Rajawali Lembah Huai Chapter 60

NIC

Atas bantuan Coa Kun, dia memilih tinggal di sebuah dusun di luar kota Nan-king, dibelikan sebuah rumah oleh Coa Kun. Untuk membalas budi Coa Kun, Bouw In tidak menolak ketika puteri Coa Kun, yaitu Coa Leng Si, mengangkatnya sebagai guru. Bahkan setelah melihat bakat besar yang dimiliki Leng Si yang memang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya, Bouw In merasa suka sekali kepada murid ini dan dia bahkan mengajarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat! Tentu saja Leng Si maju pesat selama dua tahun digembleng Bouw In, dan tingkat kepandaiannya bahkan melebihi tingkat ayahnya! Demikianlah sedikit riwayat Bouw In mengapa dia kini dekat dengan pimpinan Hek I Kaipang. Biarpun dahulu dia tidak pernah menentang pemerintah secara berterang, namun diapun tidak suka membantu pemerintah Mongol. Dia tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan maupun pemberontakan. Beberapa kali dia dibujuk oleh Coa Kun untuk membantu pemerintah menumpas pemberontak, akan tetapi selalu ditolaknya dengan halus.

“Coa-pangcu, sejak semula aku sudah memberi tahu kepadamu bahwa aku tidak ingin terlibat dalam urusan pemerintah yang bermusuhan dengan para pemberontak. Aku tidak ingin membantu pemerintah, juga tidak mau membantu pemberontak. Aku ingin hidup tenteram di dusun bersama isteriku, menghabiskan masa tuaku,” demikian dia memberi alasan.

Akan tetapi, pada siang hari itu, muridnya, Coa Leng Si datang bersama seregu prajurit yang membawa surat undangan dari Panglima Yauw Tu Cin. Leng Si membujuk suhunya untuk datang menghadap, menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Yauw-Ciangkun di rumah ayahnya. “Suhu, urusannya bukan sekedar penumpasan pemberontakan. Suhu tidak akan dilibatkan dengan urusan itu, akan tetapi ada hal lain yang amat penting, yang membutuhkan bantuan suhu. Bahkan ayah telah mengundang kakek dan nenek guru untuk datang membantu.”

Bouw In tentu saja merasa tertarik. “Apasih urusannya?” akhirnya dia bertanya, karena biarpun dia dapat menolak undangan Coa Kun, ia merasa tidak enak kalau tidak menghiraukan undangan Yauw-Ciangkun, komandan pasukan keamanan di Nan-king. Menolak undangan itu berarti dia mengambil sikap menentang, dan dia bisa dianggap bersekutu dengan pemberontak!

“Teecu (murid) sendiri belum tahu, suhu. Agaknya urusan penting yang dirahasiakan.” Demikianlah, Bouw In berangkat menunggang kuda bersama Leng Si dan belasan orang prajurit, dan dapat membantu Coa Kun yang bertanding melawan Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen sehingga kedua orang muda itu akhirnya tertawan.

Setelah dua orang tawanan itu dibawa pergi oleh pasukan untuk dihadapkan komandan mereka, Coa Kun lalu memperkenalkan Bouw In dengan sepasang kakek dan nenek itu. Akan tetapi sebelum dia memperkenalkan, baru berkata, “Ini adalah suhu dan suboku...” Bouw In sudah memotongnya sambil tersenyum.

“Aku sudah mengenal mereka. Siapa yang tidak akan mengenal Thian Moko (Iblis Langit) dan Tee Moli (Iblis Bumi)? Ha-ha, sudah bertahun-tahun tidak pernah bersua, apakah kalian baik-baik saja, Siang Lomo (Sepasang Iblis Tua)? Dan angin apa yang meniuo kalian memasuki dunia ramai?”

Sepasang kakek nenek tua renta itu saling pandang, lalu mengamati pria tinggi besar yang kepalanya botak dan berjubah lebar itu. Kemudian, kakek tua renta yang berjuluk Thian Moko mengerutkan alisnya, memandang tajam dan berkata, suaranya tinggi kecil, cocok dengan tubuhnya yang tinggi kurus pula.

“Sungguh mata ini sudah terlalu tua, ingatan ini sudah terlalu pikun. Akan tetapi, kami rasanya tidak pernah jumpa dengan si-cu (orang gagah), walaupun gerakan si-cu tadi jelas berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Siapa gerangan si-cu?”

“Ilmu silat tadi aneh, biarpun dasarnya Siauw-lim-pai, akan tetapi belum pernah aku menyaksikan orang Siauw-lim-pai bersilat seperti itu, seperti gerakan burung!” kata si nenek tua renta yang usianya sekitar hanya satu dua tahun lebih muda dari suaminya, yaitu sekitar delapan puluhan tahun. Kalau kakek itu suaranya meninggi kecil, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus, nenek yang berjual Tee Moli ini memiliki suara yang parau besar, sesuai pula dengan tubuhnya yang pendek dan gemuk sekali.

Bouw In tertawa. “Omitohud! Apakah Siang Lomo hanya mengenal orang karena pakaiannya belaka? Andai kata aku mengenakan jubah merah dan kepalaku gundul, lalu bersikap sebagai seorang hwesio, agaknya baru kalian akan mengenalku. Memang aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang tidak lagi menjadi seorang hwesio.”

“Ah, kiranya Bouw In Hwesio!” kini kakek itu berseru.

“Luar biasa!” kata isterinya. “Bagaimana mungkin ini? Kalau orang biasa mengubah dirinya menjadi pendeta untuk menebus dosa dan kembali ke jalan benar, itu baru wajar. Akan tetapi kalau hwesio mengubah diri menjadi orang biasa, menambah dosa memilih jalan sesat, barulah luar biasa!”

Bouw In tertawa. “Kembali kalian hanya menilai orang dari pakaian dan kedudukannya. Pada hal, pakaian dan kedudukan itu hanya kulitnya belaka, dan yang terpenting adalah isinya, bukan? Bagi manusia, isi dirinya nampak pada sepak terjangnya dalam kehidupan, pada pikiran, kata-kata dan perbuatannya.”

Siang Lomo saling pandang dan tertawa. Thian Moko tertawa dengan suaranya yang kecil tinggi, lalu berkata, “Bukan main! Sejak dahulu menjadi seorang hwesio sampai sekarang, Bouw In Hwesio memang seorang yang aneh dan menyimpang dari orang lain, ingin sekali kami berdua melihat apakah ilmu kepandaianmu juga tetap aneh dan menyimpang dari orang lain! Dahulu ketika engkau menjadi hwesio, engkau tidak pernah tinggal di kuil mengajarkan agama, tidak pernah mengemis makanan, melainkan berkelana seperti seorang petualang sejati. Kini, setelah menjadi orang biasa, engkaupun aneh, bahkan bersembunyi di dusun dan tidak ikut dengan persaingan keramaian dunia. Heh-heh-heh!”

Melihat percakapan itu menjurus kepada kritikan yang mungkin akan menimbulkan bentrokan, atau setidaknya mengadu kepandaian, Hek I Kai-pangcu Coa Kun cepat menengahi.

“Suhu dan subo, dan juga Bouw In suhu, harap sam-wi (kalian bertiga) bersabar sampai kita tiba di rumah, barulah kita dapat melakukan percakapan panjang yang lebih dan penting. Apa lagi, sekarang tentu Yauw-Ciangkun telah menanti di rumah kami dan saya tidak ingin mengecewakan hati Yauw-Ciangkun dengan membiarkan dia menunggu terlalu lama.”

Mereka lalu menuju ke rumah Coa Kun dan benar saja, Yauw-Ciangkun telah menanti di rumah itu. Akan tetapi, komandan kota Nan-king ini tidak marah, bahkan dia merasa gembira sekali mendengar ditawannya pemberontak Cu Goan Ciang dan cucu dari Pek Mau Lokai yang menjadi pimpinan Hwa I Kaipang, perkumpulan pengemis yang dianggap menentang pemerintah. Mendengar bahwa pasukan telah membawa merka ke benteng untuk menyerahkan mereka kepada Shu-Ciangkun, komandan ini tertawa gembira.

“Bagus, Shu-Ciangkun tentu akan dapat memaksa mereka mengakui di mana adanya pimpinan para pemberontak yang lain. Hanya Shu-Ciangkun yang akan mampu menindas pemberontakan dan memadamkan api pemberontakan sebelum menjalar luas,” kata Yauw- Ciangkun yang merasa bangga dengan pembantu barunya yang masih muda dan lihai itu.

Mereka semua lalu mengadakan pertemuan di ruangan yang luas dan memang disediakan untuk pertemuan yang penting. Ruangan itu tertutup dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh anak buah Hek I Kaipang sehingga jangan harap ada orang luar akan mampu ikut mendengarkan apa yang dibicarakan di dalam ruangan itu. Panglima Yauw Tu Cin atau nama aslinya Yatucin, komandan kota Nan-king, duduk sebagai pimpinan di kepala meja. Coa Kun dan puterinya, Coa Leng Si, duduk di sebelah kananya. Di sebelah kirinya duduk suami isteri Siang Lomo atau sepasang Iblis, kemudian baru duduk Bouw In yang bersikap sederhana, bahkan agak acuh.

“Pertama-tama, kami atas nama pemerintah mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada sam-wi lo-cian-pwe (tiga orang tua gagah), yaitu Huang-ho Siang Lomo (Sepasang Iblis Tua Sungai Kuning) dan lo-cian-pwe Bouw In yang sudah banyak kami dengar kesaktiannya dari saudara Coa Kun.”

“Aihh, kami berdua adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua dan loyo,” kata Thian Moko dengan suaranya yang tinggi.

“Akan tetapi, untuk murid kami Coa Kun, kami akan mempersiapkan tenaga kami kalau memang dapat membantunya,” sambung Tee Moli dengan suaranya yang parau dan besar.

“Omitohud..., saya telah lama mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan negara, Ciangkun,” kata pula Bouw In.

“Terima kasih kepada ji-wi Siang Lomo yang telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantu saudara Coa Kun. Sebetulnya, urusan ini memang bukan hanya menyangkut diri saudara Coa Kun, akan tetapi terutama sekali menyangkut kehidupan rakyat. Bouw lo-cian- pwe, biarpun lo-cian-pwe tidak mau mencampuri urusan negara, akan tetapi kami percaya bahwa seorang gagah perkasa dan juga beribadat seperti lo-cian-pwe, akan suka menyumbangkan tenaganya demi kesejahteraan dan ketenteraman rakyat, bukan?”

“Hemm, terus terang saja, Ciangkun. Saya menghormati Ciangkun sebagai komandan di Nan- king yang bertanggung jawab akan keamanan dan ketertiban di sini, maka saya datang memenuhi undangan Ciangkun. Sebelum saya menyatakan pendapat dan keputusan saya menyambut tawaran Ciangkun, saya ingin mendengar dulu, apa yang dapat saya lakukan untuk membantu Ciangkun. Terus terang saja lebih dulu saya beritahukan bahwa kalau saya disuruh membantu Ciangkun untuk menumpas pemberontak, saya tidak akan dapat menerimanya. Bukan karena saya memihak pemberontak, melainkan karena di antara para pemberontak itu terdapat banyak sahabat-sahabat baik saya. Saya tidak ingin menjadi seorang pengkhianat terhadap para sahabat saya sendiri, Ciangkun.”

“Baiklah, lo-cian-pwe. Kami tidak akan memaksa siapapun melakukan sesuatu yang bertentangan dengan suara hati sendiri. Akan tetapi kamipun tidak mengajak sam-wi untuk membantu kami menumpas pemberontakan. Kami hanya mengajak sam-wi untuk membantu agar jangan sampai terjadi perang, jangan sampai terjadi bentrokan besar-besaran yang akan menghancurkan persatuan orang-orang kang-ouw. Kami dari pihak pemerintah merasa amat penting menjaga keutuhan para tokoh dunia persilatan karena kekuatan mereka yang akan mampu mempertahankan keamanan dalam kehidupan rakyat jelata. Para penjahat tidak berani merajalela hanya karena mereka takut kepada para pendekar, bukankah demikian? Nah, masalah yang akan kami bicarakan, yaitu tentang pemilihan Beng-cu di antara para tokoh persilatan.”

“Apa yang dapat saya lakukan dalam urusan pemilihan Beng-cu, Ciangkun? Saya tidak ingin menjadi Beng-cu, kalau itu yang Ciangkun maksudkan,” kata pula Bouw In Hwesio.

“Heh-heh, kamipun sudah terlalu tua untuk menjadi Beng-cu!” kata Thian Moko dan isterinya mengangguk membenarkan.

Posting Komentar