ketakutan.
Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum. Mereka menyimpan kembali pedang mereka yang tidak bernoda darah. “Hemmm, katakan yang jujur, kalian tadi menghadang kami untuk melakukan perampokan, ataukah kalian ini orang-orang yang mengaku pejuang dan hendak membunuh kami karena kami adalah orang-orang Mongol?”
“Mengaku yang jujur kalau kalian ingin hidup!” Mimi membentak dengan nada mengancam. “Ampun, kongcu dan siocia....kami kami melihat dua ekor kuda ji-wi (kalian berdua) dan
pakaian yang indah...kami....kami perampok. ”
Bouw Ku Cin mengangguk-angguk, “Hemm, sudah kami duga. Kalian hanyalah perampok- perampok kecil yang mengaku sebagai pejuang. Begitukah? Ataukah kalian ini pejuang- pejuang yang melakukan perampokan?”
“Kami...kami hanya perampok. ”
“Dan mengaku pejuang?” “Be...benar ”
“Manusia hina!” bentak Mimi. “Orang macam kalian ini sebenarnya tidak pantas hidup. Kalian mengotorkan nama pejuang juga kalian mengacaukan keamanan dan mengganggu rakyat. Kalian hanya merugikan semua pihak.”
“Ampun, siocia....ampun kongcu. ” Dua orang itu berlutut dan membentur-benturkan dahi ke
atas tanah, ketakutan.
“Pergilah! Sekali lagi kami melihat engkau merampok dan mengaku pejuang, kami tidak akan mengampunimu lagi. Pergi!”
Dua orang perampok itu mengangguk-angguk, lalu bangkit berdiri dan melarikan diri dengan cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di dekat semak belukar, nampak bayangan orang berkelebat dan sinar pedang berkilat menyambar. Dua orang perampok itupun roboh dan tewas seketika.
Kakak beradik Mongol itu terkejut dan ketika mereka memandang penuh perhatian mereka mengenal Shu Ta yang sudah menyarungkan kembali pedangnya. Mereka saling memandang dengan pemuda yang telah mereka kenal itu.
“Saudara Shu Ta, kami sudah mengampuni mereka berdua, kenapa engkau membunuh mereka?” tegur Mimi dengan alis berkerut.
“Orang-orang macamm mereka itu harus dibasmi. Mereka itulah yang mencemarkan nama baik para pejuang, membuat para pejuang dipandang rendah sebagai penjahat-penjahat rendah. Penjahat-penjahat seperti mereka mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat, memaksakan kehendak mereka, merampok dan membunuh.”kata Shu Ta. Bouw Kongcu dan Mimi tidak berkata-kata lagi, dan Bouw Kongcu lalu mengambil sebatang golok besar milik para perampok yang tercecer, kemudian mempergunakan golok besar itu untuk menggali tanah. Shu Ta memandang dengan heran. Ketika melihat Bouw Siocia juga mengambil sebatang golok dan membantu kakaknya tanpa bicara, Shu Ta merasa semakin heran.
“Eh, apa yang kalian lakukan?” tanyanya menghampiri.
Bouw Kongcu menghentikan pekerjaannya, mengangkat muka memandang kepada Shu Ta lalu berkata, “Menggali lubang untuk mengubur dua mayat itu, apa lagi kalau bukan untuk itu?”
“Tapi....tapi mereka itu penjahat yang tadi hendak merampok dan membunuh kalian!” Shu
Ta berseru heran dan kaget.
“Kalau begitu, mengapa?” kata Bouw Siocia. “Mereka memang jahat, selagi masih hidup tadi! Kini, mayat mereka tidak dapat kita anggap jahat, dan kalau dibiarkan membusuk tanpa dikubur, hanya akan mengotorkan tempat ini dan akan mengganggu orang-orang hidup yang kebetulan lewat di sini.” Kakak beradik itu sudah melanjutkan penggalian mereka. Shu Ta merasa kagum bukan main. Dalam keadaan biasa saja, mana ada dua orang muda bangsawan, putera dan puteri Menteri Besar Bayan, mau menggali lubang kuburan mempergunakan golok saja? Apa lagi sekarang mereka menggali lubang untuk mengubur mayat dua orang perampok yang tadi menyerang mereka untuk merampok dan membunuh! Diapun merasa malu kepada diri sendiri, dan tanpa banyak cakap lagi diapun mengambil sebatang golok dan ikut menggali membantu mereka!
Setelah lubang cukup besar dan mereka mengubur dua sosok mayat itu, ketiganya duduk melepas lelah. Bouw Siocia atau Mimi menghapus keringat di lehernya dengan sehelai sapu tangan yang dibasahi ketika tadi ia dan kakaknya dan Shu Ta mencuci tangan di sumber air yang terdapat tak jauh dari situ.
Ketika tadi ikut menggali lubang, diam-diam Shu Ta berpikir bahwa apa yang diucapkan kakak beradik bangsawan Mongol tadi benar. Perjuangan mempunyai lapangan yang luas sekali. Bukan sekadar membenci orang Mongol, bukan sekadar memberontak dengan kasar, atau lebih-lebih lagi bukan dengan cara merampok seperti yang dilakukan para perampok itu. Dia seorang diri saja, menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bagaiman mungkin mampu berjuang, apa lagi kalau perjuangan itu bercita-cita mengusir penjajah dari tanah air?
Menghimpun tenagapun tidak merupakan hal yang mudah. Setelah bertemu kakak beradik Mongol ini, timbul suatu gagasan yang dianggapnya baik dan merupakan satu cara untuk berjuang yang lebih banyak harapannya untuk berhasil. Perjuangan yang dilakukan secara halus, yaitu menyusup ke dalam sarang musuh! Dia dapat mencari kedudukan di pemerintahan Mongol sehingga banyak hal yang menguntungkan para pejuang akan dapat dilakukan. Kalau dia bisa mendapatkan kedudukan yang baik di pemerintahan Mongol, yang sudah jelas dia dapat mengatur agar rakyat tidak terlalu ditindas oleh peraturan-peraturan yang mencekik dan memeras rakyat. Selain itu, dia dapat mengetahui keadaan dan kekuatan pemerintah Mongol, dan kelak kalu terjadi penyerbuan para pejuang, dia dapat membantu dari dalam! Tentu saja keadaan itu jauh lebih baik dari pada ka lau dia berada di luar dan hanya mampu melakukan gangguan-gangguan kecil.
Shu Ta memandang kepada mereka. Justeru pada saat itu, pemuda dan gadis bangsawan itu sedang memandang kepadanya, sehingga pandang mata mereka saling bertemu. “Sungguh aku merasa kagum kepada kalian berdua, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia. Apa yang kalian lakukan tadi, mengubur dua jenazah itu, membuat aku sadar bahwa kalian, biarpun bangsawan-bangsawan muda Mongol, adalah orang-orang yang berbudi baik!”
“Saudara Shu Ta, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan manusia baik atau buruk itu, yang ada hanyalah manusia hamba nafsu dan manusia yang menjadi majikan diri dari nafsunya sendiri. Kami kakak beradik selalu akan berusaha agar tidak menjadi hamba nafsu, sehingga perasaan prikemanusiaan tidak akan luntur dari hati kami. Hanya nafsu yang membeda- bedakan antara agama, agama, bangsawan atau tidak, martabat tinggi atau rendah.”
“Ucapan-ucapan Bouw Kongcu seolah keluar dari mulut seorang pendeta saja, dan membuat aku merasa kagum. Sekarang agaknya sikap kalian mendatangkan perubahan dalam pandanganku. Aku tidak lagi berani memandang rendah manusia Mongol atau bangsawan apapun juga, karena pada hakekatnya manusianya sama. Maukan kalian membantuku mencarikan pekerjaan yang sesuai untukku di Nan-king? Tentu kalian mempunyai hubungan yang luas dan sekiranya dapat membantuku mencarikan pekerjaan, aku akan berterima kasih sekali.”
Kakak beradik itu saling pandang dan Mimi bertanya sambil mengerutkan alisnya. “Apa yang kudengar ini, saudara Shu Ta? Engkau yang tadinya membenci Mongol kini malah hendak mengabdikan diri kepada pemerintah Mongol, pemerintah penjajah yang tadinya kaukutuk?”