Peninggalan Pusaka Keramat Chapter 59

NIC

"Pukulan I sicu tadi, angin yang terpancar keluar mengandung hawa sesat, apakah I sicu ini orang dari Mo kau? Entah Mo kau kaucu, si tua Kwe lo sian sing tinggai di mana sekarang?" tanya pendeta yang duduk di tengah.

Mendengar pertanyaannya, I Ki Hu terkejut setengah mati. Karena si tua Kwe lo sian sing yang ditanyakan Ihama itu adalah mertuanya sendiri yang terbunuh di tangannya. Juga merupakan ketua angkatan ketiga puluh sembilan dari partai itu. Kaucu itu sendiri sudah mati tujuh belas tahun yang lalu. Boleh dibilang selama ini tidak ada orang yang pernah mengungkit lagi nama 'Kwe kau cu’.

"Entah untuk apa Taisu menanyakannya?" tanya I Ki Hu setelah tertegun sejenak.

"Dulu loceng mempunyai kesempatan bertemu satu kali dengan Kwe lo Kau cu. Kali ini kedatangan kami juga untuk mencarinya, tetapi ternyata setelah mencarinya sekian lama dan menanyakan kesana kemari, tidak ada seorang pun yang tahu kemana pindahnya orang tua itu."

Hati I Ki Hu langsung merasa bangga mendengar ucapannya. Karena tujuh belas tahun yang lalu, I Ki Hu memberontak terhadap Mo kau dan membunuh tokoh-tokoh tingkat tinggi di dalam partai itu. Bahkan mertua dan istrinya sendiri juga dibunuh. Boleh dibilang hal ini sudah tersebar luas di dunia kang ouw. Tetapi Ihama tua tadi justru mengatakan 'tidak ada seorang pun yang menge-tahui kemana pindahnya Mo kau kaucu Kwe lo sian sing'. Hal ini membuktikan bahwa namanya benar-benar menggetarkan dunia kang ouw sehingga tidak ada seorang pun yang berani mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Karena itu pula, I Ki Hu langsung tertawa terbahak-bahak.

"Taisu ingin mencari Kwe kaucu, dari sini am-bil saja arah timur, kurang lebih tiga ratusan li, ada sebuah desa bernama Jit Hong ceng. Asal Taisu sudah sampai di sana pasti bisa tahu sendiri!"

Lhama tua itu tidak tahu bahwa Jit Hong ceng yang dikatakannya itu bukan sebuah desa, tetapi tanah pemakaman.

"Terima kasih atas petunjuknya," ucapnya.

Ketika pembicaraan berlangsung, perahu sudah berlabuh di tepi sungai. I Ki Hu dan Tao Ling segera turun dari perahu dengan membawa serta kereta kuda mereka. Perahu pun meluncur kembali. I Ki Hu memandanginya dengan perasaan ingin tahu.

Setelah perahu itu berada di kejauhan dan tinggal titik hitam, dia baru menolehkan kepalanya kembali. Diam-diam dia berpikir dalam hati. Diri-nya adalah menantu dari kaucu Mo kau, tetapi dia belum pernah mendengar bahwa antara para pendeta Tibet dengan Mo kau terjalin hubungan persahabatan. Ketiga pendeta tadi datang ke Tiong goan, pada suatu hari nanti, mereka pasti akan tahu juga bahwa Kwe kaucu sudah meninggal tujuh belas tahun yang lalu, bahkan seluruh tokoh pen-ting partai itu juga mati di tangannya. Apabila ketiga lhama tadi bermaksud membalaskan dendam bagi kaucu Mokau, berarti dia menemukan lawan berat yang sulit ditandingi.

Sembari berpikir, I Ki Hu menjalankan kereta kudanya. Kemudian dia berpikir lagi, ilmu kepan-daiannya demikian tinggi, rasanya tidak ada orang lagi di dunia ini yang sanggup menandingi. Lagipula ada beberapa tokoh berilmu tinggi yang dapat diperalatnya. Seandainya ketiga lhama itu akan mencarinya membalaskan dendam Kwe kaucu, dia juga tidak perlu takut. Akhirnya perasaan I Ki Hu jadi mantap, dia meneruskan perjalanan menuju Si Cuan.

Menjelang malam, mereka sudah sampai di sebuah jalan raya yang lurus dan lebar. Wilayah Si Cuan seperti sebuah perbukitan, jarang ada jalan raya. Tetapi jalan raya yang mereka lalui ini diatur dengan batu besar kecil sehingga terlihat rapi. Tanahnya datar, di kedua sisi tumbuh pepohonan yang rindang. Sekali lihat saja sudah dapat dipastikan bahwa jalan raya itu dibuat oleh seseorang. Kereta kuda yang ditumpangi oleh I Ki Hu dan Tao Ling dapat melaju cepat di atas jalan raya itu. Tiba-tiba terdengar suara desiran angin, selembar jala yang besar sekali tahu-tahu melayang turun dan menghadang di depan kereta.

Kejadiannya terlalu mendadak. I Ki Hu cepat-cepat menarik tali kendali kudanya agar berhenti. Tampak jala lebar itu terbuat dari semacam kawat, di bagian atasnya terdapat banyak duri tajam dari sejenis paku. Tajamnya bukan main. Dalam waktu yang bersamaan, mereka juga melihat ada enam-tujuh orang yang muncul dari pohon-pohon di kedua sisi jalan.

"Siapa yang datang?" tanya mereka serentak.

Melihat penghadangan yang lucu itu, I Ki Hu merasa kesal dan geli. Kereta kudanya sudah dihen-tikan. Tampak orang- orang yang muncul dari balik pohon masih muda-muda. Yang paling tua berumur sekitar tiga puluh tahun. Tampang mereka gagah-gagah. Dua di antaranya paling-paling berusia tujuh belasan tahun. Mereka berdiri di atas ranting pohon sehingga dapat dihayangkan bahwa ilmu Gin Kang mereka sudah cukup tinggi.

Meskipun sebelumnya I Ki Hu belum pernah mengunjungi keluarga Sang, kalau dihitung dari perjalanan yang telah ditempuhnya, tempat tinggal keluarga Sang sudah hampir sampai. Sedangkan jalanan lurus ini pasti milik keluarga Sang, dan tidak perlu diragukan lagi orang-orang yang mun-cul dari balik pohon pasti anggota keluarga itu pula. Mereka membuat jalan raya ini untuk menuju gedung keluarga Sang. Karena itu, I Ki Hu segera tertawa dingin. Dia menjalankan lagi keretanya maju sedikit.

"Tamu berkunjung dengan baik-baik, mengapa disambut dengan cara demikian tidak sopan?" katanya.

"Siapa yang Anda kunjungi?" tanya kedua pemuda yang berdiri di ranting pohon.

Jarak I Ki Hu sudah dekat sekali. Dia dapat melihat bahwa kedua pemuda itu tampan-tampan dan gagah. Di pinggang masing-masing terselip sebuah gantulan (Besi yang ujungnya berbentuk bola). Keluarga Sang memiliki dua macam ilmu yang terkenal. Yang satu justru ilmu gantulan itu, dan yang satunya lagi tujuh puluh dua cara menotok jalan darah manusia. Usia kedua pemuda ini masih muda sekali. Mungkin terhitung generasi ketiga dari Kakek berambut putih Sang Hao. I Ki Hu sendiri juga merasa malu apabila harus ber- gebrak dengan mereka. Karena itu dia hanya berkata dengan nada dingin.

"Aku mengunjungi Kakek berambut putih Sang Hao." "Kakekku tidak menemui siapa pun," sahut kedua pemuda

itu.

I Ki Hu tersenyum. "Orang lain boleh dia tolak tetapi terkecuali aku, dia harus mau!"

Kedua pemuda itu memang cucu si Kakek berambut putih Sang Hao. Anggota keluarga Sang semuanya berilmu, tetapi tinggi rendahnya kepan-daian masing-masing berbeda. Kedua kakak beradik itu bernama Sang Cin dan Sang Hoat. Mereka terhitung generasi ketiga dalam keluarga Sang. Kedua pemuda itu juga merupakan cucu kesayangan Sang Hao. Karena itu, ketiga puluh enam jurus gantulan pemancar angin juga dikuasai sebagian.

Sebetulnya keluarga Sang terkenal karena ilmu ruyung saktinya. Tetapi senjata yang satu ini dianggap kurang praktis dibawa ke mana-mana dan juga tidak sesuai digunakan generasi muda. Karena itu kemudian hari Sang Hao mengubahnya dengan menggunakan gantulan sebagai senjata.

Bentuk ruyung dan gantulan memang hampir sama. Bedanya yang satu panjang, sedangkan yang lainnya pendek. Kepandaian Sang Cin dan Sang Hoat malah lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa anggota dari generasi kedua. Karena keduanya mendapat didikan langsung dari si kakek berambut putih Sang Hao. Tentu saja Sang Hao sendiri memiliki kepandaian yang sudah mencapai taraf tinggi sekali. Tetapi orang tua itu tidak berminat mencari nama di dunia kang ouw. Dia memilih menetap dengan tenang di gedung keluarga Sang di wilayah Si Cuan. Dia pun melarang anggota keluarganya atau murid-muridnya berkecimpung di dunia kang ouw. Karena itu pula Sang Cin dan Sang Hoat tidak tahu siapa I Ki Hu.

Mendengar nada bicara I Ki Hu yang sombong, kedua pemuda itu merasa jengkel.

"Pokoknya Yaya kami sudah mengatakan tidak ingin menemui siapa pun."

I Ki Hu merasa geli sekali.

"Kalau dia tidak sudi menemuiku juga, terpak-sa aku menjadi tamu yang tak diundang."

Begitu I Ki Hu mengeluarkan perkataan tadi, orang-orang yang ada di atas pohon langsung mengeluarkan suara bising, mereka memaki-maki seenaknya. "Dia kira dirinya hebat sekali, berani berbuat macam- macam di tempat tinggal keluarga Sang."

I Ki Hu tetap enggan berdebat dengan mereka. Dia hanya tersenyum dingin sedikit. Pada saat ini, jala besar yang terbuat dari kawat itu masih merin-tangi jalanan di depan mereka. Tentu saja kereta kuda tidak dapat dijalankan melewatinya. Tetapi dengan kepandaian I Ki Hu yang tinggi, untuk meloncati jala sepanjang tiga depaan saja tentu tidak jadi masalah. Ketika suara teriakan orang sudah reda, dia segera menyingkapkan tirai kereta.

"Hu jin, di depan ada jala kawat yang meng-hadang. Kereta tidak bisa maju lagi. Tetapi untung saja gedung kediaman keluarga Sang sudah dekat. Kita jalan saja sembari menikmati pemandangan alam," katanya kepada Tao Ling.

Perasaan hati Tao Ling terasa hampa, apa pun yang terjadi di depannya seakan tidak menarik perhatiannya. Apa pun yang dikatakan oleh I Ki Hu, dia hanya mengikuti saja. la tidak pernah membantah. Mendengar perkataan I Ki Hu barusan, dia hanya menganggukkan kepalanya. I Ki Hu membimbingnya turun dari kereta dan berjalan ke depan beberapa langkah.

Ketika melihat Tao Ling, orang-orang yang muncul dari balik pohon tadi langsung berteriak lagi. Suaranya bising sekali. Salah satunya bahkan berteriak sekeras-kerasnya.

"Wan! Tua bangka itu malah mempunyai istri yang begitu muda. Pasti bukan orang baik-baik jangan biarkan dia lolos!"

"Tentu saja. Yaya toh sudah berpesan, siapa pun tidak boleh maju selangkah dari tempat ini, tidak perduli dia orang baik-baik atau bukan, pokoknya sama saja."

Ketika orang-orang itu berbicara, I Ki Hu tetap membimbing Tao Ling melangkah ke depan. Dia memperhatikan jala kawat yang membentang di depannya dengan seksama. Tingginya mencapai tiga depa. Lebarnya mencapai empat-lima depa. Kedua ujungnya dikaitkan pada pepohonan di kedua sisi jalan. Apabila dia nekat menerobos ke depan, bagi I Ki Hu sendiri tentu tidak jadi masalah. Tetapi kalau baru berjalan setengahnya, tiba-tiba orang-orang yang ada di atas pohon men-jatuhkan jala itu, tentu Tao Ling akan terluka parah terkena duri-durinya yang tajam. Mungkin malah bisa mati di tempat itu.

I Ki Hu tidak ingin menempuh resiko itu. Tiba-tiba dia men da pat akal. Dipungutnya beberapa butir batu di tepi jalan. Tangannya mengibas dan pinggangnya meliuk. Batu-batu itu pun melayang ke arah pepohonan di sisi jalan. Tahu-tahu keenam-tujuh orang yang ada di sekitar pepohonan sudah tertotok jalan darahnya.

Melihat dirinya sekali turun tangan sudah mencapai hasil yang gemilang, hati I Ki Hu terus bangga sekali. Dia tertawa terbahak-bahak. Diraihnya pinggang Tao Ling, sembari menghimpun hawa murninya. Dia mencelat setinggi satu depa lebih. Dengan menggunakan kawat jala sebagai tumpuan kakinya, dia mencelat lagi ke atas setinggi dua setengah depa. Sekejap mata saja dia sudah melayang turun kembali di seberang jala.

Setelah berhasil melewati jala kawat itu, I Ki Hu baru menolehkan kepalanya sambil tertawa.

"Kalian semuanya pasti keturunan Kakek berambut putih Sang Hao. Tentunya sudah mem-punyai dasar ilmu silat yang cukup kuat. Totokanku tadi tidak terlalu berat. Asal tenaga dalam kalian sudah mencapai tingkat yang lumayan, pasti bisa membebaskan sendiri totokanku tadi. Aku masih ingin menikmati kein-dahan pemandangan daerah ini, setelah berhasil melepaskan totokan kalian, silakan menyusul aku nanti!".

Tentu saja anggota keluarga Sang yang ada di atas pohon mendongkol sekali mendengar kata-kata I Ki Hu. Tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya Sang Cin dan Sang Hoat berdua yang mengedarkan hawa murninya untuk membebaskan diri dari totokan. Pertama, memang tenaga dalam mereka yang paling kuat. Kedua, tempat mereka berdiri juga paling tinggi. Jadi batu yang disambit-kan I Ki Hu tadi hanya mengenai mereka dengan ringan. Setelah menghimpun hawa murninya sejenak, tubuh pun terasa pulih kembali.

"Jangan kabur!" teriak mereka.

Tubuh mereka berkelebat dari atas pohon dan melayang turun. Secepat kilat keduanya berlari tnengejar I Ki Hu dan Tao Ling.

Selesai berkata tadi, I Ki Hu langsung berjalan ke depan. Baru menindak beberapa langkah, dari belakang sudah terdengar suara teriakan Sang Cin dan Sang Hoat. Dia merasa kagum juga melihat cucu Sang Hao yang masih demikian muda dapat melepaskan diri dari totokannya dalam waktu yang demikian singkat.

I Ki Hu menolehkan kepalanya. Tangan kirinya tetap membimbing Tao Ling. Tangan kanannya mengibas. Terasa ada serangkum angin yang ken-cang menahan gerakan Sang Cin dan Sang Hoat.

Meskipun kedua pemuda itu masih belia dan tidak banyak pengetahuannya, mereka bukan orang bodoh. Saat itu mereka sudah bisa mem-bayangkan bahwa ilmu kepandaian lawannya tinggi sekali dan mereka pasti bukan tandingannya. Karena itu mereka menghentikan gerakannya.

"Siapa Tuan sebetulnya?" tanya kedua pemuda itu.

Melihat kedua anak muda itu bisa melihat gelagat, I Ki Hu juga tidak mendesak lebih jauh. la tertawa terbahak-bahak.

"Siapa pun aku ini, apa persoalannya. Apakah ada sebagian orang yang tidak diijinkan mengun-jungi keluarga Sang?" ucap I Ki Hu. Sang Cin tersenyum ramah.

"Harap Cianpwe jangan salah sangka. Yaya pernah berpesan bahwa ada beberapa orang yang dikecualikan!"

"Siapa saja orang-orang yang dikecualikan itu?" tanya I Ki Hu.

"Salah satunya, Bok Cin sian siang dari Bu Tong san," sahut Sang Cin.

Posting Komentar