“Omitohud, pinceng harap kalian bertiga suka bertaubat dan tidak melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan jahat,” kata Bouw In Hwesio sambil mengerutkan alisnya.
“Hwesio yang bosan hidup!” bentak si codet dan bersama dua orang kawannya, dia menerjang ke depan, menyerang pendeta itu dengan goloknya. Dua orang temannya juga menyerang dari kanan kiri.
Diterjang tiga batang golok dari depan, kanan dan kiri, Bouw In Hwesio cepat menggerakkan kaki mundur. Dari sambaran golok dan cara tiga orang itu menyerangnya, tahulah hwesio ini bahwa dia berhadapan dengan tiga orang yang cukup tangguh. Maka, diapun segera memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat. Bagaikan seekor burung rajawali, tubuhnya berkelebat di antara tiga gulungan sinar golok.
Wanita yang nyaris diperkosa tadi tidak menangis lagi, akan tetapi kini, sambil duduk bersimpuh di atas rumput, matanya terbelalak penuh kegelisahan memandang ke arah perkelahian. Penolongnya, hwesio itu, dikepung dan diserang tiga orang jahat itu dengan golok, sedangkan hwesio itu sendiri sama sekali tidak memegang senjata. Tentu saja ia merasa khawatir sekali dan merasa ngeri untuk melihat hwesio itu nanti roboh dan mandi darah.
Akan tetapi dengan ilmu silatnya yang amat tangguh itu, Bouw In Hwesio yang bertangan kosong sama sekali tidak dapat disentuh oleh tiga batang golok itu. Bahkan gerakannya membuat tiga orang pengeroyoknya mulai merasa pening, tubuh lawan itu seperti beterbangan saja dan ketika mendapat kesempatan, ujung lengan jubah Bouw In Hwesio menyambar tiga kali dan tiga orang pengeroyok itupun terpelanting roboh, golok mereka beterbangan. Masih untung bagi mereka bahwa Bouw In Hwesio tidak ingin membunuh mereka, maka ujung lengan jubah tadi hanya mematahkan tulang pundak dan lengan kanan saja, membuat mereka menyeringai kesakitan, tidak mampu melawan lagi dan begitu mereka dapat bangkit, mereka seperti dikomando, lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Bouw In Hwesio tidak mengejar, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah perempuan tadi. Ketika melihat betapa hwesio itu telah berhasil mengusir tiga orang penjahat, wanita itu lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio, menangis tersedu- sedu, tidak dapat mengeluarkan kata apapun untuk menyatakan terima kasihnya.
Melihat wanita itu berlutut di depan kakinya sambil menangis, tangis yang menunjukkan kesedihan yang mendalam, Bouw In Hwesio merasa kasihan sekali. Dia membungkuk, menyentuh kedua pundak wanita itu dan berkata dengan lembut, “Toanio (nyonya), bangkitlah dan hentikan tangismu. Bahaya telah lewat dan kita patut bersyukur bahwa malapetaka tidak jadi menimpa dirimu.”
Dia setengah menarik wanita itu agar mau bangkit berdiri, kemudian mengajaknya duduk di atas rumput tebal, di mana tadi tiga orang penjahat menggumulinya. Wanita itu menurut diajak ke situ, akan tetapi masih tetap menangis sesunggukan.
“Duduklah, toanio dan ceritakan apa yang telah terjadi. Bagaimana engkau sampai dapat dibawa oleh tiga orang sesat tadi ke tempat ini? Di mana rumahmu, dan di mana keluargamu?”
Ditanya demikian, tangis itu menjadi-jadi. Wanita itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, duduknya hampir menelungkup dan dari celah-celah jari tangannya mengalir air mata.
Bouw In Hwesio menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu menyelimuti tubuh yang setengah telanjang karena pakaian yang koyak-koyak itu. Merasa ada kain menyelimutinya, wanita itu membuka kedua tangan, lalu menangkap kedua ujung jubah dan menyelimuti tubuhnya rapat- rapat, kemudian ia menangis lagi. Tangisnya amat menyedihkan dan Bouw In Hwesio hanya duduk memandang, membiarkan tangis itu memperoleh penyaluran agar hati yang nampaknya ditekan duka itu dapat meringan. Ketika wanita itu tadi menurunkan kedua tangan dari muka untuk memegang ujung jubah sehingga wajahnya terbuka dan nampak jelas, diam-diam Bouw In Hwesio terkejut dan jantungnya berdebar keras. Dia merasa seolah-olah isterinya yang telah meninggal dunia hidup kembali! Dua puluh tahun yang lalu, isterinya tewas di tangan penjahat dan ketika itu, usia isterinya seperti wanita ini, dan sungguh ajaib, ada kemiripan wajah yang luar biasa! Ketika itu, dua puluh tahun yang lalu, dia belum menjadi hwesio, hidup bahagia dengan isterinya. Akan tetapi, karena sejak muda dia menentang kejahatan sebagai seorang pendekar, dia dimusuhi banyak penjahat dan pada suatu hari, penjahat- penjahat datang ke rumahnya untuk membunuhnya. Dia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi isterinya tewas di ujung senjata para penjahat. Karena hampir gila oleh kematian isterinya yang tersayang, akhirnya diapun menjadi hwesio! Dan kini, dia menyelamatkan seorang wanita dari tangan tiga orang penjahat, dan wanita itu persis isterinya!
Setelah membiarkan wanita itu menangis beberapa lamanya, akhirnya tangis itupun mereda, tinggal isaknya saja. Bouw In Hwesio maklum bahwa kini tiba saatnya untuk mengajak wanita itu bicara.
“Nah, sekarang ceritakanlah kepada pinceng, apa yang telah terjadi, nyonya. Siapa tiga orang jahat itu, kenapa engkau berada di sini. Siapa engkau dan siapa pula keluargamu.”
“Nama saya Kui Lan Bi tinggal di dusun Kwa-ci bersama suami saya bernama Tang Lok. Kami hanya tinggal berdua sebagai petani karena kami tidak mempunyai anak. Biarpun hidup kami miskin, namun kami cukup berbahagia. Akan tetapi tadi... ketika saya dan suami saya sedang bekerja di ladang, muncul tiga orang itu. Mereka... mereka bersikap kurang ajar kepada saya dan suami saya...” wanita itu mengerang dan menangis lagi.
“Suamimu kenapa, nyonya?” Bouw In Hwesio bertanya, namun alisnya berkerut karena dia menduga apa yang mungkin terjadi. Dugaannya memang benar.
“Suami saya... dia membela saya dan... dan... mereka membunuhnya... lalu melarikan saya ke sini...”
“Omitohud...! Kalau pinceng tahu begitu, tidak akan pinceng biarkan mereka melarikan diri begitu saja! Nyonya, mari kita cepat ke sana menengok keadaan suamimu!” Wanita itu bangkit dan berselimut jubah lebar, terhuyung berlari meninggalkan tempat itu. Khawatir kalau wanita itu terjatuh, Bouw In Hwesio memegang tangannya dan menggandeng sambil setengah menunjang agar wanita itu tidak sampai terjatuh.
Ketika mereka tiba di ladang itu, mayat suami wanita itu sudah dirubung banyak penduduk dusun. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa suami wanita itu, Tang Lok, tahu- tahu tewas di ladang dengan leher hampir putus terbacok. Kini, Kui Lan Bi datang berlari- larian, berselimut jubah, bersama seorang hwesio yang tidak mengenakan baju hanya bercelana saja, tentu hal ini membuat para penghuni dusun menjadi semakin heran dan mereka hanya dapat memandang terbelalak ketika Kui Lan Bi menubruk mayat suaminya dan menangis tersedu-sedu.
Dengan sabar dan tenang, Bouw In Hwesio menceritakan kepada para penghuni dusun itu apa yang telah terjadi. Mendengar bahwa hwesio itu telah menyelamatkan Kui Lan Bi dari perkosaan yang dilakukan oleh para pembunuh Tang Lok, para penduduk dusun baru mengerti, dan di antara mereka ada yang memberikan pakaian kepada wanita itu dengan mengambilkan pakaiannya dari rumah. Jubah milik Bouw In Hwesio dikembalikan oleh Kui Lan Bi yang kini sudah menjadi agak tenang.