Peninggalan Pusaka Keramat Chapter 50

NIC

Sesampainya di dalam lembah Gin Hua kok, mata I Giok Hong membelalak. Hatinya terkejut bukan kepalang. Keadaan di dalam lembah itu kacau balau, seperti baru terjadi peperangan dahsyat dan beribu-ribu tentara dan kuda yang mengacak-acak tempat itu.

Tanaman dan rerumputan rusak tidak karuan. Tidak terlihat keindahan yang memukau seperti sebelumnya. I Giok Hong termangu-mangu. Dia tahu semua ini merupakan hasil perbuatan guru Tao Heng Kan. Tetapi sampai sekarang dia masih belum tahu siapa orang itu sebenarnya.

I Giok Hong memanggul jenasah Seebun Jit ke ruangan batu tempat tinggal orang itu semasa hidupnya. Kemudian dia menggali tanah di sana dan menguburkannya asal-asalan. Setelah itu dia berdiam diri beberapa saat. Hatinya sedang mempertimbangkan apakah dia harus menuruti perkataan Seebun Jit agar merebahkan dirinya di atas tempat tidur Ban nian si ping selama tujuh hari tujuh malam? Seandainya dia menuruti kata-kata orang tua itu, bukankah dia bisa mati kesal terkurung di dalam ruangan batu itu selama tujuh hari? Dengan membawa pikiran itu, akhirnya dia hanya mengambil kitab kecil peninggalan Seebun Jit. Matanya melirik sekilas ke arah tempat tidur Ban nian si ping itu. Setelah itu dia keluar dari ruangan batu tersebut dan mencelat ke atas kuda putihnya serta meninggalkan Gin Hua kok.

I Giok Hong tidak ingin merebahkan dirinya di atas tempat tidur Ban nian si ping selama tujuh hari tujuh malam. Bahkan dia meninggalkan Gin Hua kok dengan tergesa-gesa. Tujuannya ingin bertemu dengan I Ki Hu secepatnya agar dapat menceritakan peristiwa yang terjadi di dalam Gin Hua kok kepada ayahnya.

Karena itu pula, begitu meninggalkan lembah Gin Hua kok, dia langsung memacu kudanya menuju wilayah Si Coan. Ketika itu, ia dan ayahnya membawa Tao Ling meninggalkan Gin Hua kok. Baru menempuh perjalanan sejauh seratus li lebih, tiba-tiba ayahnya menyuruh ia pulang ke lembah dan mengajak Lie Cun Ju menemuinya.

Saat itu, I Ki Hu juga mengatakan bahwa dia akan menempuh perjalanan dengan lambat dan menunggu I Giok Hong datang dengan membawa Lie Cun Ju. I Giok Hong menyadari bahwa keper-giannya sudah memakan waktu sehari lebih. Tetapi ayahnya tidak balik ke lembah Gin Hua kok untuk menengok keadaannya. Hatinya menjadi bingung.

Namun gadis itu selalu beranggapan bahwa ilmu kepandaian ayahnya demikian tinggi. Mana mungkin terjadi apa~apa pada dirinya. Mungkin orang tua itu sudah tidak sabar menunggunya sehingga berangkat terlehih dahulu menuju Si Cuan.

Karena itu dia melarikan tunggangannya secepat kilat, siang malam tanpa istirahat sedikit pun. Kira-kira tengah malam, remhulan bersinar dengan terang, tiba-tiba di kejauhan terlihat sebuah kereta berwarna putih keperakan berhenti di tengah padang rumput.

Hati I Giok Hong melonjak kegirangan. Baru saja ia ingin membuka mulut memanggil ayahnya, tiba-tiba dia melihat ada sisatu benda yang aneh di samping kereta kudanya.

Setelah memperhatikan dengan seksama, hati I Giok Hong jadi tertegun Ternyata benda itu adalah sebuah pedupaan tempat menancapkan hio. Di atasnya memang tertancap beberapa batang sarana sembahyangan itu. Diam-diam I Giok Hong berpikir, aneh sekali! Mungkinkah tia mengadakan upacara sembahyang" pengangkatan saudara dengan seseorang di sini? Cepat-repat dia melajukan kudanya untuk maju beherapa depa. Ternyata dia melihat lagi sebuah batu. besar di samping wadah pedupaan itu. Sedangkan di atas batu itu lerukir tulisan 'hi' yang artinya hahagia.

Hampir saja ! Giok Hong tertawa geli melihatnya. Kalau hanya sebuah tempat pedupaan saja, dia masih merenungkan adanya kemungkinan ayahnya menjalankan upacara sembahyangan mengangkat saudara dengan seseorang. Tetapi de¬ngan adanya tulisan 'hi' yang terukir di atas batu, berarti ada sepasang kekasih yang menjalankan upacara perkawinan dengan menyembah langit dan bumi. Tentu saja tidak mungkin ayahnya yang menikah.

Saat ini hati I Giok Hong benar-benar dilanda kebingungan. Dia segera menghentakkan sepasang kakinya dan melesat ke depan.

"Tia, aku sudah kembali!"

Tampak tirai penutup kereta kuda tersingkap, Gin leng hiat ciang I Ki Hu yang namanya menggetarkan dunia persilatan turun dari kereta itu. Setelah melihat I Giok Hong orang tua itu menarik nafas panjang.

"Aih! Kenapa hanya kau seorang?" tanya I Ki Hu. "Tia, di dalam lembah Gin Hua kok telah ter¬jadi sesuatu yang penting . . . ketika aku sampai…”

I Giok Hong tergesa-gesa ingin menceritakan apa yang terjadi di dalam lembah Gin Hua kok, tetapi I Ki Hu tidak memberinya kesempatan.

"Giok Hong, tia di sini juga ada urusan yang penting. Untuk sementara tunda dulu ceritamu mengenai Gin Hua kok!" tukas I Ki Hu.

I Giok Hong jadi bingung.

"Tia, kau ada urusan penting apa di sini? Apakah kau sudah tahu apa yang terjadi dalam lembah Gin Hua kok?" tanya I Giok Hong.

I Ki Hu tertawa lebar.

"Urusan yang terjadi pada jarak seratus li lebih, mana mungkin aku bisa mengetahuinya? Giok Hong, tia sudah menduda sejak lama. Sekarang baru timbul ketnginan untuk beristri lagi. Mengapa kau masih belum mengucapkan seLamat kepada ayahmu ini?"

Tubuh I Giok Hong langsung bergetar. Hampir saja dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Tia ... a ... pa yang kau ka . . . takan?" tanya I Giok Hong.

Di dalam lembah Gin Hua kok, sejak kecil I Giok Hong hidup bersama ayahnya. Dia belum pernah mendengar ayahnya mengatakan akan menikah atau mengambil istri lagi. Ketika ia melihat tulisan di atas batu besar tadi, I Giok Hong hampir saja tertawa geli dan merasa yakin bukan ayahnya yang sedang menjalankan upacara pernikahan.

Tetapi, sesuatu yang dianggap paling mustahil toh akhirnya menjadi kenyataan.

"Aku sudah menjalankan upacara pernikahan di tempat ini.

Cepat kau temui ibumu yang baru!" ucap I Ki Hu.

Mendengar kata-kata ayahnya yang bersungguh-sungguh dan mimik wajahnya yang serius, I Giok Hong sadar apa yang didengarnya memang kenyataan. Bukan I Ki Hu yang sedang bergurau dengannya. Ia menolehkan kepala kembali melihat tulisan di atas batu tadi. Kali ini dia baru memperhatikan bahwa tulisan itu demikian rapi dan tidak ada bekas pahatan sedikit pun. Hal ini membuktikan bahwa ayahnya membuat tulisan itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke ujung jari dan menekannya di atas batu itu.

Untuk sesaat, kekalutan dalam hati I Giok Hong langsung mencapai puncaknya. Sejak kecil dia hidup berdampingan dengan ayahnya. Mereka saling memperhatikan dan saling mencintai. Selama itu pula tidak ada seorang ibu pun yang menemani mereka.

Di dalam hati I Giok Hong, dia merasa hanya mempunyai seorang ayah. Tidak mempunyai ibu. Walaupun kadang- kadang dia suka menanyakan prihal ibunya kepada ayahnya, tetapi I Ki Hu tidak pernah menjawabnya

Dan sekarang, tiba-tiba ada seorang perempuan asing yang menjadi ibunya. Bahkan ia harus memanggil 'mama' pada perempuan asing itu. Bagi I Giok Hong, hal ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Karena itu pula, dia terdiam untuk beberapa saat.

"Tia, aku tidak sudi menemuinya." Akhirnya I Giok Hong menjawab dengan tegas.

Wajah I Ki Hu langsung berubah angker dan berwibawa. "Giok Hong, kau tidak senang dengan tindakan ayahmu

ini?" bentaknya garang.

"Anak tidak berani," jawab gadis itu. "Kalau begitu, cepat temui ibumu!" Tangan I Ki Hu terulur dan pergelangan tangan I Giok Hong telah tercengkeram olehnya. Dia menyeret anak gadis itu ke arah pintu kereta. Bellim lagi sampai, lengan bajunya sudah dikibas-kan, tirai penyekat kereta itu pun tersingkap.

Hati I Giok Hong tercekat seketika. Di samping itu, dia meragukan pandangan matanya sendiri. Siapa yang menjadi istri I Ki Hu? I Giok Hong memandang dengan mata terbelalak. Tanpa sadar tangannya menuding ke da lam kereta.

"Kau . . . rupanya engkau orangnya."

Rupanya di dalam kereta duduk seorang gadis yang usianya hampir sebaya dengan I Giok Hong. Gadis ini tidak asing baginya. Karena dia adalah putri Pat Sian kiam Tao Cu Hun suami istri, yakni Tao Ling.

Meskipun I Giok Hong adalah seorang gadis yang sangat cerdas. Tetapi dia sama sekali tidak membayangkan ayahnya akan memilih seorang istri yang patut menjadi putrinya. Lebih- lebih tidak membayangkan bahwa gadis itu adalah Tao Ling.

Untuk sesaat I Giok Hong tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tetapi ada satu hal yang diyakininya. Biar bagaimana pun dia tidak sudi mengakui Tao Ling sebagai pengganti ibunya.

Mata I Giok Hong menatap Tao Ling lekat-lekat. Wajah gadis itu tampak menyiratkan perasaan yang aneh. Pandangan matanya kosong. Seakan tidak memperdulikan peristiwa apa pun yang terjadi di hadapannya. Urusan sehebat apa pun tidak akan mempengaruhinya. I Giok Hong menatapnya sejenak, kemudian tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya dan bermaksud melesat pergi.

"Berhenti!" bentak I Ki Hu. I Giok Hong tidak berani membangkang. Tetapi meskipun langkah kakinya terhenti, ia tidak membalikkan tubuhnya sama sekali. Ia berdiri membelakangi I Ki Hu dan Tao Ling.

Wajah I Ki Hu berubah tidak enak dilihat.

"Giok Hong, mengapa kau masih belum menyembah?" kata I Ki Hu dengan nada dingin.

I Giok Hong tetap berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Hawa amarah dalam dada I Ki Hu langsung meluap.

"Giok Hong, rupanya di dalam pandangan matamu sudah tidak ada ayahmu lagi?"

"Tentu saja dalam pandanganku, ayahku masih ada. Tetapi apabila menyuruh aku sembarangan menyembah seseorang dan memanggilnya 'ibu', aku tidak dapat melakukannya," sahut I Giok Hong tegas.

Selama hidupnya, baru kali ini I Giok Hong bersikap demikian keras kepala di hadapan ayahnya. Di satu pihak, emosi dalam hatinya seakan membara, tetapi di pihak yang lain, dia juga merasa takut. Karena dia paham sekali watak ayahnya. Apabila laki-laki itu sudah membenci seseorang, biarpun putrinya sendiri, ia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas.

Ternyata memang benar. Baru saja ucapannya selesai, terasa ada angin yang menyambar dari belakangnya. I Giok Hong sadar, seandainya gerakan ayahnya yang menimbulkan sambaran angin itu, meskipun dia menghindar juga tidak ada gunanya. Karena itu, dia diam saja tanpa bergerak sedikit pun.

Pundak I Giok Hong terasa memberat, tangan I Ki Hu telah menekannya. Dengan keras I Ki Hu membalikkan tubuh putrinya. Setelah itu tenaga dalamnya dikerahkan ke arah telapak tangan.

"Berlutut!" bentaknya keras. Telapak tangannya menekan di pundak I Giok Hong, begitu tenaganya dikerahkan. Gadis itu merasa seakan ada benda yang beratnya ribuan kati menindih pundaknya. Sepasang lututnya jadi lemas, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

Tetapi watak I Giok Hong sangat keras. Saat itu juga, dalam hati dia berseru.

"Tidak! Aku tidak boleh berlutut!" Dengan panik dia menghimpun hawa murninya dan menyentakkannya ke atas. Tetapi, mana mungkin tenaga dalamnya dapat menyaingi I Ki Hu?"

Sesaat kemudian terdengar suara Krek! Krek! Rasa nyeri menyerang kedua pergelangan kakinya sampai-sampai dia hampir tidak dapat mempertahankan diri. Matanya berkunang- kunang, kemudian bluk! Tentu karena dia mengerahkan tenaganya untuk mengadakan perlawanan, maka tulang kecil di pergelangan kakinya langsung patah seketika.

Begitu sakitnya sampai seluruh tubuh, I Giok Hong gemetar. Keringat dingin menetes membasahi keningnya. Tetapi dalam hati dia merasa senang, karena dari awal hingga akhir ia tetap tidak menyembah Tao Ling.

I Ki Hu melihat putrinya rela membiarkan tulang kakinya patah tetapi tetap tidak bersedia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tao Ling. Tidak timbul perasaan iba sedikit pun di hatinya, bahkan dia semakin marah. Mulutnya mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan terdengar menyeramkan.

"Giok Hong, nyalimu sungguh besar. Rupanya kau sudah berani melawan aku?" tanya I Ki Hu.

I Giok Hong menenangkan perasaanya. Dia juga mengeluarkan suara tertawa yang dingin.

"Tia, kau yang memaksa anak melakukannya. Jangan menyalahkan aku!" I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.

Posting Komentar