"Minumnya, Nona? Arak?"
"Tidak, cukup air teh saja."
"Baik, Nona."
Pelayan itu lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kwi Hong. Tiba-tiba dari meja sebelah terdengar orang berbisik-bisik. Ketika Kwi Hong melirik, dia melihat tiga orang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun saling berbisik dan tersenyum-senyum. Jangan-jangan mereka akan bersikap kurang ajar, pikir Kwi Hong. Akan tetapi ia bersikap tenang saja dan berpura-pura tidak melihatnya. Akhirnya, benar seperti yang ia duga, seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, bangkit berdiri dan meng"hampiri, berdiri di depannya dan berkata sambil sedikit membungkuk,
"Nona, makan seorang diri sungguh tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Nona kami undang makan bersama kami? Kebetulan kami hanya bertiga, dan meja kami masih dapat menerima seorang lagi. Silakah, Nona. Pesanan Nona biar diantar ke meja kami."
Kwi Hong mengerutkan alisnya. Seorang pria yang tidak dikenal menegur seorang gadis, apalagi mengundang makan, sudah merupakan hal yang tidak wajar. Akan tetapi karena laki-laki jangkung kurus ini bersikap sopan, ia pun menahan kemarahannya.
"Tidak, terima kasih. Aku ingin makan sendirian saja dan harap jangan mengganggu aku."
Mendengar jawaban ini, laki-laki tinggi kurus itu hanya senyum-senyum agak malu karena penolakan itu didengar oleh para tamu lain. Akan tetapi seorang di antara kawan-kawannya, yang bertubuh gendut dan bermuka merah karena terlalu banyak minum arak, berkata dengan suara mengejek,
"Aih, nona manis, harap jangan menjual mahal! Kami adalah pemuda-pemuda hartawan yang mampu membayar pesanan makanan apa saja yang Nona sukai!"
Mendengar ucapan kurang ajar ini, sekali melompat Kwi Hong sudah berada di dekat si gendut itu.
"Apa yang kaukatakan?"
Bentaknya. Laki-laki gendut itu agaknya tidak tahu diri atau dia sudah terlalu mabuk.
"Ha-ha-ha, aku bilang jangan jual mahal, nona manis, aku...."
Tiba-tiba tangan kiri Kwi Hong bergerak menjambak rambut kepala pria itu dan membenamkan mukanya pada panci terisi kuah panas di depannya.
"Haepp....haeppppp....!"
Laki-laki itu gelagapan dan setelah Kwi Hong melepaskan jambakannya, laki-laki itu melonjak-lonjak kepanasan karena mukanya seperti dibakar, matanya tidak dapat dibuka. Kwi Hong sudah duduk kembali ke depan mejanya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa dua orang Laki-laki teman si gendut menjadi marah melihat teman mereka diperbuat seperti itu oleh Kwi Hong. Mula-mula dua orang itu menolong si gendut, mencuci dan membersihkan mukanya yang menjadi semakin merah seperti udang direbus dan ketika dia sudah mampu membuka matanya, kedua matanya menjadi sipit dan kemerahan. Kemudian dua orang itu meloncat ke depan meja Kwi Hong dengan sikap marah.
"Nona, engkau kejam sekali! Berani engkau menghina kami? Kami adalah murid-murid dari Pek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Putih)!"
Melihat kedua orang itu kini nampak"nya marah kepadanya, Kwi Hong tersenyum mengejek.
"Tidak peduli kalian dari perguruan Harimau Putih atau Harimau Belang, siapa berani menghinaku pasti akan kuhajar! Masih untung aku tidak menghancurkan mulutnya!"
"Engkau sombong!"
Kata orang yang tubuhnya pendek besar dan dia sudah mengayun tangannya untuk menampar muka Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong sudah mengelak sambil duduk dan sekali kakinya menendang, orang itu pun terjengkang dan mengaduh karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas terkena tendangan ujung kaki yang bersepatu hitam itu. Si tinggi kurus kini menerjang maju dengan kedua tangannya, agaknya hendak menangkap Kwi Hong.
Akan tetapi Kwi Hong tetap duduk di atas kursihya dan ketika kedua tangan itu datang ia sudah menggerakkan kedua tangannya menotok ke arah pergelangan tangan, lalu kembali kakinya menendang ke depan. Si tinggi kurus merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kaku dan sebelum dia sempat mengelak, tahu-tahu kaki gadis itu sudah menendangnya dan dia pun terjengkang ke belakang seperti si pendek besar. Kini si gendut sudah dapat bangkit. Dia menghunus sebatang pedang dari atas meja, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, Kwi Hong sudah menyambar sebatang sumpit dan sekali sambit, pemuda gendut itu mengaduh-aduh dan pedangnya jatuh ke lantai. Ternyata lengan kanannya sudah ditembusi sumpit itu! Dua orang kawannya terkejut, akan tetapi sebelum mereka mencabut pedang, Kwi Hong menggertak,
"Kalau kalian nekat, sumpit-sumpit ini akan menembus jantung kalian!"
Berkata demikian, dia melemparkan sumpit ke arah tembok dan dua batang sumpit itu menancap sampai, setengah lebih ke dalam tembok! Melihat ini, dua orang itu terbelalak dan tidak jadi mencabut pedang mereka, lalu menarik kawan si gendut yang terluka dan larl dari rumah makan itu. Terdengar teriakan si gendut.
"Nona kejam, kalau engkau memang gagah, tunggu pembalasanku!"
Akan tetapi Kwi Hong duduk kembali seolah tidak ada terjadi sesuatu dan ketika hidangan yang dipesannya tiba, ia segera makan dengan sikap tenang sekali.
Para tamu lain yang menyaksikan peris"tiwa itu, segera bicara sendiri membicarakan gadis yang mereka anggap hebat luar biasa itu. Semua orang di Tung-san mengenal siapa murid-murid perguruan Harimau Putih yang suka bersikap ugal-ugalan mengandalkan perguruan mereka yang memiliki banyak murid dan guru mereka yang terkenal dengan julukan Pek-houw-eng (Pendekar Harimau Putih)? Tidak ada yang berani menentang mereka. Para murid itu bukan orang-orang jahat dan tidak pernah melakukan kejahatan, hanya sikap mereka ingin menang sendiri saja dan tidak mau ditentang, seolah mereka yang menguasai kota Tung-san. Tidak jauh dari situ, di tengah-tengah itu, sejak tadi seorang pemuda memperhatikan peristiwa itu dan melihat betapa gadis itu menghajar tiga orang tadi, dia tersenyum-senyum puas.
Pemuda itu seorang pemuda yang berusia antara dua puluh atau dua puluh satu tahun. Pakaiannya sederhana, akan tetapi wajahnya tampan dan gagah. Tubuhnya sedang saja, matanya lebar, hidung mancung dan mu"lutnya ramah selalu dihias senyum. Dagu"nya agak berlekuk sehingga menambah kejantanannya. Siapakah pemuda gagah tampan sederhana ini? Dia bukan lain adalah Tao Keng Han. Seperti kita ketahui, Keng Han terjebak di pulau kosong, tidak dapat meninggalkan pulau karena tidak ada perahu. Akan tetapi dia pun tidak ingin meninggalkan pulau itu sebelum dia menguasai ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang dia temukan tergores pada dinding sebuah ruangan bawah tanah. Dia melatih diri dengan Hui-yang Sin-kang dan Swat"im Sin-kang, dua tenaga sakti yang sifatnya panas dan dingin,
Dan dia dapat menguasai ilmu ini karena dalam tubuhnya sudah terdapat kekuatan dahsyat yang sifatnya dingin dan panas itu. Dengan menguasai dua ilmu sinkang itu, dia kini dapat mengendalikan dua tenaga sakti dalam tubuhnya. Hampir tiga tahun dia hanya melatih diri dengan dua ilmu pengerahan tenaga sakti ini. Setelah dia berhasil baik, barulah dia melatih dua ilmu silat yang terdapat di dinding itu, yaitu ilmu silat Toat-beng Bian-kun yang sifatnya lemas namun mengandung kekuatan dahsyat sekali dan kedua adalah Hong In Bun-hoat yang halus dan nampak indah seperti orang menari sambil menuliskan huruf, akan tetapi mengandung daya serangan yang luar biasa hebatnya. Dua tahun dia menghabiskan waktu untuk melatih ilmu ini dengan baik sehingga tanpa terasa lagi dia sudah lima tahun tinggal di Pulau Hantu itu.
Setelah dia menguasai semua ilmu itu, dia lalu menggunakan, sebatang golok untuk merusak dinding itu sehingga coretan huruf-huruf itu lenyap dan rusak. Dia tidak ingin ilmu itu kelak dipelajari orang lain, apalagi dipelajari orang jahat. Ilmu itu terlalu hebat dan kalau terjatuh ke tangan orang jahat tentu akan membahayakan dunia. Selama lima tahun, dia hanya makan jamur laut, Ikan laut, dan daging ular serta sayur-sayuran aneh dan buah-buahan aneh pula. Tanpa disadarinya sendiri, makanan yang dimakannya se"lama lima tahun itu memberinya kekuatan yang hebat pula. Dia tidak menyadari bahwa dia kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki kekuatan yang amat dahsyat!
Kini, setelah semua ilmu habis dipelajari timbul keinginannya untuk meninggalkan pulau itu. Dia lalu menggunakan golok menebang pohon yang cukup besar, dan membuat perahu sedapatnya sehingga jadilah sebuah perahu kecil yang sederhana sekali. Untuk layarnya, dia menggunakan kain-kain sutera yang dulu dikumpulkan dari milik para perampok. Juga dia membuat dayung dari kayu. Setelah perahu itu jadi, Keng Han lalu membawa pakaian yang dibuatnya sendiri, dan mulailah dia berlayar meninggalkan pulau itu. Ketika dia mendorong perahu itu ke air, beberapa ekor ular merah menyerangnya, akan tetapi sambil tertawa dia menggunakan tangannya menyampok ular-ular itu yang baginya kini sama sekali tidak berbahaya lagi. Bahkan biasanya ular-ular itu dia tangkapi untuk dimasak dagingnya!
Demikianlah, setelah berhasil mendarat di pantai, meninggalkan pulau itu dengan selamat, mulailah Keng Han melakukan perjalanan, menuju ke kota raja. Dia hendak mencari ayahnya! Dan dalam perjalanan inilah dia tiba di kota Tung-san. Ketika dia mendarat, dia segera membuat pakaian yang biasa, membeli dari toko dan untuk itu dia memiliki banyak emas dan perak. Segera dia berganti pakaian dan membuang pakaian buatan sendiri yang amat sederhana seperti jubah pendeta itu. Selama dalam per jalanan, dia tidak pernah mengalami gangguan karena penampilannya sebagai pemuda biasa dan sederhana. Ketika dia lapar dan memasuki rumah makan di Tung-san itu, dia menyaksikan peristiwa yang terjadi di antara gadis cantik jelita itu yang menghajar tiga orang pemuda berandalan dan dia tersenyum kagum. Jarang ada gadis yang demikian pemberani dan lihai pula,
Apalagi gadis itu agaknya puteri seorang bangsawan atau hartawan, melihat dari pakaiannya. Keng Han menjadi kagum, akan tetapi tidak seperti para pria lain, dia menyembunyikan kekagumanya dan dengan hati geli mendengar betapa orang"orang di beberapa meja itu saling beri bisik memuji-muji kelihaian dan kecantikan gadis itu. Akan tetapi pemilik rumah makan merasa khawatir sekali, bukan saja khawatir akan keselamatan gadis itu, juga terutama sekali khawatir kalau-kalau rumah makannya akan menjadi medan pertempuran sehingga akan merugikan isi rumah makan dan membikin takut para langganannya. Dia tidak ingin terjadi pertempuran besar di situ, apalagi sam"pai pembunuhan. Maka dia segera meng"hampiri Kwi Hong yang sedang makan dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
"Maafkan kalau saya mengganggu Nona yang sedang makan."
Katanya dengan jerih. Kwi Hong yang sedang makan itu mengerutkan alisnya dan menoleh sedikit ke arah orang itu.