Bouw In Hwesio merasa kasihan sekali kepada Kui Lan Bi, apa lagi ketika dia melihat betapa sikap dan pandang mata para penduduk terhadap Lan Bi mengandung rasa tidak suka dan merendahkan, pandang mata para pria di dusun itu mengandung kekurang ajaran dan pandang mata para wanitanya mengandung perasaan tidak senang dan cemburu. Diapun tahu mengapa demikian, Kui Lan Bi adalah seorang janda, tanpa anak, masih cukup muda dan berwajah manis menarik. Bahkan dia kini tahu bahwa Kui Lan Bi hidup sebatang kara setelah kematian suaminya, maka tentu banyak mata pria di situ menaksirnya, dan para wanitanya menjadi cemburu dan curiga. Bouw In Hwesio melihat pula betapa miskin keadaan Kui Lan Bi.
Bahkan untuk membeli peti mati saja ia tidak mempunyai uang, dan terpaksa menjual semua perabot rumah untuk ditukarkan dengan peti mati sederhana! Dia merasa kasihan sekali dan dengan sukarela, dia ikut berkabung, mengatur persembahyangan jenazah dan membantu sampai jenazah itu dikubur.
Bouw In Hwesio yang menghibur Kui Lan Bi dengan nasihat-nasihat selama tiga hari janda itu menangisi kemaratian suaminya yang kini telah dikubur. Dan lebih menyedihkan lagi, jarang ada tetangga yang datang. Yang pria takut kalau dicurigai dan dicemburui isterinya, yang wanita merasa iru dan cemburu. Mereka yang masih membujang juga merasa rikuh karena bagi para pemuda, janda itu merupakan seorang wanita yang lebih tua dengan usianya yang tiga puluh lima tahun dibandingkan mereka yang baru dua puluhan tahun!
Pada hari ke empat, Bouw In Hwesio berpamit kepada Lan Bi yang nampak pucat dan kurus karena selama tiga hari itu ia hanya menangis saja, lupa makan lupa tidur.
“Nyonya, hari ini pinceng akan pergi melanjutkan perjalanan pinceng, harap engkau baik-baik menjaga dirimu dan jangan menenggelamkan hati dan pikiran ke dalam lautan duka.”
Mendengar ini, Lan Bi yang sudah mulai mau bekerja dan pagi itu mempersiapkan makan pagi untuk Bouw In Hwesio, terbelalak memandang kepada pendeta itu. Wajah yang pucat itu, mata yang sayu dan kini dibuka lebar-lebar, bibir yang setengah terbuka dan gemetar, kembali mengingatkan Bouw In Hwesio kepada isterinya, menjelang kematian isterinya yang terluka parah oleh serangan penjahat. Kemudian, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata apapun, Kui Lan Bi menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesunggukan, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
“Ya Tuhan, lebih baik aku mati saja... lebih baik mati saja...” demikian ratapnya di antara tangisnya.
Diam-diam Bouw In Hwesio terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pamitnya itu akan membuat nyonya muda itu menjadi berduka kembali, bahkan seolah kehilangan pegangan, kehilangan harapan.
“Omitohud, kenapa begini, nyonya? Bangkit dan duduklah, mari kita bicara baik-baik dan tenangkan hati dan pikiranmu,” katanya dan dia menarik wanita itu bangun lalu menuntunnya agar duduk di atas bangku kasar yang tidak laku dijual. “Nah, sekarang katakan, kenapa setelah pinceng berpamit untuk melanjutkan perjalan pinceng, engkau menjadi berduka dan putus asa?”
Kui Lan Bi menyusut air matanya, “Suhu telah membebaskan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut, kemudian suhu membantu saya mengurus penguburan suami saya. Sekarang, setelah saya masih dapat bertahan hidup karena ada suhu yang menghibur dan menasihati, tiba-tiba suhu hendak pergi meninggalkan saya. Membayangkan harus hidup seorang diri di sini, tidak mempunyai apa-apa lagi, hidup sebatang kara sebagai seorang janda... ah, saya merasa ngeri, suhu. Saya akan menjadi bahan gunjingan, bahan ejekan, bahkan bahan penghinaan orang-orang. Saya tidak sanggup menghadapi semua itu dan lebih baik saya mati saja, suhu...” Kembali wanita itu menangis sedih.
“Omitohud...!” berulang kali Bouw In Hwesio menggumamkan pujian ini dan di dalam hati dia merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa takutnya wanita ini menghadapi kehidupan seorang diri, dan dia tahu pula bahwa kekhawatiran wanita itu bukan tak berdasar. Sebagai janda muda tanpa anak, tanpa keluarga sama sekali, sudah pasti akan banyak pria datang menggoda dan banyak wanita mencemburuinya. Hidupnya akan merupakan siksaan belaka, apa lagi keadaannya amat miskin.
“Nyonya, apakah engkau sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi kepada siapa engkau akan dapat minta bantuan dan tinggal bersama mereka? Kalau tidak sanak keluarga, sanak keluarga suamimu?”
“Tidak, tidak ada, suhu. Biarpun ada akan tetapi sama dengan tidak ada. Dahulu, dalam usia delapan belas tahun, orang tuaku hendak memberikan aku kepada seorang hartawan unuk menjadi selirnya. Akan tetapi aku tidak mau, dan aku lalu melarikan diri dengan Tang Lok, pemuda tetanggaku yang menjadi suamiku kemudian. Kalau aku pulang, orang tuaku tentu tidak akan sudi menerimaku, demikian pula orang tua Tang Lok yang semua mengutuk perbuatan kami melarikan diri. Suhu, saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi...”
“Hemm, kalau begitu, lalu bagaimana kehendakmu, nyonya?”
Wanita itu bangkit dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio, “Hanya suhu seorang manusia di dunia ini yang sekarang menjadi harapanku. Suhu, kalau suhu pergi, bawalah saya. Saya akan merawat dan melayani semua keperluan suhu, mencuci pakaian, menyediakan makanan, bekerja sebagai pembantu, sebagai budak.
Setidaknya ada artinya saya hidup. Kalau suhu tidak mau menerima saya, dan meninggalkan saya di sini seorang diri, saya lebih senang mati menyusul suami saya dari pada hidup menderita siksaan lahir batin.”
Bouw In Hwesio terkejut, sejenak tak dapat bicara. Dia sendiri seorang hwesio, perantau pula, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidak mempunyai harta kekayaan. Bagaimana mungkin dia menerima seorang wanita, seorang janda, yang ingin mengikutinya? Sebagai pembantu? Betapa janggal dan anehnya, seorang pendeta miskin perantau mempunyai pembantu! Menjadi murid? Kui Bi Lan tidak memiliki bakat menjadi seorang pesilat, apa lagi ia seorang wanita, seorang janda yang usianya sudah tiga puluh lima tahun. Akan tetapi kalau dia menolak? Dia hampir yakin bahwa tentu wanita yang putus asa ini akan membunuh diri! Kalau dia yang hidup tidak mau diikutinya, tentu wanita itu memilih ikut suaminya yang sudah mati! Dan kalau terjadi wanita ini membunuh diri karena dia, berarti dia yang menyebabkan wanita itu mati, dan dia memikul karma yang buruk. Akan tetapi kalau dia menerimanya, lalu bagaimana? Tiba-tiba timbul harapannya. Biarlah wanita ini mengikutinya, kalau nanti merasa tidak tahan dengan kehidupan perantauan yang miskin dan sukar, tentu wanita itu akan mundur sendiri. Dan kalau wanita itu yang meninggalkannya, bukan dia yang meninggalkan wanita itu, lalu terjadi apa-apa dengan wanita itu, dia tidak bertanggung jawab lagi, lahir maupun batin. Akan tetapi, bayangan inipun tidak mengenakkan hatinya. Dia sungguh merasa kasihan kepada wanita ini, wanita yang mengingatkan dia kepada isterinya!
“Omitohud, apa yang dapat pinceng lakukan? Baiklah, nyonya, kalau itu yang kaukehendaki. Engkau boleh ikut pinceng, hanya ketahuilah bahwa pinceng seorang pendeta perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal, yang miskin dan...”
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan ucapannya karena wanita itu sudah menubruk kakinya dan menangis sambil mengucapkan terima kasih. Air matanya bercucuran membasahi dan membasuh kedua kaki Bouw In Hwesio yang masih bertelanjang karena belum mengenakan sepatunya itu.
“Terima kasih, suhu, terima kasih... suhu telah menyambung kehidupan saya...”
“Nyonya, jangan begitu. Bangkitlah...!” Bouw In Hwesio mengangkatnya bangun dan kini wanita itu memandang kepadanya dengan mata yang merah dan muka basah, akan tetapi mulutnya mengandung senyum kebahagiaan dan penuh harapan.
“Suhu, nama saya Kui Lan Bi, panggil saja Lan Bi, harap jangan menyebut nyonya lagi, suhu sudah siap? Biar saya ambilkan sepatu suhu...!” Dengan cekatan seolah ada semangat dan hidup baru yang menggerakkan tubuhnya yang selama beberapa hari nampak layu dan lemah, Lan Bi setengah berlari ke bilik dan mengambilkan sepatu hwesio itu. Dengan cekatan pula ia membawa sepatu itu, berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio dan hendak membantu hwesio itu mengenakan sepatunya, sikapnya seperti seorang hamba sahaya yang setia dan taat!
Bouw In Hwesio merasa terharu. “Mulai sekarang, engkau harus mentaati semua petunjukku, Lan Bi. Nah, perintahku yang pertama, jangan engkau membantuku memakai sepatuku, akan tetapi cepat kauselesaikan mempersiapkan sarapan pagi. Sebelum kita pergi, engkau harus makan dulu. Sudah tiga hari ini engkau tidak makan, engkau dapat jatuh sakit. Cepat laksanakan perintahku ini!”
Lan Bi bangkit berdiri, memandang kepada hwesio itu penuh rasa terima kasih, lalu menjawab penuh semangat, “Baik, suhu, akan saya laksanakan perintah suhu!” Dan iapun setengah berlari pergi ke dapur. Bouw In Hwesio menjatuhkan dirinya di atas bangku, mengenakan sepatunya lalu termenung dan berulang kali menghela napas panjang, menggeleng kepala, tersenyum-senyum pahit, menggeleng kepala lagi, lalu mengangguk- angguk.
Pada keesokan harinya, mereka berdua pergi meninggalkan dusun, diiringi jebiran dan gunjingan orang sedusun. Akan tetapi Lan Bi tidak menghiraukan itu semua, bahkan setelah ia dan hwesio itu jauh meninggalkan dusun, semakin ringan rasa hatinya, seolah seekor burung yang baru saja terlepas dari sangkarnya.
Mungkin karena merasa hutang budi, apa lagi karena di dunia ini tidak ada orang lain lagi yang bersikap baik terhadapnya, yang dapat digantungi harapan masa depannya, Lan Bi benar-benar amat taat dan berbakti terhadap Bouw In Hwesio. Di lain pihak mungkin karena iba hati dan karena persamaan janda itu dengan mendiang isterinya, Bouw In Hwesio juga merasa sayang. Suka duka mereka dalam perjalanan, dalam perantauan, dalam menghadapi bahaya, ketika mereka saling membela, saling menghibur, bukan hal yang aneh kalau akhirnya timbul perasaan lain dalam hati masing-masing. Cinta kasih dapat bersemi di tempat manapun juga, dan dapat melanda di hati siapapun, tua muda, kaya miskin. Bouw In Hwesio yang semenjak ditinggal mati isterinya, dua puluh tahun yang lalu, hidup sebagai pendeta, mengekang nafsu duniawi dan menjauhi segala kesenangan, kini setelah bergaul dengan Lan Bi yang hidup di sampingnya, tak kuasa menahan gairah cintanya. Akhirnya, dengan sukarela, keduanya mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri! Bouw In Hwesio rela meninggalkan kependetaannya, menjadi orang biasa yang berkepala botak, namun bagi Lan Bi, dia merupakan pria terbaik di dunia ini, pengganti suaminya!
Cinta asmara memang sesuatu yang ajaib. Bukan monopoli pria ganteng dan wanita jelita saja. Juga cinta asmara bukan didatangkan karena ketampanan atau kecantikan belaka. Bukan pula karena harta kekayaan. Bahkan lebih sering dan lebih kuat cinta asmara yang dibangkitkan oleh persamaan watak dan kebaikan pribudi ini biasanya lebih kuat dan lebih awet, sebaliknya, yang dibangkitkan oleh keelokan wajah dan banyaknya harta benda, kadang kala malah rapuh. Memang tidak mengherankan. Kecantikan dan ketampanan wajah hanyalah setipis kulit, tidak menembus batin. Maka, yang tadinya nampak cantik atau tampan, setelah timbul pertikaian karena keburukan watak, maka yang cantik atau tampan itu nampak buruk seperti setan! Demikian pula harta kekayaan, hanya menempel di luar kulit belaka. Betapa banyaknya orang yang menikah dengan hartawan, akhirnya menderita batinnya dan harta kekayaan yang tadinya diidamkan, kehilangan daya tariknya, bahkan kehilangan daya hiburnya. Sebaliknya, suami isteri miskin yang tidak cantik tidak tampan sekalipun, dapat hidup berbahagia dan saling mencinta karena mereka memang memiliki cinta yang murni, cinta yang mendatangkan perasaan belas kasihan, mendatangkan kemesraan, mendatangkan perasaan tenang dan aman tenteram, ada ikatan batin yang mendalam.
Setelah menjadi suami isteri, Lan Bi menceritakan kepada suaminya bahwa ia memiliki seorang kakak misan yang juga merupakan seorang ahli silat kenamaan akan tetapi sudah lama ia tidak pernah berhubungan dengan kakak misan itu. Suaminya, Bouw In Hwesio yang sekarang kalau memperkenalkan diri bernama Bouw In saja, terkejut ketika mendengar bahwa kakak misan isterinya itu bukan lain adalah Twa-sin-to Coa Kun dan karena kebetulan perantauan mereka tiba tak jauh dari Nan-king, merekapun pada suatu hari mengunjungi Coa Kun atau Coa-pangcu (ketua Coa) di kota Nan-king. Pertemuan antara saudara misan itu tentu tidak akan mengesankan atau pihak keluarga Coa tidak akan menyambut dengan gembira kalau saja Lan Bi datang seorang diri. Akan tetapi, adik misan ini datang sebagai isteri Bouw In Hwesio! Tentu saja demi bekas pendeta itu, Coa Kun menyambut dengan penuh kegembiraan dan kehormatan dan mereka diterima sebagai tamu kehormatan.
Akan tetapi, Bouw In Hwesio atau sebaiknya kalau kita sebut nama barunya, Bouw In tanpa embel-embel hwesio, tidak mau tinggal menumpang di rumah besar ketua Hek I Kaipang.