“Harap sam-wi tidak keliru dan salah sangka. Bukan maksud kami minta kepada sam-wi untuk menjadi Beng-cu. Akan tetapi, sam-wi tentu mengetahui apa akibatnya kalau sampai kedudukan Beng-cu dipegang seorang pemberontak. Sudah pasti dia akan mengerahkan semua tenaga orang-orang dunia persilatan untuk memberontak terhadap pemerintah. Nah, kalau begitu maka akan terjadi perang dan terjadi perpecahan di antara para tokoh kang-ouw. Tidakkah itu menyedihkan sekali? Sebaliknya, kalau yang menjadi Beng-cu seorang yang tidak suka adanya perang, yang menghendaki rakyat hidup tenteram dan sejahtera, tentu dia akan mencegah adanya perang. Di sinilah bantuan sam-wi kami butuhkan, yaitu untuk memberi suara kepada calom yang suka damai dan menentang dipilihnya calon yang akan menimbulkan perang.”
Setelah mendapatkan kesempatan, Coa Kun sendiri lalu bicara. “Suhu, subo dan Bouw-suhu, apa yang dikemukakan yauw-Ciangkun tadi adalah garis besarnya, dan pokok persoalan.
Akan tetapi banyak sekali kaitannya. Pemilihan Beng-cu masih lama, akan tetapi yang sekarang perlu kita tanggulangi adalah bahaya yang mengancam kedamaian rakyat. Baru saja sam-wi melihat sendiri betapa kami diserang oleh dua orang pemberontak. Yang seorang sudah terkenal sebagai pemberontak berbahaya, yaitu Cu Goan Ciang yang telah membunuhi banyak orang, dan yang ke dua adalah cucu Pek Mau Lokai ketua Hwa I Kaipang. Nah, sudah jelas bahwa Hwa I Kaipang adalah perkumpulan yang memberontak. Mereka mendatangkan kekacauan, pembunuhan, dan segala macam kejahatan yang meresahkan rakyat. Akan tetapi harus diakui bahwa Pek Mau Lokai amatlah lihainya. Untuk menghadapi dia dan para pembantunyalah kami mohon bantuan sam-wi. Selama para pimpinan Hwa I Kaipang tidak ditangkap atau dibunuh, selalu akan timbul kekacauan dan ketidak amanan di Nan-king.”
Huang-ho Siang Lomo tentu saja siap untuk membantu murid mereka menghadapi Hwa I Kaipang. Bouw In tadinya merasa enggan untuk mencampuri, akan tetapi mengingat bahwa isterinya masih adik misan Coa Kun, dan ketua Hek I Kaipang ini sudah banyak membantu dia dan isterinya, menerimanya dengan ramah dan baik, lebih-lebih kini puteri ketua itu, Coa Leng Si, telah menjadi muridnya yang dia sayang, maka diapun tidak dapat menolak lagi.
Demikianlah, sejak hari itu, Hek I Kaipang diperkuat oleh tiga orang tokoh besar ini sehingga selain Coa Kun merasa gembira, juga Yauw-Ciangkun senang karena di pihak yang pro pemerintah bertambah tenaga yang dapat diandalkan.
Dalam keadaan kaki tangan terbelenggu, Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen didorong jatuh menjerembab di atas lantai, di depan seorang panglima muda yang duduk di kursinya dengan sikap angkuh. Cu Goan Ciang mengangkat mukanya memandang dan dia terbelalak.
Panglima muda itu! Dia berani bersumpah bahwa panglima ini adalah sutenya, Shu Ta! Akan tetapi, dia membantah keyakinannya sendiri. Tidak mungkin sutenya kini menjadi panglima yang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mongol! Mustahil! Dia mengenal benar siapa dan bagaimana watak sutenya. Shu Ta adalah seorang yang berjiwa patriot, yang seperti juga dia, bertekad untuk berjuang mengusir penjajah Mongol. Bagaimana mungkin kini menjadi panglima Mongol? Tentu dia salah lihat, atau memang wajah panglima ini mirip Shu Ta.
Panglima itu memandang kepada dua orang tawanannya, lalu memberi perintah kepada para pengawalnya. “Kosongkan ruangan ini! Aku sendiri yang akan memeriksa mereka!”
Mendengar suara panglima ini, hampir saja Cu Goan Ciang berteriak. Suara itu! Tak salah lagi, orang ini pasti Shu Ta. Mana ada dua orang yang serupa segala-galanya, termasuk suaranya? Para pengawal dan prajurit yang membawa dua orang tawanan itupun tidak berani membantah perintah sang panglima. Hanya kepala regu penawan itu yang berkata, “Tai- Ciangkun, dua orang tawanan ini lihai sekali, mereka berbahaya!”
Panglima itu melotot. “Biar mereka tidak terbelenggu sekalipun, aku dapat mengatasi mereka. Apa lagi mereka terbelenggu. Kaukira aku takut! Hayo cepat keluar, aku akan memeriksa dan memaksa mereka mengaku!” Dibentak demikian, semua prajurit segera meninggalkan ruangan itu.
Setelah mereka pergi, Cu Goan Ciang yang tidak dapat menahan lagi penasaran di hatinya, berseru, “Kau...?”
“Sssttt...!” Panglima itu yang bukan lain adalah Shu Ta, cepat menaruh telunjuknya di atas bibir, memberi isarata kepada Cu Goan Ciang untuk diam. Panglima itu lalu menulis di atas sehelai kertas dengan cepat, dan menyerahkan “surat” itu kepada Cu Goan Ciang yang cepat membacanya. Singkat saja, akan tetapi cukup meyakinkan. “Bersikaplah seolah kita tidak saling mengenal. Jangan khawatir, aku akan membebaskanmu.” Hanya demikian isi surat. Cu Goan Ciang mengangguk dan surat itupun diambil kembali oleh Shu Ta.
“Nah, sekarang kalian ceritakan, siapa saja dan di mana adanya kawan-kawan kalian, para pimpinan pemberontak itu!” tiba-tiba Shu-Ciangkun membentak dengan suara nyaring.
Tang Hui Yen tadi juga membaca tulisan panglima itu. Dara ini amat cerdik sehingga melihat sedikit tulisan itu, ia telah tanggap, apa lagi ketika Cu Goan Ciang memperkenalkan dengan bisikan. “Dia suteku.” Tahulah gadis ini bahwa sute dari Cu Goan Ciang ini merupakan satu- satunya harapan mereka untuk dapat lolos, maka iapun membantu permainan sandiwara panglima itu.
“Hemm, apa perlunya membujuk atau menakut-nakuti kami? Kami sudah tertawan, mau hukum, hukumlah, mau bunuh, bunuhlah, kami tidak takut mati dan tidak perlu lagi engkau banyak bicara!” Bentakan gadis itu nyaring sekali dan Shu Ta tersenyum, matanya bersinar gembira dan kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya.
Tadi ketika para prajurit menyerahkan tawanan, Shu Ta mendengar laporan mereka bahwa gadis itu adalah cucu Pek Mau Lokai, pimpinan Hwa I Kaipang, maka tahulah dia bahwa gadis ini seorang pejuang yang gagah. Diapun tertawa bergelak, suara tawa yang seperti mengejek. “Ha-ha-ha-ha, engkau ini yang menjadi pimpinan perkumpulan jembel Hwa I Kaipang yang membuat kerusuhan dan kekacauan di Nan-king, ya? Seorang wanita muda! Aku mempunyai cara yang membuat seorang wanita akan menyesal menjadi manusia kalau engkau tidak cepat membuat pengakuan!” Cu Goan Ciang tadinya terkejut bukan main ketika mengenal komandan Mongol itu ternyata sutenya sendiri, akan tetapi sekarang diapun sudah dapat menenangkan diri. Entah apa alasan Shu Ta menjadi seorang panglima Mongol! Apapun alasannya, dapat dibicarakan kelak. Kini yang terpenting, sutenya itu berjanji akan membebaskan dia dan Yen Yen! Maka, melihat sikap Yen Yen, diapun segera menanggapi.
“Perwira Mongol keparat! Kami memang pemberontak, kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah. Sekarang kami telah tertawan, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami siap menerima hukuman mati sekalipun!”
“Jadi kalian tidak mau mengaku siapa kawan-kawan kalian dan di mana mereka?” “Tidak sudi!” Goan Ciang dan Hui Yen menjawab serentak.
Shu-Ciangkun tertawa lagi. “Hemm, aku memberi waktu kepada kalian sampai besok pagi. Malam ini pikirkan baik-baik karena kalau besok kalian tetap berkeras kepala tidak mau menunjukkan tempat sembunyi kawan-kawan kalian, maka kalian akan mati sekerat demi sekerat!” Shu-Ciangkun bertepuk tangan memberi isarat kepada para pengawal. Biarpun para pengawal tadi tidak ada yang berani mengintai ke dalam, akan tetapi telinga mereka dapat menangkap percakapan yang nyaring itu.
Setelah empat orang pengawal masuk, Shu-Ciangkun memberikan perintahnya.
“Masukkan mereka ini ke dalam sel. Satukan dalam sel agar mereka dapat berunding. Biarkan belenggu kaki tangan mereka dan baru boleh dilepaskan kalau mereka akan makan dan ada keperluan ke belakang. Jaga ketat, dan di luar kamar tahanan mereka harus selalu dijaga oleh dua belas orang pengawal. Malam ini, semua penjaga di luat pintu sel jangan ada yang tertidur atau aku akan memberi hukuman berat!”