Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 55

NIC

"Paman....!" Tan Siong terkejut bukan main dan cepat berlutut di dekat tubuh pa mannya. Perbuatan tosu itu sama sekali tak pernah disangkanya, maka dia pun tidak sempat lagi mencegah bunuh diri itu.

Cui Hong me mandang dengan mata terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah antara penasaran, marah dan kecewa, la pun sa ma sekali tidak pernah mengira bahwa tosu itu akan me mbunuh diri, maka seperti juga Tan Siong, ia tidak sempat mencegah dan kini hanya berdiri sa mbil me mandang dengan mata terbelalak.

"Paman, mengapa Paman melakukan perbuatan yang bodoh ini?" Tan Siong menegur pa mannya, tanpa berani menyentuhnya karena dia me lihat bahwa nyawa pa mannya tak mungkin dapat di sela matkan lagi dengan dite mbusnya dada itu dengan pisau.

"Tan Siong..... bunuh diri me mang bodoh.... dan dosa. akan tetapi.... setidaknya pinto dapat menyelamatkan kalian .. kasihan ia ..... bimbinglah ia.... dengan kasih sayang. " Tosu

itu tidak kuat lagi. Jantungnya tertembus pisau dan dia pun menjad i le mas, terkulai dan roboh terjengkang. Tan Siong cepat merangkulnya dan merebahkannya baik-baik.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa Cui Hong. Tan Siong terkejut dan meloncat bangkit, me mandang dengan mata terbelalak. Gadis itu tertawa bebas lepas, sambil menengadah me mandang langit. "Ha-ha-ha-.... habislah sudah mereka! Ayah, Suheng.... aku telah berhasil me mbalas denda m, selesailah sudah tugas hidupku, lenyaplah sudah ganjalan hatiku, beban yang demikian berat menekan batinku, ha-ha- ha-hi-hi-hi !"

Gadis Itu tertawa-tawa seperti orang kemasukan setan sehingga Tan Siong merasa ngeri. Cui Hong seperti telah menjad i gila, tawanya bukan tawa seorang wanita normal lagi, tawa terkekeh-kekeh dan terbahak-bahak. Tan Siong segera me lo mpat dekat gadis itu dan me megang kedua pundaknya, diguncang-guncangnya tubuh gadis itu. "Hong-mo i (Adik Hong)! Sadarlah engkau! Sadarlah...!" Dia me mbentak-bentak dan mengguncang-guncang, maklum bahwa gadis itu dikuasai perasaan yang mengguncang ingatannya. Maka dia mengerahkan tangannya sehingga kedua tangannya seperti cengkeraman kuat pada pundak gadis itu, mengguncang-guncangnya sehingga tubuh Cui Hong terdorong dan tertarik ke depan belakang.

Tiba-tiba Cui Hong berhenti tertawa, me mandang kepada orang yang me megang kedua pundaknya dengan mata nanar dan bingung. Akhirnya, kedua matanya normal kembali, tidak liar seperti tadi.

"Toako..., engkau??"

Cui Hong men dadak menangis, menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Tangisnya mengguguk, seperti anak kecil.

Kedua punggung tangannya mengusap air mata yang jatuh bercucuran, pundaknya terguncang dan suara tangisnya seperti Drang mer intih-rintih, terisak dan tersedu-sedu. Air matanya bagaikan air bah menerobos bendungannya yang pecah. Selama bertahun-tahun ini, ia menyimpan saja segala rasa dukanya, bahkan berusaha sekuat tenaga untuk me lupakan ma lapetaka yang men impa dirinya setiap kali ia teringat akan keadaan d irinya. Hidupnya sebatang kara, tidak ada keluarga, tidak ada harapan sedikit pun akan dapat merasakan kebahagiaan hidup masa depan. Namun, selama ini ia menyembunyikan se mua kedukaan dan kecemasan akan keadaan dirinya di dasar kalbunya dengan cara mencurahkan seluruh perhatiannya kepada dendam sakit hatinya, kepada usahanya yang mati- matian untuk me mbalas denda mnya. Kini setelah empat orang musuhnya mener ima hukuman, menerima, pe mbalasan denda mnya dengan setimpa l, seolah- olah dendam yang selama ini me mbendung air bah kedukaannya, menjadi bobol dan muncullah semua kedukaan dan kegelisahan yang sela ma bertahun-tahun mengendap di dasar batinnya. Tan Siong tidak mengerti apa yang terjadi di dalam hati gadis itu. Dia hanya berdiri bengong me mandang gadis yang menang is tersedu-sedu. Mengapa gadis itu menangis seperti ditinggal mat i orang yang amat dicintanya? Bukankah sepatutnya ia bersuka cita karena dendamnya telah terbalas? Akan tetapi Tan Siong tahu bahwa tangis merupakan saluran yang amat baik untuk melepaskan perasaan yang meluap- luap, maka dia pun mendia mkannya saja dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.

Setelah isak tangis gadis itu agak mereda, barulah Tan Siong berlutut di depan Cui Hong dan dengan hati-hati dia berkata lembut.

"Hong-mo i, mengapa engkau menang is demikian sedih?" Tangannya menyentuh lengan Cui Hong, hatinya diliputi perasaan iba yang mendalam karena dari tangis tadi dia dapat merasakan bahwa sesungguhnya gadis itu tenggelam ke dalam kesengsaraan batin yang amat hebat dan lendalam. Sepasang mata gadis itu merah me mbengkak, wajahnya pucat, rambutnya awut-awutan, mukanya mas ih basah air mata. Perasaan iba menusuk hati Tan Siong sehingga kedua tangannya nenggigil ketika dia merangkul gadis itu. "Hong- mo i...., jangan bersedih "

Bagaikan dipatuk ular, Cui Hdng menar ik lengannya yang disentuh Tan Siong lan melompat bangkit berdiri me njauhi pemuda itu. Dengan mata merah rne mbengka k ia me mandang pumuda itu, terbelalak.

"Jangan! Jangan sentuh aku...! Aku .. aku sudah kotor, aku sudah ternoda aku bergelimang aib...!" serunya tergagap dan kembali ia tersedu dan air mata yang agaknya tidak akan pernah habis itu bercucuran lagi menetes-netes di kedua pipinya.

Kini baru Tan Siong mengerti mengapa gadis itu me nangis sedih. Dia merasa iba sekali, bangkit berdiri dan suaranya bergetar penuh keharuan. "Hong-mo i... aku cinta padamu... engkau tetap suci dan mulia bagiku... cinta ku tak berubah sejak perta ma kita bertemu..." Tan Siong melangkah maju mengha mpiri, hendak me megang kedua tangan Cui Hong. Gadis itu menge lak dan mundur menjauh.

"Tidak! Tidak...! Jangan bohong aku tidak percaya! Aku... aku bukan perawan lagi, aku.... telah ternoda kehormatan-

Posting Komentar