Sepasang Pedang Iblis Chapter 20

NIC

"Suhu, siapa yang akan menang dalam pertandingan dashyat itu?"

Tanyanya kepada gurunya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari medan pertandingan.

"Hemm, pertandingan ini belum berapa hebat, Bun Beng. Kalau orang yang sakti maju, tidak perlu menggunakan senjata keras! Kulihat orang she Kwa itu biar pun memiliki ilmu siang-kiam yang hebat dan memiliki gerakan yang cepat, namun ia masih kalah pengalaman dibandingkan dengan ketua Hek-liong-pang, dan tenaga sinkang-nya kalah kuat. Agaknya ketua Hek-liong-pang yang akan menang. Adapun pertandingan yang satu lagi, jelas bahwa ketua Hek-i Kai-pang yang menang karena ia lebih tenang dan tongkat mautnya itu benar-benar berbahaya sekali. Perhatikanlah, pihak tuan rumah itu kini mulai mendesak."

Bun Beng memadang penuh perhatian. Telah lima tahun lamanya dia di gembleng oleh gurunya. Pengetahuannya dalam ilmu silat sudah mendalam, bahkan sudah banyak ilmu silat tinggi yang dia pelajari sehingga dia hanya kurang matang dalam latihan saja dan tenaganya masih belum besar. Akan tetapi dia sudah memiliki kewaspadaan dan dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas. Dia melihat bahwa kini pihak tuan rumah, yaitu kedua pangcu itu, telah mendesak lawan masing-masing sehingga kedua lawannya lebih banyak menangkis dari pada menyerang. Namun dia dapat melihat pula bahwa pihak tuan rumah tidak berniat membunuh lawan, maka kini desakan ditujukan pada lengan atau kaki lawan, buka di bagian yang berbahaya.

"Saya mengaku kalah! Hek-liong-pang mempunya pangcu yang hebat!"

Kwa Ok Kian berteriak sambil melompat mundur, kemudian dia melompat meninggalkan pulau itu dengan perahu kecil.

Berbeda dengan orang she Kwa ini, ketua Hui-houw-pai agaknya merasa malau kalau harus mengaku kalah begitu saja, apalagi dia datang bersama para pembantunya dan di situ terdapat banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi. Sebagai seorang ketua partai persilatan, ia merasa malu kalau mengaku kalah sebelum roboh. Maka ia menggigit bibirnya dan secara mati-matian melakukan perlawanan memutar rantainya sambil melakukan gerakan meloncat tinggi sesuai dengan julukannya, yaitu Macan Terbang! Namun dia sudah terdesak dan tertindih, gerakan-gerakannya sudah terkurung lingkaran sinar tongkat hitam, maka dalam belasan jurus berikutnya ia kewalahan dan terlambat menangkis.

"Kreekkk!"

Terdengar suara dan tubuh Sim Koa Bi terbanting tak dapat bangkit kembali karena tulang kering kaki kanannya remuk dihantam tongkat.

Para pembantunya cepat datang dan menggotongnya pergi dari pulau itu dengan perahu mereka. Setelah ketua mereka kalah, mau apa lagi? Bertahan di tempat itu tidak ada gunanya, pula hanya mendatangkan malu saja. Setelah babak pertama dibuka oleh kedua orang pangcu sebagai pihak tuan rumah, muncullah dua orang jagoan perorangan, yang seprang dari selatan, yang kedua dari barat. Kembali mereka disambut oleh kedua orang pangcu yang konsen itu. Pertandingan kali ini lebih dahsyat lagi, lebih hebat dari pada tadi. Biar pun pertandingan ini pun berakhir dengan kemenangan kedua orang pangcu, akan tetapi mereka berdua menjadi lelah sehinga setelah berhasil memperoleh kemenangan, pangcu dari Hek-liong-pang berkata ambil menjura ke empat penjuru.

"Karena kami berdua telah amat lelah, harap Cu-wi sekalian sudi mempertimbangkan dan memberi kesempatan kepada kami untuk beristirahat. Selanjutkan kami mohon agar para Enghiong yang ingin mengukur kepadaian satu kepada yang lain suka maju lebih dulu. Kalau kami sudah beristirahat, nanti kami akan maju untuk menghadapi para pemenangnya."

Tentu saja alasan ini diterima baik, maka kini majulah empat orang dari golongan partai lain dan kembali terjadi pertandingan antara keempat orang itu, terbagi menjadi dua rombongan. Pertandingan ini berjalan tidak seimbang dan dalam waktu tiga puluh jurus saja, dua orang dari dua macam bu-koan (perguruan silat) sudah memperoleh kemenangan. Kemudian dua orang pemenang ini berhadapan dengan kedua orang pangcu tuan rumah yang tadi keluar sebagai pemenang sampai dua kali. Kembali terjadi pertandingan menggunakan senjata yang amat seru.

"Hemm, agaknya para Locianpwe yang sakti masih menanti kesempatan, hanya suka maju kalau melihat yang cukup berharga untuk dilawan,"

Kata kakek Siauw Lam perlahan.

"Aihhh, apakah yang bertanding masih kurang lihai, Suhu?"

Bun Beng bertanya heran, juga terkejut bahwa mereka yang telah bertanding sehebat itu ternyata masih belum dianggap lihai oleh gurunya.

"Ahh, mereka itu hanya termasuk tokoh pertengahan saja, Bun Beng. Tingkat mereka itu belum berapa tinggi, dan tiap orang dari suheng-suheng-mu Siauw-lim Ngo-kiam masih akan sanggup menandingi mereka. Kulihat kedua orang pangcu itu, hemmm"

Agaknya akan ramailah dengan tingkat para suheng-mu. Biar pun tidak kalah, namun membutuhkan waktu lama, sedikitnya seratus jurus. Kalau tokoh sakti sudah keluar, barulah hebat!"

Tepat seperti yang diduga oleh kakek itu, Ciok Khun dan Gu Ban Koai kembali keluar sebagai pemenang, kemenangan mereka untuk ketiga kalinya! Karena melihat kelihaian dua pangcu itu, para tokoh pertengahan menjadi jeri untuk maju. Bahkan banyak pula yang diam-diam pergi dari tempat itu karena merasa tidak ada harapan untuk memperoleh kemenangan. Yang tinggal hanyalah rombongan Thian-liong-pang, Hek-liong-pang, Hek-I kai-pang, Pulau Neraka dan dua utusan Pulau Es serta beberapa orang lagi tokoh yang belum turun ke gelanggang.

Ada pun koksu Bhong Ji Kun bersama para pembantunya kelihatan berdiri di atas kapal dan menonton dari jauh. Kedua orang pangcu itu merasa gembira sekali dengan kemenangan mereka yang berturut-turut dan kepercayaan mereka kepada diri sendiri makin besar. Setidaknya mereka kini sudah termasuk golongan atas, karena bukankah yang tinggal di situ hanya rombongan yang terkenal di samping partai-partai bersih Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Andai kata mereka dikalahkan sekali pun, mereka sudah mengangkat nama sendiri dan perkumpulan yang tidak dapat di sejajarkan dengan perkumpulan "kecil"

Seperti yang telah dikalahkan tadi. Ciok Khun ketua Hek-liong-pang yang bertindak sebagai juru bicara dan sebagai tuan rumah segera menjura dan berkata,

"Harap para locianpwe tidak ragu-ragu untuk segera maju. Kami berdua siap mencari petunjuk!"

"Pangcu dari Hek-liong-pang, jangan sombong setelah memperoleh kemenangan! Pinto-lah lawan kalian!"

Ucapan ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan di situ telah berdiri seorang tosu berpakaian kuning yang membawa pedang di punggungnya. Gerakan tosu ini amat ringan seperti sehelai bulu ditiup angin. Ternyata dia adalah seorang tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya kurus kering tanpa daging, hanya kulit membungkus tulang. Wajahnya seperti tengkorak, sangat menyeramkan!

"Mohon tanya, siapakah nama dan julukan Totiang dan dari partai apa?"

Ciok Khun menjura dan memandang penuh perhatian karena dia tidak mengenal tosu ini.

"Pinto Hok Cin Cu, bukan dari partai mana pun juga, seorang pendeta perantau yang kebetulan mendengar akan pertemuan ini. Pinto ingin mencoba kepadaian jago-jago dari seluruh penjuru!"

Ciok Khun yang dapat menduga bahwa tosu ini tentu lihai sekali, segera berkata,

"Baik sekali, Totiang. Siapakah di antara kami berdua yang dapat mendapat kehormatan melayani Totiang?"

"Ha-ha-ha!"

Suara ketawa tosu itu melengking, mengejutkan semua orang.

"Kalian berdua pangcu-pangcu cilik ini majulah bersama. Akan pinto sekaligus juga agar tidak membuang banyak waktu!"

Mendengar ucapan ini, terkejutlah semua orang. Kedua orang pangcu ini amat lihai dan sudah memperoleh kemenangan sampai tiga kali. Akan tetapi kini mereka ditantang untuk mengeroyok tosu kurus kering ini. Betapa takaburnya! Kedua pangcu itu menjadi merah mukanya dan saling padang, kemudian Ciok Khun menjura kepada semua tokoh persilatan dan berkata dengan lantang.

"Pertandingan pibu antara orang-orang gagah tidak mengenal keroyokan dan harus berjalan dengan adil. Akan tetapi sekarang Hok Cin Cu Totiang menantang kami berdua untuk maju bersama. Hal itu disaksikan oleh semua Locianpwe yang hadir sehingga seandainya kami memperoleh kemenangan, harap jangan dikatakan kami curang dan mengandalakan pengeroyokan!"

"Ha-ha-ha ! Siapa bilang kalian akan menang? Majulah!"

Sambil berkata demikian, tosu kurus mencabut pedangnya. Tampak sinar merah disusul suara dengung yang nyaring. Kemudian tosu itu menggerakkan pedangnya beberapa kali dan terdengar lengking berdengung-dengung seperti suling ditiup!

"Hemm, agaknya dialah yang dulu terkenal dengan julukan Cui-siauw-kiam (Pedang peniup suling). Wah, aku mendengar bahwa ilmu pedangnya adalah ilmu pedang campuran dari Go-bi Kiam-hoat dan Kun-lun Siam-sut. Tentu dia lihai sekali,"

Kata kakek Siauw Lam.

"Suhu, teecu tidak suka kepada tosu itu. Dia sombong!"

Kata Bun Beng. Gurunya tersenyum,

"Tidak perlu suka atau tidak suka, yang penting menilai dan mencontoh. Kalau kau anggap dia sombong, maka jangan kau mencontoh sikapnya, habis perkara. Perasaan tidak suka itu pun bukan perasaan yang baik, mungkin tidak kalah buruknya dengan sikap sombong!"

Bun Beng membungkam merasa bersalah. Dia lalu memandang penuh perhatian karena kini kedua orang pangcu itu sudah siap dengan senjata mereka, menghadapi tosu itu dari kanan dan kiri. Agaknya keduanya merasa bahwa sekali ini mereka harus berhati-hati, maka mereka hanya bersiap saja, tidak berani langsung membuka serangan. Tosu kurus itu agaknya mengerti akan hal ini, maka kembali ia tertawa, kemudian terdengar suara berdesing-desing disusul dengan suara mendengung nyaring. Pedangnya berubah menjadi sinar perak yang menyambar kanan kiri.

"Trang-trangggg"!"

Bunga api berpijar dan kedua orang pangcu itu terhuyung mundur. Mereka terkejut sekali karena tangkisan senjata mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat, membuat mereka terhuyun-huyung.

Akan tetapi keduanya sudah meloncat maju dan terjadilah pertandingan yang hebat. Bukan hanya saking cepatnya, demikian cepat gerak Si Tosu sehingga tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus sinar pedang yang seperti perak itu, yang menyambar ke kanan kiri mengejar kedua lawannya, melainkan terutama sekali hebat karena terdengar suara tiupan suling merdu seolah-olah saling mengikuti tari-tarian indah, bukan pertandingan mati-matian! Suara ini keluar dari sambaran pedang yang digerakkan dengan pengerahan sinkang kuat sekali, dan karena pedang itu dipasangi lubang-lubang kecil, maka menimbulkan suara seperti suling ditiup. Tentu saja tanpa latihan puluhan tahun dan tanpa dorongan tenaga sinkang yang tepat dan kuat, tidak mungkin mainkan pedang sampai menimbulkan suara tiupan suling seperti itu!

"Kejam sekali dia"!"

Kakek Siauw Lam berseru perlahan. Bun Beng agak sukar mengikuti pertandingan yang agak cepat itu dengan pandang matanya. Dia hanya mendengar dua kali suara "crat-crat"

Disusul muncratnya darah dan robohnya dua orang pangcu itu. Hek-liong-pangcu roboh dengan paha kanan terkuat lebar sampai tampak tulangnya, sedangkan Hek-I Kai-pangcu roboh dengan pundak kiri patah tulangnya. Anak buah mereka segera menolong pangcu masing-masing yang roboh pingsan, kemudian mereka meninggalkan pulau dengan perahu masing-masing. Suasana menjadi sunyi. Tosu itu mengelus-elus pedangnya penuh kasih saying, lalu berkata,

Posting Komentar