Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 50

NIC

Cui Hong tertawa mengejek, "Keluarkan se mua kepandaian mu, Koo Cai Sun, karena saat ini merupakan saat terakhir bagimu untuk dapat me ma merkan kepandaian mu!" Gulungan sinar yang dibentuk dari gerakan ranting itu se ma kin ketat mengepung Cai Sun, me mbuat dia menjadi se ma kin repot. Bukan hanya repot menghadapi anca man ranting yang meno-tok-notok ke arah jalah darah di tubuhnya, akan tetapi juga repot mengatur pernapasannya yang hampir putus dan me mpertahankan tubuhnya yang sudah ha mpir kehabisan napas.

"Pertahankan dirimu baik-baik, karena sebentar lagi aku akan me mbuat engkau kehilangan semua kepandaian mu, kehilangan se mua tenaga dan daya tarikmu, dan kemudian sekali aku akan menyiksa dan me mbunuh anak-anak dan isterimu setelah aku me mbakar habis tokomu kemarin dulu. Puaslah hatiku sekarang, hik-hik!" Cui Hong sengaja menge luarkan kata-kata ini untuk menyiksa hati lawan.

Dan me mang kata-kata itu mendatangkan rasa takut yang lebih berat bagi Cai Sun. Dia tahu bahwa wanita ini tidak hanya menggertak saja. Buktinya, tokonya sudah habis menjad i abu dan kini dia se makin terdesak dan dia tahu pula bahwa dia takkan dapat bertahan terlalu lama. Napas dan tenaganya semakin berkurang sedangkan wanita itu kelihatan semakin kuat dan se makin cepat saja. Dan siapa yang akan me lindungi isterinya dan anak-anaknya kalau wanita ini meng- ganggu mereka? Dia menjad i semakin nekat dan tanpa me mperdulikan keselamatan diri sendiri dia menubruk maju untuk mengadu nyawa. Sepasang siang-kek di tangannya menya mbar dari kanan kir i, atas bawah. Namun, dengan mudah Cui Hong me ngelak dengan loncatan ke belakang dan begitu kedua senjata itu menyambar, ranting di tangannya menusuk dua kali dengan kecepatan kilat. Cai Sun menge luarkan teriakan kaget karena kedua pergelangan tangannya seperti disengat, seketika lumpuh dan kedua senjatanya telah terlepas dari pegangan kedua tangannya. Sambil terkekeh Cui Hong menendang dua senjata itu sa mpai terlempar hilang ditelan kegelapan malam.

Ternyata kelumpuhan tangan akibat totokan itu hanya sebentar saja dan Cai Sun sudah me mperoleh tenaganya kembali. Kini dia menubruk dengan dua tangan kosong yang dibuka seperti cakar harimau, menubruk dan menerka m untuk mengadu nyawa.

"Dukkk....!" Sebuah tendangan menghantam perutnya yang gendut dan dia pun terpelanting roboh, terbanting keras. Cai Sun meringis karena perutnya terasa mendadak mulas, nyeri sekali. Mungkin usus buntunya yang tercium ujung sepatu Cui Hong tadi.

"Bangunlah, anjing hina! Bangunlah!" Cui Hong menantang, ingin men ikmati perkelahian itu sepuasnya, la menendang- nendang perlahan untuk me mbangunkan Cai Sun.

Cai Sun mengerang sa mbil mende kam, akan tetapi ini pun hanya siasatnya, karena tiba-tiba ia menubruk dan menang kap kaki kiri Cui Hong! Sekali tertangkap, dia menggunakan kedua lengannya untuk merangkul kaki itu dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menyeret gadis itu.

Hal ini sa ma sekali tidak pernah di sangka oleh Cui Hong sehingga ketika kakinya tertangkap, sejenak ia terkejut dan tidak ma mpu berbuat sesuatu dan ia pun ikut roboh ketika lawan menggunakan tenaga terakhir untuk me mbetotnya ke bawah.

Cai Sun mengeluarkan suara ketawa aneh dan kedua tangannya lalu menerka m, maksudnya hendak mencekik leher wanita itu yang kini sudah digumulinya. Akan tetapi, Cui Hong sudah dapat me mulihkan lagi ketenangannya dan secepat kilat, jari tangan kanannya yang terbuka menusuk ke depan.

"Hekkk....!" Seketika Cai Sun kehilangan tenaganya dan saat itu dipergunakan oleh Cui Hong untuk me loncat bangun. Ia merasa gemas sekali. Hampir saja ia celaka oleh kecurangan Cai Sun. Kini ia harus berhati-hati.

"Bangunlah, anjing busuk, bangun dan berkelahilah!" bentaknya.

Hanya sebentar saja tusukan jari ke arah ulu hatinya tadi me mbuat Cai Sun kehilangan tenaganya. Dia maklum bahwa dia harus berkelahi sa mpai napas terakhir, maka dia pun me loncat bangun dan kembali menyerang. ilmu silat tangan kosong Thian-te Sin-kun yang menjadi andalannya, dia ma inkan dengan pengerahan tenaga terakhir.

Cui Hong menyelipkan ranting tadi di ikat pinggangnya dan ia pun menyambut serangan lawan itu dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, kini tenaga Cai Sun sudah hampir habis, dan bukan saja tenaganya habis, juga napasnya terengah-engah, me mbuat gerakannya la mbat dan tak bertenaga. Tentu saja dia merupakan lawan yang terlalu le mah kini bagi Cui Hong, menghilang kan kegembiraan Cui Hong untuk berkelahi terus. Maka gadis itu kini mencabut rantingnya.

"Anjing keparat Koo Cai Sun, sekarang rasakanlah pembalasan ku!" bentaknya dan ranting di tangannya berkelebat ke depan dengan cepat dan amat kuatnya. Dua kali ranting itu menya mbar ke arah kedua daun telinga Cai Sun. Bagaikan sebatang pedang saja, ranting itu me mbabat dan dua kali Cai Sun berteriak ketika sepasang daun telinganya terbabat buntung dan darah pun muncrat keluar dari luka di telinganya. Dapat dibayangkan betapa nyerinya ketika Cai Sun meraba telinga dengan kedua tangan dan melihat daun telinganya sudah lenyap dan telapak tangannya penuh darah. Dia meraung seperti seekor binatang buas, dengan nekat menubruk ke depan, akan tetapi dengan gerak langkah yang aneh, dengan mudah saja Cui Hong menge lak dan kemba li ranting di tangannya menya mbar.

"Crottt....!" Cai Sun terpelanting dan meraung kesakitan, mukanya penuh berlepotan darah karena bukit hidungnya remuk dan rata dengan pipi, juga kedua bibirnya hancur dan lenyap terbabat sehingga na mpak giginya yang besar-besar! Dia bangkit dan mengeluarkan suara tidak karuan karena setelah bibirnya hilang, sukar baginya untuk bicara, apalagi hidungnya juga buntung, yang keluar hanya suara "ngak- ngeng-ngang-ngeng" tidak karuan. Dia menerka m lagi akan tetapi Cui Hong menendang ke arah pergelangan tangan kanannva.

"Krekkk!" Tulang pergelangan tangan kanan itu re muk dan tangan itu pun menjadi lu mpuh. Cui Hong me lanjutkan dengan sabetan ranting ke arah pundak kiri. Kemba li terdengar tulang re muk ketika ranting itu me nghancurkan tulang pundaknya. Tulang itu sa ma sekali hancur sehingga tidak mungkin tersambung lagi, me mbuat lengan kir inya bengkok dan mir ing. Cai Sun kembali meraung-raung, akan tetapi suara raungannya menjadi se makin le mah, juga tubuhnya yang ber-kelojotan menjadi me le mah dan akhirnya dia tidak bergerak lagi karena sudah jatuh pingsan! Dia tidak tahu betapa Cui Hong menaburkan obat pada luka di telinga, hidung dan mulutnya. Ia tidak ingin me mbunuh musuhnya, dan kalau darah dibiarkan terlalu banyak keluar, mungkin saja Cai Sun tewas karena kehabisan darah. Obat bubukitu seketika mengeringkan luka, me mbuat bekas luka menghitam dan seperti terbakar, akan tetapi darah tidak keluar lagi. Sejak tadi, Pui Ki Cong menyaksikan semua itu dan melihat betapa Cai Sun disiksa, beberapa kali dia me meja mkan mata dan hampir jatuh pingsan saking ngerinya. Dia mulai merasa menyesal bukan main. Terbayanglah di pelupuk matanya ketika dia mengeram Cui Hong sela ma tiga malam di kamarnya, me mper mainkan gadis itu, me mperkosanya sampai sepuas hatinya, sampai dia menjadi bosan! Teringat akan itu, dan me lihat betapa gadis itu kini menyiksa Cai Sun, teringat pula akan keadaan Louw Ti, Ki Cong menjadi ketakutan setengah mati dan tanpa disadarinya, dia telah terkencing- kencing dan terberak-berak di dalam celananya!

Tidak la ma Cai Sun pingsan. Dia siuman akan tetapi begitu sadar, dia menjerit-jerit dan meraung-raung kembali. Mungkin rasa nyeri yang luar biasa itulah yang me mbuat dia siuman. Ketika dia me mandang dengan matanya yang sudah nanar karena kemasukan darahnya sendiri, dia melihat betapa kedua ujung kakinya terbakar! Kiranya, Cui Hong telah menyiram kedua ujung kaki itu dengan minyak dan me mbakarnya! Sia- sia saja Cai Sun menendang-nendangkan kedua kakinya untuk me mada mkan api dan akhirnya, dengan teriakan yang menyayat perasaan dia jatuh pingsan lagi!

Posting Komentar