tidak akan mencelakainya. Tetapi kalau dia ternyata orang
yang kucari-cari selama ini.He ... he ... he ... Api yang liar tidak dapat dipadamkan, angin musim semi terus silih berganti.Biar bagaimana pun, aku tidak akan membiarkan ia hidup di dunia ini."
Tubuh Tao Ling langsung gemetar mendengar kata-kata I Ki Hu. la sadar dirinya tidak mungkin bisa membujuk I Ki Hu. Karena itu dia pun tidak mengatakan apa-apa lagi.
Seorang diri I Ki Hu berjalan di tepi sungai.Tampak ada sebuah perahu melaju dari tengah-
tengah sungai. Gerakannya cepat sekali. Sekejap saja perahu itu sudah mulai terlihat jelas. Tubuh I Ki Hu berkelebat menghampiri kereta. Disingkapnya sebuah papan lalu mengeluarkan segulungan tali. Setelah itu dia melesat lagi ke tepi sungai. Gerakan tubuhnya bukan main cepatnya. Pada saat itu, perahu tadi kebetulan sedang melaju lewat. Tubuh I Ki Hu berputar, tangannya dihentakkan ke depan, terdengar suara desiran. Tali itu pun melayang ke arah perahu. Rupanya sejak tadi I Ki Hu sudah mengadakan persiapan. Tali yang dipegangnya mempunyai cantolan dari besi pada bagian ujungnya. Sentakannya begitu kuat, ujung
tali itu pun langsung menancap di bagian geladak perahu.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. Ujung tali yang satunya juga mempunyai pbsak besi. I Ki Hu menancapkannya di atas tanah.I Gerakan perahu pun tertahan oleh kedua tali yani' saling berkaitan itu. Gulungan tali itu sekarang berbentuk titian yang panjang. Tubuh I Ki Hu bergerak kembali. Dia mencelat ke atas tali dan berjalah\iengan cepat menuju perahu. Baru mencapai setengahnya, terlihat seseorang muncui dari dalam kabin perahu. Ketika melihat I Ki Hu berjalan di atas tali dan menuju ke perahu, orang itu tertegun sejenak. Cepat- cepat dia menyingkapkan pakaiannya dan menghunus sebilah golok. Tangannya mengayun ke depan untuk menebas tali yang mengait di geladak perahu itu.
Kalau ditilik dari gerakan tangan orang itu yang begitu cepat dan reaksinya yang spontan, kemungkinan besar seorang tokoh bu lim juga. Lagipula bukan tokoh sembarangan.
Pada saat itu, I Ki Hu baru mencapai setengah jalan, apabila orang itu berhasil menebas tali yang dijadikannya titian, pasti dia akan tercebur ke dalam sungai.
Sedangkan arus sungai itu begitu deras. Mes-kipun I Ki Hu memiliki ilmu yang tinggi sekali, tetap saja dia akan seperti tikus yang tercebur di parit.
Tetapi bagaimana pun ilmu kepandaian I Ki Hu memang sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Baru saja orang itu muncui dari dalam kabin, dan I Ki Hu melihat gerakan tubuh orang itu yang demikian gesit, ia langsung tahu ilmunya tinggi sekali. Dia sendiri sudah mempunyai persiapan. Ketika melihat orang itu mengeluarkan goloknya, dia langsung berseru
"Ada tamu yang berkunjung, masa tidak diterima?" Jari tangannya menyentak ke depan. Sebatang senjata rahasia melayang di udara dan meluncur tepat mengenai golok di tangan orang itu.
Tampak orang itu terhuyung-huyung kemudian menyurut mundur beberapa langkah. Golok di ta¬ngannya terlepas dan terdengarlah suara Trak! kemudian terbelah menjadi dua bagian.
Dalam waktu yang singkat itu, I Ki Hu sudah mencelat ke atas perahu. Orang itu terkejut setengah mati. Kepalanya langsung didongakkan.
"Siapakah Tuan?" tanya orang itu.
Padahal, I Ki Hu hanya sembarangan menarik perahu mana saja yang lewat guna menaikkan kereta kudanya ke atas agar bisa menyeberangi sungai. Dia tidak perduli siapa penumpang perahu itu. Lagi pula, di dalam hatinya, siapa pun orangnya, asal dia mengangkat tangannya, dia dapat membunuh orang itu seenaknya. Memang selamanya I Ki Hu tidak pernah memandang mata pada siapa pun. Tetapi ketika mendengar per-tanyaan orang tadi, dia merasa logat suaranya agak asing. Karena itu dia segera mendongakkan wajah-nya, tampak tubuh orang itu demikian kekar dan warna kulitnya agak kegelapan. Ternyata bukan orang Tiong goan.
"Cayhe she I."
Perlahan-lahan orang itu menyurut mundur lagi satu langkah.
"Mengapa Tuan menahan perahu kami?"
"Sungai ini sangat dalam, arusnya pun deras. Kami butuh perahu untuk menyeberangkan kereta kuda, karena itu meminjam perahu Tuan sebentar."
"Kami menyewa perahu ini justru karena ada urusan yang penting sekali. Mana bisa meminjamkannya kepada Tuan untuk menyeberangi sungai? Lagipula, geladak perahu ini juga tidak bisa memuat sebuah kereta," kata orang itu dengan nada marah.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak menjadi persoalan. Asal geladak perahu dihilangkan, kan kereta kuda kami bisa muat di atasnya."
Sembari berbicara, I Ki Hu maju ke depan dua langkah. Orang itu cepat-cepat menyurutkan tubuhnya ke belakang karena tadi dia sudah merasakan kehebatan I Ki Hu. Tiba-tiba I Ki Hu membungkukkan tubuhnya sedikit, telapak ta¬ngannya menghantam ke bagian geladak perahu. Saat itu juga, perahu itu berguncang dengan dahsyat. Terasa ada angin yang menderu-deru, papan yang menutupi bagian geladak berhamburan karena pukulan I Ki Hu. Terlihatlah sebuah celah yang besar.
Sekali lagi I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. "Dengan detnikian pasti muat, bukan?" Wajah orang itu pucat pasi seketika. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia berteriak. Entah bahasa apa yang digunakannya. Tetapi tampaknya I Ki Hu mengerti juga sedikit-sedikit. Dia seperti mengatakan nyali orang ini besar sekali atau semacam begitulah. Dia juga menanyakan kepada Lhama yang suci apa yang harus dilakukannya. Diam-diam I Ki Hu merasa geli. Kepalanya men- dongak ke dalam perahu, tanpa dapat ditahan lagi, hatinya langsung tercekat.
Rupanya tenaga pukulannya begitu kuat sehingga atap perahu itu pun tergetar dan jebol. Saat itu dia dapat melihat keadaan di dalam kabin perahu. Perabotan yang ada di dalamnya juga berantakan, tetapi ada tiga buah kursi yang masih terletak pada posisi semula. Di atas kursi itu duduk tegak tiga orang tanpa bergeming sedikit pun.
Justru tadi I Ki Hu melihat ilmu orang yang muncul dari dalam kabin itu cukup tinggi. Dia tidak ingin menunda waktu lama-lama, karena itu dia ingin orang itu tunduk kepadanya dengan meng-hantam ke arah geladak perahu. Pukulannya tadi menggunakan tenaga sebesar sembilan bagian. Maka dari itu pula, seluruh atap yang menutupi bagian atas perahu itu ikut jebol saking kuatnya. Begitu kuatnya angin yang terpancar dari pukulan I Ki Hu, ketiga orang yang duduk di dalam kabin itu seperti tidak merasakan apa-apa. Hal ini membuktikan bahwa mereka bukan lawan yang dapat dianggap ringan. Dengan mengembangkan seulas senyuman, I Ki Hu menatap ketiga orang itu. Tampak orang yang di tengah sudah tua sekali. Wajahnya sudah penuh dengan kerutan, tetapi sulit diduga berapa usia yang sebenarnya. Tubuhnya kurus seperti lidi. Dia adalah seorang pendeta atau lhama dari Tibet. Kedua orang yang di sisi kanan kirinya juga sama-sama pendeta. Kalau dilihat dari tampangnya, usia keduanya sekitar enam puluhan tahun. Telapak tangan ketiga orang itu dirangkapkan di depan dada. Maka mereka terpejam dengan tenang, seakan tidak menyadari apa pun yang terjadi di atas perahu.
Setelah menatap sesaat, hati I Ki Hu semakin penasaran. Segera tubuhnya berputar dan mencengkeram bahu orang itu.