Rajawali Lembah Huai Chapter 54

NIC

Demikianlah, mulai hari itu, Shu Ta diterima sebagai seorang perwira baru, dan dia mendapat tugas untuk melatih ilmu silat kepada para perwira lain. Dia bekerja dengan baik, dan atas desakan kedua putera puteri Menteri Bayan itu, sebentar saja dia sudah mendapatkan kepercayaan dan kenaikan pangkat sehingga dia dipercaya untuk memimpin seregu pasukan. Shu Ta memang cerdik sekali. Setiap kali menerima tugas, selalu dia laksanakan dengan baik. Kalau pasukannya menerima tugas untuk menjaga keamanan, dia bersungguh-sungguh menumpas gerombolan penjahat sehingga setelah dia menjadi perwira keamanan, daerah Nan- king menjadi aman. Dan kalau dia menerima tugas untuk membasmi kelompok pemberontak, dia selalu berhasil memberi kabar kepada kelompok itu, sehingga pada saat dia dan pasukannya tiba, maka para pemberontak itu sudah kabur sehingga tidak terjadi pembasmian atau penangkapan.

Seperti yang telah dia perhitungkan dan harapkan ketika timbul pikirannya untuk menyusup menjadi seorang perwira kerajaan Mongol, Shu Ta dapat mulai mengumpulkan keterangan tentang keadaan kerajaan Mongol, tentang kekuatannya, dan tentang kemunduran- kemunduran yang sedang terjadi karena kaisarnya, yaitu Kaisar Togan Timur (1333-1368), bukan merupakan seorang kaisar yang bijaksana dan pandai seperti nenek moyangnya. Seluruh kekuasaan dikendalikan oleh para menteri, terutama Menteri Bayan, dan para thai- kam (orang kebiri), yaitu mereka yang mempengaruhi kaisar dari sebelah dalam istana.

Korupsi merajalela, pemerintahan lemah sekali dan pengendalian atau pengontrolan terhadap para pejabat di daerah hampir tidak ada lagi. Para pejabat di daerah dapat bertindak sesuka hati sendiri, dan kalaupun ada pemeriksa datang dari kota raja, pemeriksa itu tentu melaporkan yang baik-baik saja ke pusat karena dia sudah menerima suapan dari para pejabat daerah. Dalam keadaan pemerintah lemah seperti itu, di daerah selalu timbul pergolakan, gerombolan-gerombolan pemberontak bermunculan, gerombolan-gerombolan penjahat juga saling memperebutkan kekuasaan. Makin nampaklah oleh Shu Ta bahwa saatnya hampir masak untuk mengadakan pemberontakan besar-besaran yang pasti akan mampu menggulingkan pemerintah yang sedang dalam keadaan lemah itu. Apa lagi pemerintahan penjajah yang memiliki pamong praja yang korup itu amat dibenci rakyat, karena para pejabat itu melakukan penekanan, penindasan dan penghisapan. Pemerintah yang para pejabatnya korup, mementingkan kesenangan sendiri, di mana terjadi perebutan kekuasaan, pemerintah yang tidak disuka oleh rakyat jelata, condong untuk mudah berantakan dan roboh. Hanya pemerintah yang dipimpin oleh mereka yang benar-benar mencinta negara dan bangsa, mereka yang adil dan jujur, tidak korup, yang memiliki pasukan yang kokoh kuat dan taat serta setia, yang didukung oleh rakyat jelata, pemerintah seperti itu yang akan berhasil memajukan kehidupan rakyat dan memperkuat negara ddan pemerintahannya.

Hubungan Shu Ta yang kini disebut Shu-Ciangkun (Panglima Shu) dan kakak beradik Bouw semakin baik dan biarpun mereka tinggal saling berpisah jauh, karena kakak beradik itu tinggal di Peking, namun mereka sering saling memberi kabar dan setiap kali ada kesempatan, mereka saling bertemu, terutama kalau kakak beradik itu pergi ke Nan-king.

Kita tinggalkan dulu Shu Ta yang kini telah menjadi seorang panglima muda yang dipercaya di Nan-king, yang mendiami sebuah gedung dan memiliki belasan orang pengawal dan pelayan walaupun dia masih hidup membujang. Shu Ta sama sekali tidak tahu bahwa beberapa bulan kemudian setelah dia menjadi panglima di Nan-king, terjadi kegemparan dengan adanya berita tentang seorang pemberontak yang telah melakukan pembunuhan terhadap seorang perwira yang bertugas di Wu-han, bahkan gambarnya dipasang di mana- mana agar orang-orang mengetahui dan membantu pemerintah menangkap pembunuh itu.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal gambar itu sebagai suhengnya, Cu Goan Ciang! Akan tetapi tentu saja dia pura-pura tidak tahu, hanya memesan kepada semua anak buahnya bahwa kalau mereka sampai dapat bertemu dengan “pembunuh” itu, agar jangan dibunuh akan tetapi ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya. Orang itu amat penting, harus ditangkap dan dibawa membuka rahasia para pemberontak, demikian katanya, maka tidak boleh dibunuh dan dihadapkan kepadanya hidup-hidup. Tentu saja perintah ini dikeluarkan untuk melindungi Goan Ciang agar jangan sampai terbunuh.

Pada suatu pagi, seorang pemuda dusun yang nampak bodoh dan lugu, memasuki pintu gerbang kota Nan-king bersama seorang pemuda lain yang agak jangkung, juga seorang dusun yang kelihatan bodoh dan bermata sipit, jenggot dan kumisnya kacau tak terpelihara. Tidak ada seorangpun yang akan mengenal mereka, karena wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali dari keadaan asli mereka. Mereka adalah Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang melakukan penyamaran sebagai dua orang dusun yang bodoh dan sederhana seklai. Siapa akan mengira bahwa pemuda jangkung yang mukanya buruk dan licik, juga nampak amat bodoh itu, adalah Cu Goan Ciang yang baru saja menggegerkan Wu-han karena dia telah membunuh seorang perwira tinggi dan beberapa orang prajurit? Wajah aslinya tampan dan gagah, akan tetapi sekarang dia kelihatan seperti seorang pemuda dusun yang bodoh. Adapun pemuda ke dua yang nampak muda dan juga bodoh itu, lebih mengagumkan lagi kalau orang melihat wajah aslinya. Ia adalah seorang gadis yang cantik jelita, lincah jenakan, bahkan ia adalah wakil ketua umum dari Hwa I Kaipang yang terkenal! Adapun Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantunya.

Dua orang pimpinan Hwa I Kaipang ini sengaja menyamar dan memasuki Nan-king untuk menyelidiki tentang Hek I Kaipang yang kini agaknya diperalat oleh pemerintah Mongol, menjadi antek Mongol. Mereka ingin menyelidiki sampai berapa jauh hubungan atau persekongkolan antara Hek I Kaipang dengan para pembesar Mongol sehingga perkumpulan pengemis itu tega untuk mengkhiananti golongan sendiri, membantu para prajurit untuk menyerang Hwa I Kaipang.

Tidak sukar bagi kedua orang itu untuk membaur dengan banyak orang yang keadaannya mirip mereka. Di kota Nan-king memang setiap hari berdatangan penduduk dusun untuk menjual hasil sawah ladang mereka. Ratusan orang banyaknya, datang dari berbagai dusun di sekitar Nan-king. Para penghuni dusun ini seperti keadaan mereka berabad-abad yang lalu, masih sama saja. Rajin bekerja, sederhana, kurang akal sehingga hasil merekapun amat sederhana, namun agaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sederhana pula. Setiap hari atau beberapa hari sekali, setelah memetik hasil ladang mereka, para petani ini berangkat dari dusun pada pagi hari sekali, bahkan yang jaraknya agak jauh berangkat malam- malam, membawa obor di tangan, memikul barang dagangan berupa sayur mayur, buah- buahan dan sebagainya, untuk dibawa ke kota Nan-king dan tidak kesiangan tiba di pasar, di mana banyak orang berbelanja. Setelah dagangan mereka habis, biasanya mendapatkan uang tidak berapa banyak untuk ukuran orang kota, mereka menghabiskan pula uang itu untuk berbelanja bermacam keperluan, baju baru, sepatu atau makanan yang tidak terdapat di dusun untuk anak mereka. Mereka tidak tahu betapa hasil ladang mereka yang didapat dengan cucuran keringat ketika menanam, merawat, kemudian memtik dan memikulnya ke pasar, diharbai semurah-murahnya oleh orang kota, tidak tahu pula bahwa barang-barang yang mereka beli dari orang kota, dihargai amat mahal. Orang bodoh selalu menjadi makanan orang pintar, pada hal, sepantasnya orang pintar menjadi guru orang bodoh, orang kaya menjadi penderma orang miskin, orang kuat menjadi pelindung orang lemah dan selanjutnya. Sayang keadaan di dunia tidaklah demikian adanya. Yang kuat menindas yang lemah, yang pintar menipu yang bodoh, yang kaya merendahkan yang miskin.

Cu Goan Ciang yang menggunakan nama baru Hung Wu bersama Tang Hui Yen yang memakai nama Siauw Yen, memasuki pasar di mana terdapat banyak orang dusun. Mereka tadi telah membeli lima buah kue bakpouw untuk sarapan pagi. Mereka, seperti orang-orang dusun itu, tidak malu untuk makan bakpouw di tepi jalan, mendorong makanan itu ke dalam perut dengan air teh yang mereka bawa sebagai bekal, seperti kebiasaan orang-orang dusun pula. Hung Wu menghabiskan tiga buah bakpouw, masih menerima sepotong pula dari Siauw Yen karena gadis yang kini menjadi pemuda remaja itu hanya mampu menghabiskan satu setengah saja.

Mereka kini sengaja menghampiri sekelompok pengemis yang berkeliaran di dalam pasar, minta sedekah. Mereka melihat bermacam pengemis, dari yang tua sampai yang muda dan kanak-kanak, akan tetapi mereka itu adalah pengemis biasa, yaitu mereka yang hidupnya terlantar dan tidak termasuk pengemis yang berorganisasi. Tidak nampak seorangpun pengemis yang berpakaian hitam-hitam, yaitu anggota Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Diam-diam mereka berdua merasa heran. Mereka tahu bahwa Hek I Kaipang berpusat di Nan-king, dan merupakan perkumpulan pengemis yang berkuasa di Nan- king. Akan tetapi kenapa di kota Nan-king sendiri tidak nampak seorangpun pengemis anggota Hek I Kaipang?

Tiba-tiba Siauw Yen menyentuh tangan Hung Wu dan berbisik, “Hung-twako, kita ikuti dua orang anak itu.”

Hung Wu memandang dan melihat dua orang anak jembel yang tadinya dia lihat menghitung- hitung uang receh berkeping-keping kini berjalan keluar melalui pintu belakang pasar. Dia tidak tahu mengapa Siauw Yen mengajak dia mengikuti dua orang anak itu, akan tetapi dia tidak membantah dan dengan langkah santai agar tidak kentara mereka mengikuti dua orang anak-anak yang keluar dari dalam pasar melalui pintu belakang. Dua orang anak laki-laki berusia antara dua belas sampai lima belas tahun itu keluar dari pintu menuju ke sebuah jembatan. Di tebing dekat jembatan, bagian bawahnya, nampak seorang laki-laki setengah tua sedang duduk dan kini Hung Wu dan Siauw Yen memandang penuh perhatian karena laki- laki itu adalah seorang anggota Hek I Kaipang! Dua orang anak laki-laki itu menghampiri pengemis baju hitam yang menyambut mereka dengan mata melotot dan sikap bengis.

“Paman, kalau boleh, hari ini setoranku kukurangi tiga keping, besok akan kutambahkan tiga keping. Adikku sakit dan aku ingin membelikan buah yang segar untuknya,” kata anak yang lebih kecil dengan suara memohon. Sedangkan anak yang lain sudah menyerahkan uang yang dihitung oleh pengemis itu, jumlahnya sepuluh keping.

“Apa?” Si pengemis melotot dan membentak. “Kalau ingin mendapatkan penghasilan lebih, bekerjalah lebih giat! Tidak boleh potong, kalau setoranmu kurang, jari tanganmu yang akan kupotong!”

Anak itu menjadi ketakutan dan biarpun dia cemberut, dia menyerahkan semua uangnya yang jumlahnya juga hanya sepuluh keping. Setelah pengemis itu menerima uang mereka, kedua orang anak jembel itu pergi. Kemudian berdatangan para pengemis yang tadi dilihat oleh Hung Wu dan Siauw Yen di pasar, dan mereka semua menyetorkan uang kepada anggota Hek I Kaipang itu.

Hung Wu dan Siauw Yen saling pandang. Tanpa bicarapun mereka mengerti sekarang mengapa mereka tidak melihat seorangpum anggota Hek I Kaipang mengemis di kota Nan- king. Kiranya mereka itu sekarang bukan lagi mengemis sendiri melainkan menjadi pemeras para pengemis. Para pengemis yang melakukan pekerjaan mengemis, dan hasil pekerjaan itu harus disetorkan kepada mereka sebagai semacam “pajak”! Dan orang-orang Hek I Kaipang pasti tidak akan berani melakukan pemerasan seperti itu kalau tidak mendapat restu dari penguasa setempat. Agaknya inilah imbalan Hek I Kaipang membantu pasukan pemerintah untuk memusuhi golongannya sendiri. Mereka mendapatkan kekuasaan tertentu, di antaranya memungut pajak dari para pengemis lain yang bukan anggota Hek I Kaipang.

Hung Wu dan Siauw Yen lalu meninggalkan jembatan itu dan sehari mereka berkeliaran di kota dan melakukan penyelidikan. Akhirnya, mereka mengetahui bahwa benar seperti yang mereka duga, Hek I Kaipang kini benar-benar telah merupakan sebuah perkumpulan yang menjadi antek pemerintah Mongol, telah rela menjual golongan sendiri, bangsa sendiri, demi kemakmuran yang mereka peroleh dari pejabat setempat. Hek I Kaipang yang telah bersekongkol dan menjadi antek Mongol, dan untuk balas jasa, para pejabat tinggi memberi hak kepada mereka untuk memungut pajak para pengemis lain, dan menguasai pula tempat- tempat hiburan, seperti rumah-rumah pelesir, rumah-rumah judi dan lain-lain. Di tempat- tempat hiburan ini, merekapun memungut pajak besar dan tidak ada pengusaha rumah pelesir atau rumah judi yang berani menentang mereka karena di belakang para pengemis ini berdiri pembesar setempat. Tentu saja, Hek I Kaipang memperoleh penghasilan besar, pemasukan uang secara mudah sekali.

Lewat tengah hari, Hung Wu dan Siauw Yen mengaso di sebuah taman di kota, duduk di bangku. Mereka merasa lelah, juga marah, melihat betapa perkumpulan pengemis Hek I Kaipang kini jelas menjadi antek pemerintah dan kini mereka tahu mengapa Hek I Kaipang menyerang Pek Mau Lokai.

“Sungguh aneh,” kata Siauw Yen. “Dahulu Hek I Kaipang merupakan rekan dari Hwa I Kaipang, bahkan para pimpinan Hek I Kaipang adalah sahabat-sahabat baik kakekku. Apa lagi setelah ketua Hek I Kaipang yang baru adalah murid keponakan kakek sendiri, hubungan di antara kedua perkumpulan amat baik, bahkan bekerja sama dalam menentang pemerintah penjajah Mongol. Akan tetapi, sejak Coa Kun itu menjadi ketuanya, terjadi perubahan. Dan sekarang, kita melihat sendiri betapa Hek I Kaipang benar-benar menjadi antek dan bahkan mendapatkan kekuasaan di Nan-king. Hal ini berbahaya sekali.”

“Kurasa, jalan satu-satunya untuk melemahkan penjajah adalah menguasai Hek I Kaipang. Kurasa, para anggota Hek I Kaipang hanya terbawa oleh ketuanya, kalau kita mampu mengambil alih kepemimpinan atas para anggota Hek I Kaipang, kita dapat mengubah kemudi dan mengarahkan Hek I Kaipang kepada perjuangan.”

Posting Komentar