Sepasang Pedang Iblis Chapter 19

NIC

"Suhu, kalau begitu teecu harus menyebut apa kepada mereka?"

Lama kakek Siauw Lam tidak menjawab, akhirnya dia berkata perlahan.

"Aku hanyalah seorang pelayan di Siauw-lim-si, akan tetapi menurut tingkat, karena aku menjadi murid mendiang Kian Ti Hosiang, maka mereka adalah murid-murid keponakanku dan engkau boleh menyebut suheng kepada mereka."

Girang hati Bun Beng. Mereka itu adalah kakak-kakak seperguruannya. Ingin sekali dia dapat berdiri disamping mereka, mewakili Siauw-lim-pai, akan tetapi gurunya melarang.

"Kita hanya penonton, tidak boleh melibatkan diri secara langsung."

Sementara itu, ketua Hek-liong-pang yang berpedang dan tampak gagah itu sudah maju ke tengah lapangan dan memberi hormat kepada semua yang hadir. Dengan lantang namun penuh hormat dia berkata.

"Saya sebagai ketua Hek-liong-pang bernama Huang-ho Sin-liong Ciok Khun (Naga Sakti Huang-ho), dan sebagai tuan rumah karena tempat ini termasuk wilayah kekuasaan Hek-liong-pang, menghaturkan selamat datang kepada Cu-wi Locianpwe sekalian. Maksud kunjungan kita semua di tempat ini tanpa ada yang mengundang mempunyai tujuan yang sama. Kini kita semua melihat pula hadirnya pasukan pemerintah maka biarlah pemerintah menjadi saksi diakannya pemilihan bengcu (ketua) persilatan di dunia kang-ouw. Kami hanya akan menyerahkan pulau ini kepada pihak yang patut menjadi bengcu, maka pihak yang sekiranya tidak mempunyai kepandaian dan tenaga untuk menangkan pibu, harap mundur saja."

Ucapan ini disambut suara gemuruh mereka yang hadir, ada yang pro dan ada pula yang kontra, namu semua setuju bahwa urusan "pusaka"

Tidak disinggung-singgung karena mereka tahu biar pun kini belum nampak pasukan pemerintah turun ke pulau, namun tentu ada para penyelidiknya yang turut menyaksikan dan mendengar.

"Kami pihak Hek-liong-pang yang mempunyai daerah sepanjang Sunga Huang-ho dari Terusan Besar sampai ke muara telah bersepakat dengan pihak Hek-i Kai-pang yang mempunyai daerah sepanjang lembah Huang-ho di utara, untuk bersama-sama menjadi tuan rumah dan kami mengambil kehormatan untuk membuka pibu ini. Karena kami maklum bahwa yang hadir adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang memiliki ilmu-ilmu kepandaian tinggi sekali, maka kami mengambil keputusan untuk maju sendiri sebagai penguji pertama. Gu-loheng, marilah!"

Dari rombongan Hek-i Kai-pang meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluhan tahun, memegang sebatang tongkat hitam, sama dengan pakaiannya yang terbuat dari pada sutera hitam. Inilah Toat-bengt-tung Gu Ban Koai (Si Tongkat Maut), ketua Hek-i Kai-pang yang selama ini, seperti juga Hek-liong-pang, telah dapat memperkuat perkumpulannya.

Dahulu Hek-liong-pang tidaklah begitu kuat ketika diketuai oleh ayah dari Ciok Khun ini yang bernama Ciok Ceng. Akan tetapi, Ciok Khun memiliki ilmu kepadaian yang jauh lebih tinggi dari ayahnya karena ia telah berguru kepada seorang pendeta perantauan yang datang dari seberang lautan timur. Dia memiliki ilmu pedang yang dashyat dan aneh. Demikian pula dengan Hek-i Kai-pang. Ketika dulu diketuai oleh It-gan Hek-houw Song-pangcu, perkumpulan ini tidak memperoleh kemajuan. Akan tetapi sekarang setelah dipimpin oleh ketuanya yang baru, hek-i Kai-pang menjadi maju dan makin kuat. Hal ini adalah karena ketuanya sekarang adalah seorang yang amat lihai, terutama sekali ilmu tongkatnya sehingga dia mendapat julukan Tongkat Maut!

Karena pibu yang diadakan tanpa perjanjian lebih dulu ini sebenarnya bukanlah pibu biasa, dan biar pun tidak diucapkan telah dimengerti oleh semua yang hadir bahwa pibu ini lebih pantas dikatakan memperebutkan hak "siapa yang menang akan berhak mencari pusaka di tempat itu", maka yang maju adalah kedua orang ketua itu sendiri! Huang-ho Sin-liong Ciok Khun sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawan yang berani memasuki kalangan pibu, di samping Toat-beng-tung Gu Ban Koai yag sudah melintangkan tongkat di depan dada. Perlu diketahui bahwa kebiasaan memperebutkan bengcu atas pemimpin persilatan atau juga datuk persilatan yang merupakan jagoan terpandai, adalah kebiasaan golongan hitam dan perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam bidang persilatan.

Kaum partai besar seperti Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain yang di samping mengembangkan ilmu silat juga terutama mengembangkan agama dan ilmu kebatinan, tidak bernafsu untuk disebut sebagai jago silat nomor satu. Oleh karena itu partai-partai besar yang hadir di saat itu tidak diwakili oleh ketua-ketua mereka, dan kedatangan mereka itu semata-mata hanya tertarik oleh berita ditemukannya tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang hilang, sama sekali tidak bermaksud mengikuti pibu memperebutkan kedudukan jago nomor satu. Maka tantangan pibu yang dibuka oleh kedua ketua itu mereka sambut dengan sikap dingin dan tidak ada niat untuk turun tangan, kecuali hanya untuk menonton saja dan melihat perkembangan keadaan lebih lanjut.

Dua orang meloncat ke depan. Yang seorang adalah ketua Hui-houw-pai bernama Sim Koa Bi, berjuluk Hui Houw (Macan Terbang) dan perkumpulannya menggunakan nama perkumpulan itulah. Tubuhnya gemuk pendek dan ia memegang sebuah senjata rantai baja yang ujungnya dipasangi bola berduri di kanan kiri. Orang kedua yang meloncat keluar dari golongan perorangan tanpa rombongan adalah seorang yang bertubuh kecil kurus, berpakaian mewah dan kedua tangannya memegang sepasang pedang. Usianya sebaya dengan ketua Hui-houw-pai, yaitu sekitar tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sikapnya malu-malu seperti perempuan, dan dia berdiri di situ sambil tersenyum-senyum merendah.

"Aku Hui-houw Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai mohon pengajaran dari dua pangcu!"

Kata ketua Hui-houw-pai dengan suara mengguntur.

"Saya Kwa Ok Kian yang bodoh memberanikan diri memperluas pengetahuan. Untuk memperebutkan bengcu tentu saja saya tidak berani. Cukup kalau ikut meramaikan pertemuan ini agar menghangatkan hati para Locianpwe sebelum turun tangan!"

Kata orang kurus sambil tersenyum. Biar pun sikapnya demikian merendah, namun orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali karena sejak kecil dia menggembleng ilmu di daerah Go-bi-san dan baru sekarang turun gunung. Dua orang tuan rumah itu memandang penuh perhatian, kemudian Ciok Khun berkata,

"Kami berdua sebagai pihak tuan rumah mempersilahkan Ji-wi untuk memilih lawan di antara kami berdua."

Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai cepat berkata,

"Aku ingin sekali berkenalan dengan tongkat maut dari pangcu Hek-i Kai-pang!"

Dia memang sudah mendengar akan kelihaian ketua Hek-liong-pang, maka dengan cerdik ia memilih ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam itu yang belum ia kenal. Tentu saja ia tidak tahu bahwa tingkat kepandaian pengemis ini sebetulnya tidak berbeda jauh dengan tingkat kepandaian ketua Hek-liong-pang! Kwa Ok Kian tersenyum dan menghampiri Ciok Khun sambil berkata,

"Kalau begitu biarlah saya menerima pengajaran dari Ciok-pangcu!"

"Silahkan!"

Kata Ciok Khun yang sudah melihat betapa ketua Hek-i Kai-pang telah mulai bertanding melawan ketua Hui-houw-pai.

"Pangcu, lihat siang-kiam!"

Dua sinar berkelebat ketika Si Kecil ini mengerahkan sepasang pedangnya, tahu-tahu pedang kanan membabat leher dan pedang kiri membabat kaki lawan dengan gerakan yang berlawanan. Hebat bukan main serangan ini sehingga Ciok Khun berseru memuji, menangkis pedang yang mengancam leher sambil meloncat ke atas menghindari babatan pada kakinya. Kemudian ketua Hek-liong-pang ini melanjutkan gerakannya dengan serangan balasan.

Mereka segera bertanding dengan seru dan yang tampak hanyalah sinar pedang bergulung-gulung menyilaukan mata. Pertandingan antara ketua Hui-houw-pai melawan ketua Hek-i Kai-pang juga berjalan dengan amat hebat. Sim Koa Bi yang pendek gemuk itu ternyata lihai sekali. Gerakannya cepat dan rantai di tangannya menjadi sinar bergulung-gulung. Yang mengagumkan sekali adalah gerakan loncatannya, seperti terbang saja dan dari atas rantainya menyambar. Kedua kakinya juga melakukan tendangan-tendangan yang amat berbahaya. Namun Gu Ban Koai dengan tongkatnya bergerak tenang. Tongkatnya membentuk pertahan yang amat kuat dan kadang-kadang, biar pun hanya jarang saja, satu melawan tiga dibandingkan dengan gencarnya serangan rantai, tongkat itu secara tiba-tiba menyambar dan kalau mengenai lawan tentu mendatangkan bahaya maut.

Agaknya tidaklah mengecawakan kalau ketua partai pengemis ini mendapat julukan Tongkat Maut karena tongkatnya selalu mengirim serangan dashyat dan lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Pendeknya, setiap serangan tentu diperhitungkan masak-masak, bukan sembarang menyerang untuk mengacaukan lawan, melainkan serangan untuk merengut nyawa lawan! Bun Beng berdiri dan menonton dengan bengong penuh kekaguman. Dia sering kali melihat murid-murid Siauw-lim-pai berlatih silat, akan tetapi baru sekarang dia melihat pertandingan sehebat itu. Gerakan-gerakan pedang itu bagaikan halilintar menyambar, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung. Dan rantai bersama tongkat itu pun bergerak secara hebat sehingga si Tongkat nampak berubah menjadi puluhan banyaknya dan rantainya berubah menjadi gulungan sinar.

Posting Komentar