Rajawali Lembah Huai Chapter 57

NIC

“Siauw Yen, pergilah! Cepat larilah sebelum terlambat, siauw-te!” teriak Hung Wi, terkejut dan khawatir sekali melihat Yen Yen muncul dengan penyamarannya, seorang diri saja tanpa bantuan! Namun, Yen Yen adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan pemberani. Apa lagi ia merasa amat kagum kepada Hung Wu, bahkan pemuda itu telah diangkat menjadi pembantu utamanya. Oleh karena itu, melihat Hung Wu terancam bahaya, bagaimana mungkin ia dapat pergi begitu saja menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan pemuda itu terancam bahaya? Tadi ia sudah berusaha mencari bala bantuan, akan tetapi ia telah gagal. Ia hanya bertemu dengan dua orang saja anggota Hwa I Kaipang di kota Nan-king, dua orang anggota biasa yang ilmu kepandaiannya tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Hung Wu bertindak sendiri dan terancam bahaya, maka iapun melakukan pengejaran seorang diri dan muncul pada saat Hung Wu didesak seorang kakek yang amat lihai. Biarpun ia melihat bahwa selain kakek botak yang lihai, di situ terdapat pula belasan orang prajurit, bahkan ia mengenal pula kehadiran ketua Hek I Kaipang, yaitu Coa Kun, dan puterinya yang lihai di samping seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang tadi berkereta bersama ketua Hek I Kaipang, Yen Yen tidak merasa gentar. Ia harus membantu dan menolong Hung Wu, apapun yang terjadi, maka iapun sudah menerjang ganas, menyerang dan mengeroyok kakek botak yang kedua lengan jubahnya lihai bukan main itu.

Tongkatnya segera memainkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Hok-mo-tung.

Sesosok bayangan berkelebat dan gadis baju hijau Coa Leng Si sudah menggunakan pedang menyambut Yen Yen. Mereka berdua segera saling serang dengan seru, dan biarpun Yen Yen maklum akan kelihaian Leng Si, namun untuk dapat menolong Hung Wu, ia melawan dengan nekat dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hok-mo-tung.

Melihat permainan tongkat pemuda dusun yang masih remaja itu, Coa Kun segera mengenal ilmu itu sebagai ilmu andalan dari Hwa I Kaipang. Dia cepat melompat dan membantu puterinya dengan golok besarnya sambil berseru, “Mereka orang-orang Hwa I Kaipang.

Tangkap hidup-hidup!” Kini keadaan Hung Wu dan Siauw Yen tiada bedanya, sama-sama terdesak hebat oleh pihak lawan. Hung Wu yang melawan mati-matian, tidak berdaya karena yang menandinginya adalah supeknya yang tentu saja memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi.

Sedangkan Siauw Yen sendiri, melawan Leng Si seorang saja sudah kalah, apa lagi dikeroyok dua oleh gadis lihai itu dan ayahnya, ketua Hek I Kaipang. Gadis yang menyamar itu hanya mampu menggerakkan tongkat untuk melindungi dirinya saja. Akhirnya, hampir berbareng dengan Hung Wu, ia roboh tertotok oleh Leng Si. Hung Wu sendiri juga roboh lemas terkena totokan ujung lengan jubah Bouw In Hwesio.

“Akupun mengenal ilmu tongkat dan gerakannya, ayah. Kalau tidak salah, ia adalah cucu dari Pek Mau Lokai, gadis yang kabarnya kini menjadi pemimpin Hwa I Kaipang, yang bernama Tang Hui Yen.” Setelah berkata demikian, Coa Leng Si berlutut mendekati Siauw Yen yang rebah lemas tak berdaya. Leng Si menggosok sana-sini di muka, kepala dan leher. Leng Si, melepaskan kain penutup rambut dan sebentar saja nampaklah bahwa pemuda petani itu bukan lain adalah seorang gadis cantik!

“Hemm, benar katamu, Leng Si. Ia adalah Tang Hui Yen, tokoh Hwa I Kaipang. Kalau begitu, aku yakin bahwa yang seorang lagi inipun tokoh Hwa I Kaipang,” kata Coa Kun dan diapun berlutut mendekati Hung Wu dan seperti yang dilakukan puterinya tadi, dia menggosok muka Goan Ciang atau Hung Wu sehingga penyamaran pemuda itu terbuka dan nampak wajah aslinya. Begitu kelihatan wajah aslinya, perwira yang memimpin pasukan kecil itu berseru kaget.

“Ah, dia adalah pemberontak yang dicari itu! Dia Cu Goan Ciang!” “Cu Goan Ciang?” kata Coa Kun. “Hemm, siapa dia?”

“Pangcu, dia adalah pemberontak yang telah membunuh Bhong-Ciangkun dari Wu-han dan membunuh banyak prajurit kita. Bahkan Shu-Ciangkun telah memesan kepada kami bahwa kalau kami dapat menangkap Cu Goan Ciang, agar tidak dibunuh dan cepat dibawa menghadap Shu-Ciangkun, karena beliau hendak melakukan pemeriksaan dan memaksa dia menceritakan semua tentang para pemberontak. Pangcu, kami harap agar pangcu suka menyerahkan kedua orang tawanan ini kepada kami, karena sekarang juga akan kami hadapkan kepada Shu-Ciangkun.”

Pangcu dari Hek I Kaipang mengangguk-angguk. Dia mengenal siapa yang disebut Shu- Ciangkun itu. Seorang perwira tinggi yang biarpun baru beberapa bulan bertugas di Nan-king, namun telah membuat nama besar dan banyak juga membersihkan Nan-king dan sekitarnya dari gangguan para penjahat. Tentu saja dia tidak ingin membantah kehendak panglima baru yang menjadi tangan kanan atau pembantu utama Yauw-Ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan keamanan di Nan-king.

“Baik, akan tetapi agar kedua orang ini jangan sampai lolos dalam perjalanan, biar kita bersama kembali ke Nan-king. Baru setelah tiba di sana kalian boleh membawa mereka ke benteng.”

Tubuh kedua orang pemberontak yang masih lemas itu lalu ditelikung dan kaki tangan mereka dibelenggu. Mereka diangkat dan dimasukkan ke dalam kereta, kemudian rombongan itu berangkat menuju ke Nan-king. “Ayah, bagaimana ayah bersama kedua lo-cian-pwe (orang tua gagah) dapat berada di hutan dan dihadang oleh Cu Goan Ciang itu?” tanya Leng Si kepada ayahnya. “Aku sedang membujuk suhu untuk suka datang ke Nan-king, dikawal tiga belas orang prajurit seperti yang diperintahkan ayah. Akan tetapi, kenapa tahu-tahu ayah dan kedua orang lo-cian-pwe berada di hutan itu?”

“Karena tidak sabar menanti kembalimu, maka aku mengajak suhu dan subo untuk menyusul saja ke sana, dan aku sendiri yang akan membujuk gurumu. Syukurlah kalau beliau sudah mau datang bersamamu. Bagaimanapun juga, karena aku tidak sabar, maka kita berhasil menangkap dua orang tokoh Hwa I Kaipang, bahkan yang seorang adalah pemberontak yang dicari-cari oleh para panglima. Sekali ini kita berjasa besar!” kata ketua Hek I Kaipang itu dengan gembira.

Ternyata bahwa benar seperti dugaan Goan Ciang, kakek botak itu adalah Bouw In Hwesio, atau bekas hwesio Siauw-lim-pai. Dahulu, Bouw In Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim- pai yang berbeda dari para hwesio yang lain, suka sekali merantau. Dia adalah suheng dari Lauw In Hwesio, bahkan bersama Lauw In Hwesio, dia berhasil merangkai ilmu silat Sin- tiauw ciang-hoat yang ampuh. Dalam perantauan ini dia bertemu dengan Coa Leng Si dan gadis itu lalu menjadi muridnya selama dua tahun. Sebelum itu, Leng Si memang sudah merupakan seorang gadis yang lihai, karena ia puteri tunggal Twa-sin-to Coa Kun. Dia tinggal di lereng Bukit Bambu di luar kota Nan-king, dibuatkan sebuah rumah oleh muridnya dan pada hari itu, muridnya datang bersama seregu prajurit yang membawa surat dari Panglima Yauw dari Nan-king. Juga ketua Hek I Kaipang menyuruh puterinya untuk ikut membujuk agar Bouw In Hwesio suka datang ke Nan-king karena bantuannya amat dibutuhkan untuk menghadapi para pemberontak yang dipimpin orang-orang pandai. Bahkan Coa-pangcu berhasil pula mendatangkan dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek tua renta itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka berdua itu, bersama Bouw In Hwesio, diharapkan untuk dapat membantu pemerintah menundukkan para pimpinan pemberontak.

Karena tidak sabar menanti pulangnya Leng Si, maka Coa-pangcu mengajak suhu dan subonya untuk menyusul dengan kendaraan kereta.

Setelah tiba di Nan-king, kedua orang tawanan itu diserahkan kepada regu pasukan pemerintah untuk dibawa ke markas atau benteng dan dihadapkan kepada Shu-Ciangkun yang oleh Yauw-Ciangkun memang diserahkan tugas untuk mengatur keadaan di Nan-king dan sekitarnya, bukan hanya untuk membasmi gerombolan penjahat, akan tetapi terutama sekali para pemberontak.

Cu Goan Ciang atau Hung Wu dibawa ke dalam benteng dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan secara terpisah, walaupun bersebelahan. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara. Kini, Hung Wu yang dibelenggu kaki tangannya, duduk bersanding dinding kamar tahanan. Dia tahu bahwa dia menghadapi ancaman maut. Dia tidak takut, hanya merasa menyesal mengapa semua usahanya gagal dan kini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu untuk negara dan bangsanya. Semua cita-citanya kandas dan hancur.

Dia memang bodoh, sesalnya kepada diri sendiri. Terlalu memandang rendah kepada lawan sehingga bukan dia berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, bahkan dia yang tertawan, dan dia pula yang menyebabkan Yen Yen ikut tertawan. Akan tetapi, satu hal yang membuat dia paling penasaran adalah keadaannya supeknya, Bouw In Hwesio. Menurut suhunya, yaitu Lauw In Hwesio, supeknya itu seorang hwesio perantau yang bijaksana. Pada umumnya, para pendekar Siauw-lim-pai tidak suka kepada penjajah Mongol walaupun mereka tidak berdaya. Akan tetapi kenapa Bouw In Hwesio itu agaknya menjadi antek orang Mongol?

Memang aneh keadaan bekas tokoh Siauw-lim-pai itu. Memang dahulu dia dikenal sebagai seorang hwesio perantau yang bijaksana dan gagah perkasa. Akan tetapi, apa yang telah terjadi dua tida tahun yang lalu telah mengubah jalan hidupnya sama sekali.

Hampir tiga tahun yang lalu dia merantau sampai ke daerah Secuan, menyusuri sepanjang sungai Yang-ce. Pada suatu senja, ketika dia mendayung sebuah perahu kecil sederhana yang dibelinya dari seorang nelayan, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita di pantai yang sunyi dan penuh semak belukar itu. Mendengar jeritan ini, Bouw In Hwesio cepat mendayung perahunya ke tepi sungai dan sambil memegang ujung tali perahu, dia meloncat ke darat.

Setelah mengikatkan tali itu pada sebatang pohon, dia cepat berlari ke arah suara jeritan yang kini terdengar lagi.

Dia menyusup-nyusup di antara semak belukar dan pohon-pohon, dan ketika dia tiba di tengah hutan kecil itu, dia melihat tiga orang laki-laki sedang menggumuli seorang wanita! Wanita itu meronta-ronta, akan tetapi tidak mampu menjerit lagi karena mulutnya didekap tangan, pakaiannya koyak-koyak dan nyaris tiga orang laki-laki itu mencapai niat keji mereka, yaitu memperkosa wanita itu.

“Omitohud...!” Bouw In Hwesio berseru dan dia meloncat ke depan, kaki tangannya bergerak dan tiga orang laki-laki itu terpental dan terlempar dari wanita yang mereka gumuli. Wanita itu menangis dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kain robekan pakaiannya, matanya terbelalak memandang kepada Bouw In Hwesio sambil menggeser ke belakang ketakutan, seluruh tubuh menggigil dan tidak mampu bangkit berdiri saking takutnya.

Tiga orang laki-laki itu berlompatan berdiri dan mereka marah sekali ketika melihat bahwa yang menarik dan melemparkan mereka adalah seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar. Adapun Bouw In Hwesio ketika memandang kepada tiga orang itu, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat, yang agaknya sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, biasa mempergunakan kekerasan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka berusia empat puluh tahun lebih, memiliki perawakan yang kokoh kuat dan kini ketiganya sudah mencabut sebatang golok besar dan memandang kepadanya dengan wajah bengis. Ketika Bouw In Hwesio melirik ke arah wanita tadi, di melihat bahwa wanita itu berusia tiga puluh tahun lebih, seorang wanita yang berwajah sayu namun memang memiliki daya tarik, baik pada wajahnya yang lembut dan manis maupun pada tubuhnya yang ramping padat. Bukan wanita kaya, karena pakaian yang sudah koyak- koyak itu seperti pakaian wanita dusun saja, dari kain kasar yang murah. Namun ada sesuatu pada pandang mata wanita itu yang membuat Bouw In Hwesio mengambil keputusan untuk melindunginya.

“Hwesio keparat! Berani engkau mencampuri urusan kami?” bentak seorang di antara tiga pria itu, yang pipinya dihias codet.

Posting Komentar