Tiba-tiba I Ki Hu menolehkan kepalanya sambil tersenyum. "Tao kouwnio, ada sedikit ucapan yang ingin kusampaikan.
Entah Tao kouwnio bersedia meluluskannya atau tidak?"
Tao Ling melihat sepasang mata I Ki Hu menyorotkan sinar yang ganjil, ketika mengucapkan kata-kata itu. Jantungnya langsung berdebar-debar. "Urusan apa?" tanyanya lirih.
I Ki Hu melangkah setindak ke depan.
"Tao kouwnio mempunyai wajah yang cantik. Dari luar terlihat lembut, di dalam bijaksana. Aku sudah lama menduda, karena itu watak Giok Hong menjadi manja dan liar. Apakah Tao kouwnio bersedia mengikat diri denganku menjadi suami istri?"
Mendengar kata-katanya, persis seperti orang yang disambar petir. Mulutnya melongo, lidahnya kelu. Mana sanggup dia mengucapkan apa-apa?
I Ki Hu tersenyum.
"Tao kouwnio tidak mengucapkan sepatah kata pun, pasti hatimu sudah setuju. Kita menyembah langit dan bumi di sini saja. Bagaimana menurut pendapatmu?" Sembari berkata, dia mengulurkan tangannya menarik Tao Ling.
"Tidak! Tidak!" teriak Tao Ling ketika kelima jari tangan I Ki Hu hampir menyentuh pergelangan tangannya. I Ki Hu menggerakkan tangannya ke depan, tidak dibiarkannya Tao Ling menghindar. Sekejap saja pergelangan tangan Tao Ling sudah tercengkeram olehnya.
"Mengapa tidak?" tanya I Ki Hu.
Tao Ling merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas ketika I Ki Hu berhasil mencengkeram pergelangan tangannya. Tubuhnya bersandar di tern-pat duduk kereta dan hanya bisa berteriak dengan gugup.
"Tidak! Tidak!" teriak Tao Ling lagi.
I Ki Hu tersenyum tipis. Sepasang matanya menatap Tao Ling lekat-lekat. Kalau dinilai dari usianya, memang I Ki Hu pantas menjadi ayah Tao Ling. Tetapi karena tenaga dalamnya sudah men-capai taraf yang tinggi sekali, kelihatannya justru seperti laki-laki yang usianya belum mencapai empat puluhan tahun. Lagi pula wajahnya sangat tampan, sehingga orang tidak akan sebal melihatnya. Dan senyumannya barusan justru membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Tao Ling jadi meremang.
Dengan lemas dia memejamkan matanya, teli-nganya mendengar I Ki Hu berkata kembali.
"Tao kouwnio, apabila kau bersedia mengikat diri menjadi istriku, dendam permusuhan kedua orang tuamu yang aneh bam bisa terbalas."
Mendengar kata-katanya, Tao Ling jadi heran. Diam-diam dia bertanya kepada dirinya sendiri. "Dendam permusuhan orang tua? Apakah kedua orang tuaku sudah menemui bencana?" Rasa terkejut di dalam hatinya semakin bertambah.
"Apakah ayah ibuku telah dicelakai orang?" tanya Tao Ling.
"Urusan ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Sejak semula kau seharusnya sudah dapat menduganya," jawab I Ki Hu.
Tao Ling tahu kekuasaan I Ki Hu besar sekali. Apa pun tidak ada yang sulit baginya. Meskipun dia menginginkan Tao Ling menjadi istrinya, dan sekarang masih belum kesampaian, dia tetap tidak perlu mengucapkan kata-kata yang demikian untuk menakut-nakutinya. Hati Tao Ling semakin tercekat justru karena percaya apa yang dikatakan I Ki Hu.
"Ka . . . lau begitu, siapa . . . orang . . . nya yang a ... akan mencelakai ke . . . dua orang tua . . . ku?" tanyanya gugup.
"Untuk sementara aku masih belum tahu. Tetapi asal kita sudah sampai di Si Cuan, semuanya akan menjadi jelas. Ini urusan kecil, kalau kau sudah menjadi istriku, mungkinkah aku tidak membalaskan dendam kedua orang tuamu?"
Tao Ling terdiam beberapa saat. Dengan perasaan seorang gadis, ia mempertimbangkan situasi yang dihadapinya. Dia sudah melihat bahwa keinginan I Ki Hu tidak dapat dicegah. Jangan kata padang rumput ini begini sepi dan terpencil. Biarpun di depan khalayak ramai atau kota besar, kalau I Ki Hu sudah mempunyai ingatan untuk mengambilnya sebagai istri, siapa lagi yang dapat mencegahnya?
Perlahan-lahan dia memejamkan matanya. Dalam benaknya langsung terbayang wajah Lie Cun Ju. Mereka sudah mengalami suka duka bersama selama satu bulan lebih. Bahkan kaki mereka sama-sama pernah menginjak di pintu kematian, yang akhirnya mereka bisa meloloskan diri dari maut. Dalam hati Tao Ling, tadinya dia sudah yakin bahwa seumur hidupnya ini, ia tidak akan berpisah lagi dengan Lie Cun Ju. Taruhlah dirinya harus menjadi dayang I Giok Hong dan Lie Cun Ju harus menjadi penjaga malam di lembah Gin Hua kok, asal dapat bersama-sama untuk selamanya, ia tetap rela. Tetapi, ia tidak pernah menduga bisa terjadi perkembangan seperti sekarang ini.
Hati Tao Ling sedang merindukan Lie Cun Ju, tetapi telinganya justru mendengar I Ki Hu berkata lagi.
"Tao kouwnio masih tidak bersuara, itu tan-danya sudah setuju. Cayhe memberi hormat dulu kepadamu."
Tao Ling membuka matanya, dia melihat I Ki Hu sedang membungkuk dalam-dalam memberi hormat kepadanya. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang. I Ki Hu menegakkan tubuhnya dan berjalan pergi. Tao Ling tidak tahu apa yang hen-dak dilakukannya. Karena itu ia hanya melihat saja. Ternyata I Ki Hu menghampiri sebongkah batu besar dan mengguratkan jari tangannya di sana. Dalam sekejap mata sudah terbaca sebuah huruf 'hi' di atas batu besar itu. Kemudian I Ki Hu balik lagi. Tanpa dapat mempertahankan diri, Tao Ling membiarkan dirinya diseret oleh I Ki Hu dan melakukan penyembahan dengan menundukkan kepala tiga kali di atas tanah. Mereka menjalani upacara pernikahan dengan menyembah langit dan bumi. Dalam satu malam saja, Tao Ling sudah berubah menjadi istri resmi si raja iblis I Ki Hu.
Tiba-tiba saja hatinya terasa kebal. Dalam satu malam seolah-olah hatinya berubah menjadi kaku
dan membeku seperti salju di pegunungan Thai san. Tetapi bukan berarti hatinya tidak ada perasaan lagi. Paling tidak, jauh di lubuk hatinya, dia masih mengingat Lie Cun Ju.
Terdengar suara derap kaki kuda. Ternyata I Ki Hu sudah naik ke atas kereta dan melarikannya dengan kencang menuju Si Cuan. Kereta terus bergerak ke depan, sedangkan hati Tao Ling terus merindukan Lie Cun Ju. Pemuda yang pernah dicintainya, bahkan masih dicintainya sampai sekarang.
Tetapi di mana Lie Cun Ju sekarang? Mungkin pemuda itu berada pada jarak sejauh ribuan li, tetapi mungkin juga begitu dekat sekali sehingga hanya ada di sekitarnya. Hanya saja Tao Ling tidak tahu. Namun, bagaimana pun juga pemuda itu tidak ada di sisinya lagi. Pemuda itu sudah terpisah dengannya. Tetapi, seberapa jauh pun mereka ber-pisah, kasih sayang yang pernah terjalin di dalam hati mereka masih tetap terjalin dengan indah.
Berpikir sampai di sini, Tao Ling tidak dapat menahan keperihan hatinya. Dia menarik nafas panjang-panjang.
Helaan nafasnya justru mengejutkan I Ki Hu. Laki-laki itu segera menolehkan kepalanya.
"Hu jin, apa yang membuat hatimu gundah?" tanya I Ki Hu. "Tidak apa-apa," sahut Tao Ling cepat.
I Ki Hu turun dari kereta dan menghampirinya. Pada saat itu kereta kuda sudah sampai di tepian sungai. Mereka harus menyeberangi sungai itu baru dapat melanjutkan perjalanan. Jarak dari seberang sungai ke Si Cuan di mana keluarga Sang tinggal, hanya seratusan H. Tao Ling sendiri tidak tahu sudah berapa hari mereka menempuh per¬jalanan. Perasaannya seakan tidak berfungsi lagi. Ketika I Ki Hu menghampirinya, ia segera memalingkan wajahnya. Tampak air sungai beriak-riak, ombaknya bergulung-gulung. Arusnya deras sekali. Air mengalir ke bagian timur. Benak Tao Ling segera teringat pengalamannya ketika ter-hanyut arus sungai tempo hari. Kejadian itu pula yang mempertemukannya dengan Lie Cun Ju. Kembali hatinya terasa perih.
"Hu jin, kita menikah sudah enam hari. Tetapi setiap hari kau terus menghela nafas pendek, meng-hembuskan nafas panjang. Apakah hatimu sedang merindukan seseorang?" tanya I Ki Hu.
Tao Ling tertegun. Diam-diam dia berpikir, bagaimana I Ki Hu hisa tahu perasaannya.
Sebetulnya, kalau melihat keadaan Tao Ling sekarang, jangan kan I Ki Hu yang demikian cerdas, orang biasa pun dapat menduga apa yang menjadi ganjalan hatinya.
Sampai sekian lama Tao Ling tidak memberikan jawaban. "Hu jin, apakah pemuda yang sedang kau rindukan itu Lie
Cun Ju?" tanya I Ki Hu lagi.
"Bukan, bukan dia!" jawab Tao Ling dengan terkejut. I Ki Hu mengembangkan seulas senyuman.
"Semakin Hu jin tidak berani mengakui, aku justru semakin yakin. Memang dialah orangnya. Tapi, Hu jin ... apakah kau tahu siapa pemuda itu sesungguhnya?"
"Aku tidak tahu," jawabnya singkat, tetapi Tao Ling seakan sudah mengakui bahwa memang Lie Cun Ju yang dipikirkannya. Tadi dia tidak berani mengakui karena merasa takut apabila I Ki Hu sudah mengetahuinya maka iblis itu akan mem-bunuh kekasih hatinya. Selesai berkata, dia baru menyadari ucapannya barusan salah. Dengan panik ia menarik tangan I Ki Hu. "Jangan kau celakai dia!" katanya gugup.
I Ki Hu mengembangkan seulas senyuman kepadanya. "Apabila dia bukan putra tocu Hek cui to, tentu saja aku