Pikiran Lie Cun Ju melayang-layang. Berpikir sanipai di sini, dia menjadi geli sendiri. Karena tadi dia masih tidak mempercayai apa yang dinamakan Buddha hidup menjelma kembali segala macam, sekarang dia bahkan mempunyai minat untuk men¬jadi pemimpin mereka. Lie Cun Ju segera mem-huang pikiran itu jauh-jauh.
"Tadi Taisu mengatakan bahwa benar atau tidakoya penjelmaan Buddha hidup harus meialui pengujian. Entah dengan cara bagaimana Taisu mengujinya?"
"Kami mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang merupakan penjelmaan Buddha hidup tidak mengingat kembali masa lampaunya. Meskipun demikian, pasti ada tertinggal naluri yang tajani akan benda kesukaannya seniasa hidup. Sedangkan semasa hidup Buddha hidup, beliau sangat meriyukai sebuah kitab. Boleh dikatakan kitab itu tidak pernah terpisah darinya sedetik pun. Di dalam kuil, kami sudah menyiapkan dua puluh kitab yang dilihat dari iuar bentuknya sama. Anda hanya boleh memilih satu di antaranya dan hanya dengan sekali gerakan saja. Apabila pilihan Anda benar, maka tidak diragukan lagi bahwa Andalah penjelmaan Buddha hidup kami dan akan men-dapat sanjungan dari seluruh umat kuil kami."
Mendengar keterangan pendeta itu, Lie Cun Ju langsung tertawa getir. Dalam dua puluh kitab yang bentuknya dari Iuar sama semua, dalam sekali gerak harus mengambil satu yang tepat. Memangnya itu pekerjaan mudah? Lebih baik iupakan saja ingatan ingin menjadi pemimpin mereka. Toh ia sudah mendapatkan keuntungan besar dari pendeta tua itu. Mengapa masih timbul niat serakah dalam hati? Lagipula, seandainya ia menjadi pimpinan mereka, bukankah ia harus men-cukur kepalanya dan tidak boleh menikah seumur hidup. Mana mungkin dia sanggup melepaskan Tao Ling yang demikian ia cintai? Pikirnya dalam hati.
Karena itu Lie Cun Ju tidak mengajukan per-tanyaan lagi. Tampak pendeta tua itu member! isyarat dengan gerakan tangan. Belasan pendeta segera muncul dan mengajak Lie Cun Ju naik ke atas rakit. Pendeta tua dan kedua rekannya pun ikut keluar. Daiam waktu yang slngkat mereka sudah membereskan tenda besar itu dan menempuh perjalanan.
Lie Cun Ju melihat setiap pendeta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Sebetulnya di dalam sebuah aliran keagamaan, seperti Siau lim si, memang terdapat sebagian tokoh berilmu tinggi. Tetapi kalau setiap pendetanya semua berilmu tinggi, hal ini belum pernah ditemuinya.
Tiba-tiba Lie Cun Ju teringat kata-kata pendeta tua tadi. Bahwa semasa hidupnya Buddha hidup senang sekali terhadap sebuah kitab yang siang malam tidak pernah terpisah darinya. Kalau menurut teorinya, seorang Buddha hidup memang harus mempunyai pengetahuan yang lebih luas daripada yang lainnya. Karena itu, sebuah kitab saja tidak mungkin bisa menambah seberapa banyak pengetahuannya. Tetapi menurut cerita pendeta tua tadi, justru hanya satu kitab itu yang siang malam selalu dibaca oleh Buddha hidup semasa hidupnya. Mungkinkah kitab itu berisi ilmu pintu Buddha yang mengandung kesaktian sehingga Buddha hidup itu terus membaca untuk memahaminya?
Lie Cun Ju hanya berpikir selintasan saja. Dia sadar dirinya toh tidak mungkin bisa mendapatkan kitab itu. Buat apa dia memusingkan kepalanya sendiri?
Tentu saja apabila kebetulan dia berhasil memilih kitah yang betul dari dua puluh kitab yang disediakan, bukan saja kitab itu menjadi miliknya, malah dia akan diangkat menjadi pemimpin agama mereka.
Tapi, bukankah harapan itu terlalu tipis?
Sementara itu seratus lebih pendeta berjubah kuning sudah mulai melanjutkan perjalanan. Satu hari kemudian mereka sudah sampai di sebuah tempat yang tampaknya seperti kaki gunung. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kira-kira di hari keempat mereka sudah sampai di atas puncak sebuah gunung. Lie Cun Ju mencoba melihat ke bawah. Hatinya langsung ter-eekat. Ternyata di tengah-tengah terdapat sebuah lembah yang luasnya sulit diperkirakan. Sebagian dari lembah itu merupakan sebuah danau. Airnya bukan main jernihnya. Bahkan pegunungan di sekitarnya dapat terlihat jelas di permukaan air itu. Ditambah lagi langit yang biru. Benar-benar merupakan sebuah panorama alam yang indah sekali.
Di tepi danau tumbuh berbagai jenis bunga-bunga liar. Ada beberapa ekor rusa yang sedang bermain-main di sekitar danau. Lie Cun Ju merasa dirinya berada di nirwana. Tidak jauh dari danau itu tampak sebuah kuil yang mentereng. Dari luar-nya saja sudah berkesan angker dan timhul rasa hormat.
Lie Cun Ju rnemperhatikan keadaan di sekirar tempat itu sejenak, Diam-diam dia berpikir dalam hati. Andaikata bisa hidup di tempat yang demikian indah meskipun hanya sebagai seorang kacung, rasanya jauh lebih baik daripada hidup di dunia bu lim yang setiap saat menghadapi bahaya hesar dan perebutan nama kosong.
Hatinya merasa kagum sekali.
“Taisu apakah itu kuil kalian?” Tanya Lie Cun Ju
Pendeta tua itu menganggukkan kepalanya. Dari kuil terdengar suara pembacaan ayat suci. Kemudian dari dalamnya berjalan ke hiar dua baris lhama dengan membentuk melebar ke samping seperti burung membentangkan sayapnya. Mereka berhenti di depart kuil dan mendongakkan kepalanya menatap ke arah mereka.
Pendeta tua itu menarik nafas panjang. "Agama kami tidak mempunyai pemimpin selama hampir tujuh puluh tahun. Para umat di kuil kami sudah lama sekali mengharapkan datangnya seorang pemimpin yang rnerupakan pen-jelmaan dari Buddha hidup."
"Taisu mempunyai kepandaian yang tinggi, tagipuia meiniliki hati yang vvelas asih serta mementingkan kepentingan umat. Mengapa bukan Taisu saja yang menjadi pemimpin di kuil ini?" tanya Lie Cun Ju.
Mata pendeta tua itu langsung mendelik.
"Mengapa Ci sicu berbicara seenaknya? Kalau bukan penjelmaan Buddha hidup, niana boleh men¬jadi pemimpin di kuil kanii? Lagipula sebetulnya lo ceng hanya seorang pendeta biasa, karena kematian pemimpin yang terdahulu, lama sekali kuil kami tidak mempunyai pemimpin. Lambat laun lo ceng pun menjadi orang yang tertua di dalam kuil ini. Apabila ada suatu urusan, lo ceng lah yang dimin-takan pendapatnya sebagai sesepuh. Tetapi bukan berarti lo ceng boleh mengangkat diri jadi ketua dengan seenaknya."
Mendengar keterangan pendeta tua itu, hati Lie Cun Ju kembali tergerak.
"Kalau begitu, di dalam kuil kalian, sekarang hanya tinggal Taisu sendiri yang pernah mendapat didikan langsung dari Buddha hidup Dan Juel?"
"Tidak. Kedua Coan lun ong juga mendapat didikan langsung dari heliau. Tentu Ci sicu mengira usia mereka belum mencapai tujuh puluhan tahun, bukan? Sedangkan Buddha hidup telah meninggal hampir tujuh puluh tahun yang lalu. Sebetulnya usia keduanya sudah di atas sembilan puluh tahun, hanya saja dulu usia mereka masih terlalu muda. Coan lun ong terdahulu yang ikut mencari bayi penjelmaan Buddha hidup."
"Taisu sekalian memiliki kepandaian yang tinggi. Apakah Buddha hidup juga yang meng-ajarkan ilmu itu?"
"Benar. Agama kami tadinya tidak mengenal latihan pernafasan untuk menghimpun tenaga da lam. Karena itu sering mendapat perlakuan semena-mena dari orang luar. Tetapi sejak Buddha hidup Dan Juel yang memegang tampuk pimpinan, semuanya jadi berubah." Lie Cun Ju hanya menganggukkan kepalanya. Sekarang dia semakin yakin bahwa kitab kesukaan Buddha hidup yang menurut cerita pendeta tua ini tidak pernah terpisah darinya pasti merupakan sebuah kitab pusaka yang isinya mengenai ilmu silat. Ketika pembicaraan berlangsung, keduanya turun dari puncak gunung dan sebentar saja sudah sampai di tepi danau.
Suara pembacaan doa dari kedua baris pendeta itu semakin nyaring. Lie Cun Ju sarna sekali tidak mengerti apa yang dibaca oleh mereka. Tetapi kalau dilihat dari mimik wajah mereka yang seritis terselip keriangan, dia dapat menduga bahwa pendeta-pendeta itu sedang membaca doa penyam- butan atas dirinya.
Lie Cun Ju mengikuti pendeta tua itu masuk ke dalam kuil. Tampak di kedua sisi pendopo terdapat lukisan pada dinding. Lukisan itu seperti mengandung makna Buddha hidup yang sedang mengajar para umatnya. Sedangkan di tengah-tengah pen¬dopo terdapat tiga buah patung besar yang melam- bangkan Trimurti. Suasana di dalam kuil itu terasa sangat berwibawa.
Lie Cun Ju sendiri bukan umat agama Oey kau. Tetapi begitu masuk ke dalam kuil itu, timbul juga rasa hormatnya. Pendeta tua itu mengajak Lie Cun Ju ke ruangan belakang. Ruangan itu sunyi senyap dan hening sekali. Lie Cun Ju ditinggalkan dalam ruangan itu. Pendeta tua meninggalkannya entah kemana. Tidak lama kemudian ada pendeta cilik yang membawa makanan dan minuman untuk Lie Cun Ju.
Selama tiga hari berturut-turut, Lie Cun Ju beristirahat di dalam ruangan itu. Lukanya sudah sembuh sama sekali. Pendeta tua itu juga tidak pernah kelihatan. Sampai hari keempat, terdengar suara genta bertalu-talu, juga terdengar suara ketukan bok hi. Asap hio wangi bertebaran sehingga menimbulkan bau harum di mana-mana. Pendeta tua dan kedua Coan lun ong mengiringi Lie Cun Ju ke pendopo yang luas sekali.
Lie Cun Ju melihat keadaan di pendopo itu gelap gulita. Paling tidak ada lima ratusan pendeta yang menundukkan kepalanya sambil membaca doa. Di atas undakan tangga terdapat sebuah meja dan sebuah kursi. Di atas meja berjejer dua puluh kitab yang bentuknya dan warnanya serupa. Kitab- kitab itu ditempatkan di dalaui sebuah kotak yang bentuknya juga sama.
Pendeta tua dan kedua coan lun ong membawa Lie Cun Ju ke belakang meja. Mereka pun berlutut di kedua sisi pemuda itu. Saat itu di seluruh ru-angan pendopo yang luas itu hanya Lie Cun Ju seorang berdiri.
Dia tahu bahwa hari kelahirannya yang sama dengan Buddha hidup membuat umat-umat agama itu mengira ia sebagai penjelmaan Buddha hidup. Sekarang, apabila dia berhasil memilih kitab yang tepat dari antara dua puluh kitab yang berjejer di depannya itu, maka ia akan segera diangkat men-jadi pemimpin kuil ini. Karena itu, bagi para umat agama itu, detik-detik sekarang justru penting sekali bagi kelanjutan agama mereka.
Pendeta tua itu berlutut di sisinya. Tidak lama kemudian, ia mengangkat tangannya ke atas. Suara genta, pembacaan doa atau ketukan bok hi pun berhenti seketika. Suasana jadi sunyi senyap padahal di da lam ruangan itu terdapat begitu banyak orang. Dari hal itu dapat dibuktikan bahwa para pendeta Oey kau mendapat didikan disiplin yang keras. Mereka sangat mengagungkan agamanya sendiri.
Terdengar pendeta tua itu membaca doa de¬ngan suara yang berat. Selesai berdoa, para umat baru bangkit serentak. Pendeta tua itu juga berdiri dan menghampiri Lie Cun Ju.
"Harap calon pemimpin Ci sicu mulai memilih kitab!" Padahal Lie Cun Ju tadinya menganggap apa yang dialaminya benar-benar seperti sebuah per-mainan saja. Walaupun hatinya juga penasaran, mengapa sejak Buddha hidup Dan Juel yang memimpin agama ini, seluruh pendeta Oey kau bisa mengerti ilmu silat? Dia juga ingin tahu kitab apa sebenarnya yang semasa hidupnya tidak pernah terpisah dari Buddha hidup itu?
Di samping itu, Lie Cun Ju juga tahu dirinya tidak mungkin hisa menjadi pemimpin agama mereka. Dia toh tidak punya kesaktian untuk memilih dengan tepat salah satu di antara dua puluh kitab yang berjejer di depannya. Karena itu, dia hanya ingin urusan itu cepat selesai agar dia juga dapat kembali ke Tiong goan secepatnya. Kemudian berusaha menemukan Tao Ling dan melewati hari-hari bahagia bersama gadis itu, daripada menjadi pemimpin agama yang tidak dimengertinya itu.
Karena itu, ketika mendapat perintah dari si pendeta tua agar dia mengambil salah satu kitab yang berjejer di atas meja, Lie Cun Ju tidak pikir-pikir lagi. Sembarangan saja ia mengulur tangan¬nya untuk mengambil salah satu dari kitab itu
Lie Cun Ju toh tidak tahu kotak mana terdapat buku yang asli dan kotak mana yang berisi kitab palsu. Tidak ada hal apa pun yang dapat dijadikan pegangan baginya untuk memilih. la mengulurkan tangannya untuk mengambil salah satunya. Tetapi belum lagi jari tangannya sempat menyentuh kitab itu, tiba-tiha jalan darah di lengannya terasa ngilu Rasa ngilu itu membuat tangannya terangkat kem-hali.
Hati Lie Cun Ju merasa aneh, cepat-cepat dia mendongakkan kepalanya. Tampak ratusan umat sedang memandang ke arahnya. Kecuali si pendeta tua dan kedua coan lun ong yang merangkapkan sepasang telapak tangan dan menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia tidak berhasil men-cari siapa kira-kira orang yang mengisenginya. Tetapi Lie Cun Ju sadar sekali ketika lengannya tadi terasa ngilu. Kalau tidak, kotak itu pasti sudah diambilnya.
Setelah mengedarkan pandangan matanya sejenak, Lie Cun Ju memalingkan kepalanya kem-bali. Tiba-tiba saja hatinya tergerak. Dia merenung sejenak. Urusan itu tampaknya ada terselip keanehan. Dan hanya ada satu kemungkinannya. Pendeta tua dan kedua Coan lun ong pasti tahu di mana letak kitab yang asli.
Dan rasa ngilu tangannya tadi, pasti hasil per-buatan salah seorang dari mereka pula. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Mengenai mengapa mereka melakukannya, hanya ada kemungkinan.
Pertama, orang itu tidak suka Lie Cun Ju menjadi pemimpin kuil itu. Dengan kata lain, gerakan tangannya yang sembarangan tadi mungkin memilih kitab yang asli. Tetapi rasanya tidak mungkin demikian kebetulan.
Sedangkan yang kedua, kemungkinannya lebih besar. Orang itu justru berharap Lie Cun Ju men¬jadi pemimpin kuil itu. Karena itu, ketika melihat ia mengambil kitab yang salah, orang itu segera turun tangan mencegahnya. Dengan pikiran demikian, Lie Cun Ju teringat kembali kata-kata yang pernah diucapkan pendeta tua. "Umat kuil kami sudah lama menantikan kedatangan pemim¬pin yang merupakan penjelmaan dari Buddha hidup kami." Mungkin dialah yang turun tangan mencegah Lie Cun Ju barusan.
Meskipun tampaknya pendeta tua itu sedang merangkapkan sepasang telapak tangannya dan kepalanya menunduk, tetapi dengan kekuatan tenaga dalamnya, menotok jalan darah orang de¬ngan tan pa bergerak sedikit pun bukan hal yang sulit baginya.
Lagipula jarak antara pendeta tua itu dengan dirinya sangat dekat. Bisa saja ia turun tangan tanpa diketahui oleh ratusan pendeta lainnya. Lie Cun Ju tidak berpikir lama-lama. Dia kembali mengulurkan tangannya untuk mengambil ko-tak yang ada di sebelah kanannya. Tetapi apa yang dialaminya kali itu sama seperti yang pertama. Lengannya langsung terasa ngilu dan tangannya otomatis terangkat ke atas.
Peristiwa itu mungkin hanya diketahui oleh Lie Cun Ju dan orang yang turun tangan. Sedangkan bagi pandangan orang lain, Lie Cun Ju seakan sedang mempertimbangkan kitab mana yang harus diambilnya. Meskipun tangannya sudah menjulur ke depan, tetapi kemudian ia membatalkannya karena kurang yakin. Demikianlah anggapan pendeta-pendeta lainnya terhadap sikap yang di-perlihatkan Lie Cun Ju.
Karena itu pula, hati para pendeta itu begitu tegangnya sehingga telah mencapai titik puncak-nya. Meskipun di da lam ruangan itu terdapat lima ratusan pendeta, suasananya justru demikian he-ning mencekam. Mereka menantikan dengan hati berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya Lie Cun Ju dicegah meng¬ambil kotak yang dipilihnya. Sekarang dia yakin bahwa orang itu mengharapkan dirinya menjadi pimpinan kuil. Sebab tidak mungkin dua kali dia berhasil atau secara kebetulan mengambil kitab yang asli, sedangkan kitab itu hanya satu yang aslinya. Dan bila orang itu tidak ingin menjadi pimpinan kuil mengapa orang itu sampai dua kali turun tangan.
Saat itu juga perasaan Lie Cun Ju menjadi heran, tegang tetapi terselip sedikit kegembiraan. Sebab, apabila ditilik dari keadaan yang berlang-sung, tidak diragukan lagi ia akan menjadi pim¬pinan kuil ini.
Lie Cun Ju menarik nafas dalam-dalam. Dia menjulurkan tangannya kembali untuk meraih se-buah kotak. Setiap kali tangannya hampir menyen-tuh kotak itu, lengannya pun terasa ngilu. Sampai kedua belas kalinya tangan pemuda itu baru bisa mengambil kotak yang dipilihnya dengan lancar. Pendeta tua itu menyambut kotak yang dipilih oleh Lie Cun Ju. Dia membuka halaman pertama kitab itu kemudian ditunjukkannya kepada seluruh hadirin. Lie Cun Ju melirik dengan ekor matanya mengintip kitab itu. Ternyata kitab itu tipis sekali. Paling-paling hanya berisi beberapa halaman.Di atasnya tertulis 'Leng Can Po liok'. (Peninggalan pusaka keramat).
Tamat