Sepasang Pedang Iblis Chapter 18

NIC

"Bun Beng, kalau aku menghendaki, apa sih sukarnya merobohkan enam orang itu? Akan tetapi aku sengaja membiarkan mereka menangkap kita. Kalau saja tidak bersama engkau, tentu aku tidak sudi mengalami penghinaan dari pimpinan bajak ini. Engkau hendak mencari pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti. Nah sekarang engkau berada di tengah-tengah dan akan mengalami sendiri keramaian itu. Karena inilah aku sengaja mengalah. Kita tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hari masih terlalu pagi, matahari belum bersinar, tentu mereka belum dapat melihat kita. Tunggu saja nanti kalau matahari sudah bersinar, dan kalau ikan-ikan itu sudah melihat umpan yang lezat ini, hemmm, tentu mereka akan bermunculan dan akan memenuhi idaman hatimu."

Bun Beng tidak bertanya lagi dan kini ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk mencoba apakah dia akan dapat mematahkan belenggu yang mengikat kedua lengannya. Beberapa kali ia mengerahkan tenaganya, namun sia-sia saja. Belunggu itu terlalu kuat baginya. Biar pun Kakek Siauw Lam tidak melihat usahanya ini, namun kiranya kakek itu mengetahui karena kakek itu berkata.

"Muridku, usiamu belum cukup berlatih sinkang, maka tenaga dasar darimu mana mungkin dapat mematahkan belenggu. Akan tetapi, lupakah engkau akan latihan Jiu-kut-kang yang kuajarkan kepadamu?"

Bun Beng tertegun. Tentu saja ia telah mempelajari ilmu Jiu-kut-kang itu, yaitu ilmu melemaskan diri atau cara untuk melemaskan urat dan sambungan tulang. Dia tadinya tidak dapat mengerti mengapa untuk mematahkan belenggu yang kuat, suhunya menganjurkan dia ilmu itu. Dia tidak membantah dan mulailah mengumpulkan inderanya dan mengerahkan ilmu itu sehingga kedua lengannya menjadi lemas dan lunak. Seketika ikatan pada kedua pergelangan tangan itu menjadi mengendur dan ia menjadi girang sekali. Kiranya Jiu-kut-kang bukan dipergunakan untuk mematahkan belenggu, melainkan untuk membuat kedua tanganya dapat dilolos keluar tanpa mematahkan belenggu! Ia mencoba dan... dengan mudahnya ia menarik keluar tangannya dari ikatan.

"Suhu, teecu... berhasil...!"

"Bagus, tentu saja berhasil. Akan tetapi jangan sekali-kali membebaskan kedua tanganmu, bersikaplah seperti engkau terbelenggu."

Bun Beng mengerti maksud kata-kata suhunya Dia tidak boleh memperlihatkan kepada orang lain bahwa belenggunya dapat terlepas. Maka sambil bersandar pada batu karang, Bun Beng mempermainkan belenggu itu dengan ilmu Jiu-ku-kang, melolos tangannya lalu memasukkan lagi pada belenggu yang kini hanya merupakan lingkarang tali yang tiada gunanya itu.

Dia terbelenggu, akan tetapi belenggu itu malah dapat ia pergunakan untuk berlatih Jiu-kut-kang, sehingga diam-diam ia mentertawakan kawan bajak yag membelenggu tadi. Baru dia saja dapat membebaskan dari belenggu, apa lagi suhunya. Sungguh kawanan bajak itu benar benar tak tahu diri, berani mati membelenggu suhunya! Matahari mulai memancarkan sinarnya di permukaan pulau itu dan hati Bun Beng sudah mulai berdebar tegang dan gembira, bukan hanya karena sinar matahari telah mengusir hawa dingin, terutama sekali karena ia mengharapkan untuk dapat menyaksikan keramaian yang tentu akan segera dimulai. Namun sampai berapa lamanya, keadaan tetap sunyi. Agaknya para tokoh itu masih merasa segan dan malu-malu kucing untuk memulai dan membuka keramaian.

Bun Beng telah memasukkan kembali kedua tangannya ke dalam tali pengikat dan bersandar pada batu karang seperti yang dilakukan suhunya. Kakek itu masih bersandar pada sisi batu seperti orang tidur, kelihatannya enak dan tenang saja. Tak lama kemudian, setelah Bun Beng hampir hilang sabarnya dan sudah bergerak hendak bertanya kepada suhunya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali seperti burung menyambar dan tahu-tahu didekat mereka telah berdiri dua orang laki-laki tua yang berpakaian sederhana. Dua orang kakek itu usianya antara lima puluh tahun, yang seorang gemuk sekali, yang kedua amat kurus namun keduanya berpakaian sederhana, berjenggot dan bermata tajam. Setelah memandang kakek Siauw Lam dengan penuh perhatian, tiba-tiba si Gemuk itu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dan berkata.

"Ahhh, kiranya Locianpwe yang berada disini? Maafkan karena... eh, karena rambut Locianpwe yang membuat saya tidak mengenal bahwa semalam berada disini adalah Siauw Lam Locianpwe dari Siauw-lim-pai."

Mendengar ini, temannya yang kurus kelihatan kaget dan cepat berlutut memberi hormat. Kakek Siauw Lam menghela napas panjang. Kiranya rambut panjangnya itu tidak dapat menyembunyikan namanya. Ia mengerling dan melihat berkelebatnya bayangan orang. Tampak enam orang pimpinan bajak bersama ketua mereka, dan jauh di sana tampak pula berkelebatnya banyak orang yang memiliki gerakan amat gesit tanda bahwa orang-orang pandai itu telah mulai berdatangan. Kemudian ia memandang orang gemuk yang mengenalnya, mengingat-ingat akan tetapi tidak mengenal si Gemuk itu. Juga orang kurus itu tidak mengenalnya. Sementara itu, para pimpinan bajak Hek-liong-pang sudah datang mendekat. Mereka ini siap dengan senjata mereka, bahkan ketuanya yang belum mencabut senjata berkata,

"Siapakah Ji-wi yang berani datang ke wilayah kami tanpa ijin?"

Akan tetapi pertanyaan ini sama sekali tidak diacuhkan oleh si Gemuk dan si Kurus itu, seolah-olah mereka itu hanya sekumpulan lalat saja dan pertanyaan itu seperti gonggongan anjing. Juga kakek Siauw Lam tidak memperdulikan mereka, kini bertanya kepada si Gemuk,

"Mataku yang sudah tua mungkin tidak awas lagi maka tidak dapat mengenal Ji-wi sicu yang gagah perkasa. Siapakah Ji-wi yang mengenal aku orang tua tiada guna?"

"Saya bernama Yap Sun dan ini adalah Sute Thung Sik Lun, pembantu saya. Kami berdua adalah utusan dari Pulau Es!"

"Utusan dari Pulau Es??"

Bun Beng berteriak girang dan anak ini sudah menarik kedua tangannya terlepas dari ikatan sambil melompat berdiri.

"Utusan dari Pulau Es!"

Para pimpinan Hek-liong-pang berseru kaget sekali. Mendengar disebutnya Pulau Es bagi mereka seperti mendengar bunyi guntur di tengah hari. Dua utusan Pulau Es itu lalu bangkit berdiri setelah memberi hormat kepada kakek Siauw Lam, kemudian mereka membalikkan tubuh menghadapi pimpinan Hek-liong-pang. Yap Sun, wakil dari Pulau Es itu berkata dingin.

"Hek-liong-pang seperti dipimpin orang-orang buta dan lancang, berani menghina seorang Locianpwe yang patut dihormati. Kami berdua utusan Pulau Es ingin meninjau pertemuan orang-orang gagah yang khabarnya akan diadakan disini. Apakah pihak Hek-liong-pang keberatan dengan kehadiran kami?"

Enam orang pimpinan Hek-liong-pang bersama ketua mereka itu tadi tidak hanya kaget mendengar nama Pulau Es, juga melihat betapa wakil Pulau Es begitu menghormati si Kakek Tua, dan kaget pula melihat bocah itu ternyata mampu melepaskan ikatan tangannya! Ketuanya yang berpedang di punggungnya cepat menguasai diri dan kini merangkapkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda menghormati sambil berkata,

"Maaf, maaf! Tidak mengenal maka tak sayang, kata orang. Karena tidak mengenal maka kami berlaku kurang hormat yang berpura-pura sebagai penonton lemah, tidak mengenal Ji-wi sebagai utusan Pulau Es yang terhormat. Setelah mengenal kami persilahkan Ji-wi dan juga Locianpwe untuk naik ke tengah pulau!"

Dua orang kakek gemuk dan kurus itu tanpa banyak cakap lagi lalu melangkah dan naik ke atas bukit, diikuti oleh tujuh pimpinan Hek-liong-pang. Ada pun kakek Siauw lam, sekali menggerakkan tangan telah mematahkan belenggunya, kemudian menggandeng tangan muridnya dan berkata,

"Hebat! Pulau Es mengirim wakilnya. Keramaian dimulai dan engkau akan menyaksikan pertunjukan menarik. Mari kita naik!"

Dengan jantung berdebar tegang Bun Beng mengikuti suhunya naik ke bukit batu karang itu. Setelah mereka tiba di atas, ternyata bahwa puncak bukit yang berada di tengah pulau itu daratan yang luas, bahkan sebagian besar menjorok ke pinggir merupakan tebing tinggi. Air muara dan air laut berada di bwah tebing itu. Pemandangan sungguh indah menakjubkan, namun juga berbahaya dan mengerikan. Dan di tempat itu kini sudah penuh orang sehingga diam-diam Bun Beng merasa heran bagaimana dalam waktu singkat tempat itu telah dikunjungi begitu banyak orang yang semua tampak gagah perkasa.

Sebuah kapal layar besar tampak berlabuh tak jauh dari pinggir pulau, dan melihat keadaan layarnya dan bendera yang berkibar di tiang kapal itu tentulah milik pemerintah. Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng duduk agak jauh, di atas batu karang tinggi agar enak mereka menonton keramaian. Dari tempat itu Bun Beng dapat melihat seluruh daratan, dan karena jaraknya dekat, ia dapat pula mendengar. Denga penuh perhatian Bun Beng menyapu tempat itu dengan pandang matanya. Ia melihat beberapa kelompok orang, dengan bendera masing-masing. Dari tempat ia menonton, ia dapat membaca huruf-huruf pada bendera itu. Ketua Hek-liong-pang berdiri bersama enam orang pembantunya di kanan, dengan bendera bertulian huruf "Hek-liong-pang". Di sebelahnya terdapat rombongan belasan orang yang berbendera Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) yang semua memakai pakaian hitam penuh tambalan.

Kemudian terdapat pula rombongan yang berbendera Hui-houw-pai (Partai Macan Terbang) yang seperti bendera Hek-liong-pang yang bergambar naga hitam, bendera Hui-houw-pai ini bergambar seekor harimau bersayap! Kemudian tampak pula rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri dari empat orang, kelihatan biasa saja namun rombongan ini menjauhkan diri dan kelihatan tak gentar. Di ujung sekali tampak rombongan yang aneh menyeramkan. Rombongan ini tidak membawa bendera akan tetapi mudah dikenal karena warna-warna muka mereka sudah merupakan bendera tersendiri. Ada warna muak jambon, ungu, hijau pupus, biru laut. Semua ada sebelas orang, akan tetapi warna mereka semua adalah muda, menandakan bahwa wakil Pulau Neraka yang datang ini adalah orang-orang yang tingkatannya sudah tinggi.

Di samping rombongan-rombongan ini, tampak pula rombongan dari partai-partai persilatan besar yang hanya terdiri dari beberapa orang dan tidak dikenal oleh Bun Beng. Akan tetapi, kakek Siauw Lam membantunya dan sambil menuding dengan telunjuknya, kakek ini memperkenalkan tokoh-tokoh yang hadir, tentu saja yang dikenalnya karena banyak di antara mereka merupakan "wajah-wajah baru"

Yang selama ini hanya menyembunyikan dirinya. Maka tahulah Bun Beng bahwa di tempat itu hadir pula tokoh-tokoh dari Hoa-san-pai, Khong-tong-pai dan partai-partai lain yang kecil. Dari partai Siauw-lim-pai ternyata ada pula yang hadir yaitu lima orang Siauw-lim Ngo-kiam (Lima Pedang Siauw-lim). Bun Beng belum pernah melihat mereka, maka kini dia memandang penuh perhatian.

"Mereka adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai penting dan terkenal, murid-murid Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang lama. Tentunya ada tujuh orang murid yang terkenal dengan nama Siauw-lim Chit-kiam, akan tetapi dua diantara mereka telah terjadi perang (baca cerita Pendekar Super Sakti). Kini tinggal lima orang itu, ahli-ahli pedang yang patut dibanggakan oleh Siauw-lim-pai. Tentu saja Bun Beng memandang ke arah lima orang kakek itu dengan hati girang karena mereka adalah jago-jago pedang Siauw-lim-pai yang berdiri dengan sikap tenang dan amat gagahnya, dalam pandangannya jauh lebih gagah dari pada yang lain. Mereka terdiri dari dua orang hwesio dan tiga kakek bukan pendeta.

Posting Komentar