

"Jangan asal membuka mulut!"

Bentak Lui Kong Hwesio marah. Siauw-lim-pai tidak butuh akan segala macam adu kepandaian! Kami hanya maju ke sini karena tadi kau mengeluarkan tantangan, pendeta palsu!"

"Ha-ha-ha-ha! Dengar ucapan hwesio ini! Dia memaki pinto pendeta palsu sedangkan dia yang berkepala gundul dan berjubah hwesio masih suka memaki orang!"

Wajah Lui Kong Hwesio menjadi merah dan dia tak dapat membantah. Memang harus diakui bahwa dia menurut penghidupan suci, selalu bersikap halus welas asih terhadap sesama manusia. Akan tetapi sebagai pendekar, dia tidak dapat bersikap halus terhadap orang jahat!

"Hok Cin Cu,"

Cepat Song Kai Sin berkata.

"Tak perlu banyak cakap. Kami tidak ingin mengadu kepadaian untuk memperebutkan kedudukan apa pun juga. Akan tetapi, kami sebagai murid-murid Siauw-lim-pai takkan pernah mundur kalau Siauw-lim-pai ditantang!"

"Benarkah? Kalau begitu untuk apa kalian hadir di sini? Apa untuk mencoba-coba untung barang kali saja bisa mendapatkan pusaka? Ha-ha!"

Ucapan itu mengejutkan semua orang yang hadir. Mereka tanpa berjanji telah sepaham dalam hati bahwa tentu saja mereka semua tidak ada yang berterang hendak mencari pusaka yang kabarnya telah ditemukan petanya oleh pemerintah. Apa lagi kini pihak pemerintah hadir juga. Karena itu mereka menggunakan dalih pibu. Siapa kira tosu ini bicara seenaknya saja!

"Kami tidak sudi berbantah dengan orang macam engkau, Hok Cin Cu. Pendeknya jika engkau menantang Siauw-lim Ngo-kiam, tarik kembali tantanganmu!"

Tosu itu tertawa lagi.

"Ha-ha-ha! Siapa takut? Andai kata jumlah kalian masih lengkap tujuh orang, pinto tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam, apa lagi hanya Siauw-lim Ngo-kiam! Majulah kalian berlima!"

Ia sudah menggerakkan pedangnya sehingga berdengung-dengung. Song Kai Sin maklum bahwa tosu ini amat lihai pedangnya, mungkin tidak di sebelah bawah datuk-datuk sesat jaman dahulu seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo dan yang lain-lain. Maka ia cepat memberi isyarat kepada para sutenya untuk membentuk lingkaran dan mainkan Chit-seng Sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang). Tosu ini berseru keras, lalu bergerak memutar pinggangnya sehingga terdengar bunyi mengaung seperti suling ditiup. Lima orang gagah Siauw-lim-pai itu pun lalu menggerakkan pedang mereka dan gterdengarlah bunyi mencicit-cicit dan pedang mereka berubah menjadi sinar-sinar terang yang meluncur ke depan.

"Hebat para suheng itu!"

Bun Beng berseru girang.

"Hemm..., Chit-seng Sin-kiam seharusnya dimainkan oleh tujuh orang, kini dimainkan oleh hanya mereka berlima, sungguh banyak berkurang kelihaiannya. Kalau lengkap mungkin menang. Akan tetapi sekarang...!"

Kakek itu melangkahkan kaki, menuruni tebing dan mendekati lapangan pertandingan, diikuti oleh Bun Beng dengan jantung berdebar. Demikian lihaikah tosu kurus itu sehingga suhunya merasa khawatir bahkan seperti sudah tahu bahwa lima orang suheng-nya akan kalah? Pertempuran kali ini benar-benar hebat luar biasa. Mata para penonton sampai menjadi silau dan telinga mereka sakit-sakit mendengar nyanyian pedang Si Tosu diseling suara mencicit nyaring lima batang pedang jago-jago Siauw-lim-pai itu. Tubuh enam orang itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung menjadi satu. Untuk membedakan mana pedang mereka hanya nampak pedang bersinar perak yang bergulung-gulung,

Itulah pedang Hok Cin Cu, sedangkan pedang murid-murid Siauw-lim-pai merupakan sinar-sinar terang yang gerakannya lurus maju mundur hanya membentuk lingkaran kecil di luar lingkaran besar sinar pedang Hok Cin Cu. Seratus jurus telah lewat dan pertandingan masih berjalan seru. Akan tetapi lingkaran sinar pedang seperti perak itu makin membesar, suara suling makin nyaring melengking sedangkan lingkaran kecil yang jumlahnya lima itu makin mengecil, suara mencicit juga makin melemah. Inilah tandanya bahwa kelima orang Siauw-lim Ngo-kiam mulai terdesak hebat! Bun Beng tidak mengerti karena dia tidak dapat mengikuti pertandingan yang terlampau cepat baginya itu. Dia menengok ke muka suhunya dan melihat alis gurunya berkerut, maka dia pun menjadi khawatir, lalu memandang lagi ke arah pertandingan.

"Trang-trang-trang-trang-trang!!"

Lingkaran-lingkaran pedang yang kecil-kecil itu bercerai berai dan tampaklah lima orang Siauw-lim-pai itu mencelat ke belakang dengan muka pucat. Tosu itu tertawa dan sinar pedangnya menyambar ke arah mereka, agaknya dia belum merasa puas kalau pedangnya belum minum darah lawan!

"Tahan...!"

Terdengar bentakan halus dan tubuh kakek Siauw Lam telah melayang ke depan. Ia menggerakkan tangan kanannya dan ujung lengan bajunya menggulung ujung pedang Hok Cin Cu, kemudian mendorongnya sambil melepaskan libatan. Hok Cin Cu terkejut. Hampir saja pedangnya terlepas dan ia cepat memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek tua, sedangkan Siauw-lim Ngo-kiam sudah menyimpan pedang dan menjura dengan hormat kepada kakek itu.

"Mundurlah kalian, mengapa mengikuti hati panas?"

Kakek Siauw Lam menegur dengan suara halus akan tetapi kelima orang itu menjadi merah mukanya, kemudian mengundurkan diri. Biar pun Hok Cin Cu maklum dari gerakan kakek itu bahwa ia menghadapi seorang lihai, namun karena ia berwatak sombong dan terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, dia tidak takut dan kini menghadapi kakek Siauw Lam sambil berkata,

"Kakek tua renta! Kenapa engkau lancang dan curang membantu lima orang yang sudah mengeroyokku?"

Kakek Siauw Lam merangkap kedua tangan ke depan dada.

"Maaf, Totiang. Andai kata pertandingan tadi merupakan sebuah pibu, tentu aku orang tua tidak berani turut campur. Akan tetapi pertandingan tadi bukan pibu, melainkan Totiang telah menantang Siauw-lim-pai. Murid-murid Siauw-lim-pai itu tadi berdarah panas, maka biarlah aku orang tua yang mintakan maaf dan harap Totiang tidak mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai yang tidak ingin bermusuh dengan siapa pun juga."

"Heh, kakek tua. Apakah engkau tokoh Siauw-lim-pai?"

"Aku mendapat kehormatan sebagai orang Siauw-lim-pai, maka aku berani mintakan maaf atas nama Siauw-lim Ngo-kiam kepadamu, Totiang!"

"Siapa engkau? Dan apa kedudukanmu di Siauw-lim-pai?"

"Namaku Siauw Lam, dan aku hanya seorang pelayan di Siauw-lim-pai."

Wajah Hok Cin Cu berubah merah.

"Pelayan?"

Ia menoleh ke arah Siauw-lim Ngo-kiam dan bertanya lantang.

"Siauw-lim Ngo-kiam, benarkah kakek ini hanya seorang kakek di Siauw-lim-si?"

Song Kai Sin menjawab,

"Beliau adalah terhitung supek kami, akan tetapi benar bekerja sebagai pelayan di Siauw-lim-si."

Hok Cin Cu menjadi bingung. Kalau dia melawan kakek yang lihai ini dan sampai kalah, bukankah namanya akan hancur lebur karena dia kalah oleh seorang pelayan saja dari Siauw-lim-pai?

"Kakek tua, apakah engkau menantangku?"

"Aku tidak menantang siapa-siapa. Aku orang lemah, mana ingin pibu segala?"

"Kalau begitu pergilah!"

Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

"Hok Cin Cu manusia tinggi hati! Berani engkau menghina seorang Locianpwe?"

Yang muncul adalah Yap Sun dan Thung Sik Lun, dua orang utusan Pulau Es dan yang membentak adalah Yap Sun. Kemudian Yap Sun menjura kepada kakek Siauw Lam sambil berkata,

"Harap Locianpwe sudi mengundurkan diri, tak pantas bagi Locianpwe untuk melayani orang gila ini lebih lama lagi."

Kakek Siauw Lam mengangguk dan mundur, akan tetapi ia bingung karena tidak melihat bayangan Bun Beng! Anak itu diam-diam telah pergi dari tempat tadi. Namun karena di situ terdapat banyak orang dan suasana menjadi tegang, kakek ini bersikap tenang. Bun Beng adalah seorang bocah cerdik dan tidak ada alasan untuk khawatir bagi dirinya. Agaknya bocah itu menggunakan kesempatan kunjungan itu untuk pergi menemui orang sakti! Kini Yap Sun dan Thung Sik Lun menghadapi Hok Cin Cu yang memandang marah dan membentak,

Posting Komentar