Sambil berseru keras, Lui Siok menyerang ke arah kedua pundak Cui Giok dan ia merasa bahwa serbuannya ini pasti akan berhasil karena selain ia lakukan dengan amat cepatnya, juga ia melihat betapa gadis itu masih berdiri dengan bertolak pinggang, sama sekali tidak memasang kuda-kuda.
Sementara itu, Song Bu Cu juga maju menyerbu Gwat Kong. Ketua dari Hek-i-pang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri dan ia memandang rendah kepada Gwat Kong yang masih amat muda, maka ia menyerang menggunakan kedua tangannya saja. Melihat betapa pemuda itu dengan sikap sembarangan berdiri dengan kaki kiri di depan dan dua tangan disilangkan di dada, ia lalu memajukan kaki kanan dan memukul dengan gerak tipu Pek-wan-hian-tho (Kerah putih persembahkan buah Tho) dengan maksud untuk menipu. Dan apabila lawannya mengelak sambil mengundurkan kaki kiri, ia akan menyusul dengan kaki kirinya mengirim tendangan dibarengi dengan pukulan tangan kanan.
Serangan yang dilakukan oleh Lui Siok dan Song Bu Cu datangnya pada saat yang sama, dan keduanya telah merasa yakin bahwa serangan pertama itu tentu akan merobohkan lawan.
Akan tetapi, tiga orang anak buah Hek-i-pang dan nelayan tua yang menonton pertempuran itu, tiba-tiba membelalakkan mata dan memandang dengan penuh keheranan ketika serangan itu bukan mengakibatkan robohnya Gwat Kong dan Cui Giok, bahkan tiba-tiba terdengar suara kaget disusul oleh melayangnya tubuh Song Bu Cu dan Lui Siok ke sungai.
“Byur........ byur !!” air memercik ke atas ketika dua tubuh ketua Hek-i-pang itu menimpa
air. Song Bu Cu masih untung oleh karena ia terjatuh di air dengan kepala lebih dahulu sehingga ia dapat meluruskan tubuhnya dan kedua tangannya dipergunakan untuk memasuki air dengan baik. Akan tetapi Lui Siok terjatuh dengan pantat lebih dulu sehingga ia merasa pantatnya panas dan pedas.
Gwat Kong dan Cui Giok saling pandang dengan alis terangkat dan ulut tersenyum geli. Sungguh tak pernah mereka duga bahwa mereka mempunyai maksud dan gerakan yang sama yakni melemparkan kedua lawan itu ke dalam air. Maka tak tertahan pula keduanya tertawa bergelak sambil memandang ke arah dua orang lawannya yang sedang berenang ke pinggir.
Song Bu Cu dan Lui Siok menjadi marah sekali. Memang tadi mereka telah sangka dan terlalu memandang rendah kepada lawan yang muda-muda ini. Ketika tadi Lui Siok mencengkeram ke arah pundak Cui Giok, gadis itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya ke arah pundak dan mengeluarkan ilmu sia-kut-hoat (melepas tulang melemaskan tubuh). Sehingga ketika kedua tangan Lui Siok mencengkeram pundak gadis itu, si Ular Belang terkejut karena kulit pundak gadis itu terasa amat licin dan tak dapat ditangkap. Sebelum ia menginsyafi bahwa ia telah melakukan serangan yang amat berbahaya bagi kedudukannya sendiri, tiba-tiba kedua tangan Cui Giok telah menangkap leher dan bajunya, lalu melontarkan dengan tenaga lweekang hebat ke sungai.
Adapun Song Bu Cu ketika menyerang Gwat Kong dengan pukulan Pek-wan-hian-tho sama sekali tidak mengira bahwa Gwat Kong sudah dapat menduga maksudnya, maka dengan sengaja pemuda itu melangkahkan kaki kiri ke belakang. Song Bu Cu menjadi girang dan cepat menyusul dengan tendangan kaki kirinya dan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tiba- tiba Gwat Kong berjongkok meluputkan diri dari pukulan lawan. Adapun kaki kiri Song Bu Cu menyambar kearahnya. Ia menyambut kaki kiri itu dengan tangkapan tangan kanan dan sambil ‘meminjam’ tenaga tendangan lawan, ia membetot dan melontarkan tubuh Song Bu Cu ke dalam air.
Demikianlah, maka dengan amarah yang menyesakkan pernapasan dan dengan pakaian basah kuyup, Song Bu Cu dan Lui Siok berenang ke pinggir dan melompat ke darat.
Cui Giok menyambut Lui Siok dengan tertawa mengejek, “Nah, baru sekali kau mencuci dosa, masih belum bersih. Masih kurang lama kau mencuci dosamu.”
Gwat Kong menjadi gembira juga mendengar kejenakaan Cui Giok, maka sambil tersenyum- senyum yang memanaskan hati, ia berkata kepada Song Bu Cu,
“Pangcu (ketua), orang bilang bahwa air sungai Yung-ting ini rasanya asin seperti air laut, betulkah itu?”
Song Bu Cu dan Lui Siok menjawab ejekan ini dengan mencabut senjata masing-masing. Song Bu Cu mengeluarkan sepasang pedangnya, sedangkan Lui Siok melepaskan sabuk ular belang yang tadi melibat di pinggangnya,
Gwat Kong dan Cui Giok maklum bahwa kedua orang lawan ini betapapun juga tak boleh di pandang ringan dengan senjata-senjata mereka, maka kedua orang muda itupun lalu mencabut pedang masing-masing. Gwat Kong mengeluarkan Sin-eng-kiam yang bercahaya gemilang sedangkan Cui Giok juga mengeluarkan sepasang pedangnya yakni Im-yang Siang-kiam.
Berbareng dengan bentakan-bentakan mereka, Song Bu Cu menyerang Gwat Kong sedangkan Lui Siok menyerang Cui Giok. Pertempuran yang amat seru terjadi di pinggir sungai itu.
Benar-benar hebat dan menarik, karena Gwat Kong yang berpedang tunggal menghadapi sepasang pedang Song Bu Cu. Sedangkan sabuk ular belang di tangan Lui Siok yang lihai bertemu dengan sepasang pedang pula di tangan Cui Giok.
Lui Siok adalah seorang murid tertua Kim-san-pai. Maka ilmu silatnya sudah cukup tinggi. Dibandingkan dengan sutenya, yakni Gan Bu Gi, kepandaiannya masih lebih tinggi dan ditambah pula dengan pengalaman bertempur berpuluh tahun, maka ia benar-benar tangguh dan merupakan lawan berat. Juga Song Bu Cu lebih lihai lagi. Sepasang pedangnya berputar-putar cepat bagaikan sepasang naga berebut mustika dan sebagai seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang amat tinggi, maka gerakan sepasang pedangnya itu mengeluarkan angin dingin yang mengerikan.
Akan tetapi kini kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu benar-benar menjumpai batu karang. Betapapun lihainya Song Bu Cu, kini menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Gwat Kong, ia seakan-akan bertemu dengan gurunya. Pedang tunggal Gwat Kong bergerak lebih cepat dan tiap gerakannya merupakan tangkisan dan serangan balasan yang berbahaya sekali sehingga dalam beberapa belas jurus Song Bu Cu telah terdesak mundur dan sepasang pedangnya tertindih, membuat ia sukar sekali mengirim serangan balasan.
Apalagi Lui Siok. Orang ini setelah bertempur belasan jurus, diam-diam mengeluh dan memaki kepada dirinya sendiri yang dianggapnya goblok dan buta sehingga tadi memilih gadis ini untuk menjadi lawannya. Biarpun ia belum pernah bertempur melawan Gwat Kong, akan tetapi menghadapi kelihaian gadis ini, ia berani bersumpah untuk menyatakan bahwa kepandaian Gwat Kong tak mungkin dapat setinggi gadis ini.
Sebentar saja gerakan sabuknya menjadi kalut sekali. Sepasang pedang dari Cui Giok yang bergerak dengan tenaga lemas dan keras berganti-ganti membuat Lui Siok menjadi pening kepala dan pandangan matanya menjadi kabur berkunang.
Cui Giok memang seorang dara yang jenaka sekali dan ia paling suka mempermainkan orang. Apalagi kalau orang itu seorang penjahat yang dibencinya. Bagaikan seekor kucing betina menangkap tikus, ia tidak mau menamatkan riwayat tikus itu demikian saja tanpa dipermainkan terlebih dahulu.
Kalau ia mau, sudah semenjak gebrakan pertama ia dapat membabat putus sabuk lawannya, atau bahkan melukai tubuh Lui Siok. Akan tetapi ia tidak melakukan hal ini dan sengaja menanti sampai Gwat Kong mengalahkan lawannya lebih dulu. Maka ujung pedangnya hanya ‘mampir’ saja dipakaian lawannya sehingga baju Lui Siok sudah bolong-bolong dimakan ujung pedang. Bahkan kulit tubuhnya di beberapa bagian juga terbawa hingga mengeluarkan darah dan terasa perih sekali.
Di lain pihak, Gwat Kong tidak mau mempermainkan Song Bu Cu sebagaimana yang dilakukan oleh Cui Giok. Pemuda ini mainkan pedangnya dengan hebat dan mendesak terus sambil mengirim serangan-serangan yang berbahaya. Sungguhpun ia tidak mau melakukan serangan yang mematikan atau membahayakan keselamatan lawannya.
Ia hanya ingin merobohkan lawannya dengan luka seringan mungkin. Beberapa kali ia berusaha membuat kedua pedang lawan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa usaha ini amatlah sukar. Oleh karena itu Gwat Kong menjadi penasaran sekali. Ia maklum bahwa berkat keuletan lawannya, maka amat sukarlah baginya untuk dapat merobohkan lawan ini tanpa mengirim serangan hebat yang dapat mengakibatkan luka berat atau kebinasaan. Maka setelah berpikir agak lama, Gwat Kong lalu mencabut sulingnya yang disimpan pada buntalan pakaian yang diikat di punggungnya. Kemudian dengan suling di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, ia mendesak lagi.
Bukan main terkejutnya hati Song Bu Cu melihat gerakan suling ini, karena tidak saja hebat dan lihai, bahkan lebih berbahaya agaknya dari pada pedang pemuda itu. Ia tidak tahu bahwa Gwat Kong mainkan sulingnya dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, ilmu silat tingkat tinggi yang dipelajari dari Bok Kwi Sianjin. Dengan suling dan pedang ditangannya, maka sekali gus pemuda itu telah mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat.
Sudah tentu Song Bu Cu tidak kuat menghadapi dua ilmu silat yang telah menggemparkan daerah barat dan timur ini. Maka mukanya menjadi pucat dan sepasang pedangnya tak berdaya sama sekali. Pada saat yang tepat, suling di tangan kiri Gwat Kong bergerak menyerang dengan totokan jalan darah di bagian pundak dan pedangnya berkelebat mengancam pergelangan tangan lawan.
Song Bu Cu menjadi bingung oleh karena gerakan kedua senjata lawannya itu benar-benar tak dapat diduga semula, maka ia terpaksa harus miringkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan totokan suling dan menggerakkan siang-kiamnya untuk menangkis sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu ketika kedudukan tubuhnya masih buruk dan lemah, tiba-tiba kaki kanan Gwat Kong menyambar dibarengi dengan ketokan sulingnya pada pergelangan tangan kanan lawannya.
Song Bu Cu memekik nyaring dan untuk kedua kalinya, tubuhnya yang tinggi itu terlempar ke tengah sungai.
Cui Giok gelak terbahak melihat hal ini, maka sambil tertawa-tawa ia lalu mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dan mengancam ulu hati dan leher lawan bertubi-tubi. Lui Siok merasa bingung dan gelisah sekali, terutama karena ia melihat Song Bu Cu telah dikalahkan, maka sambil menangkis ia main mundur saja tanpa dapat membalas serangan Cui Giok.
“Hayo mundur! Terus sampai ke sungai. Kau harus mandi sekali lagi!” Sambil berkata demikian, pedangnya berkelebat menghadang jalan keluar bagi Lui Siok, sehingga si Ular Belang ini hanya mempunyai sejurus jalan, yakni di belakangnya di mana membentang sungai Yung-ting. Makin cepat Cui Giok berjalan dan mendesak, makin cepat pula ia mundur sehingga akhirnya ia sampai di pinggir sungai itu.
“Hayo, lekas lompat ke air! Kau harus mandi lagi seperti kawanmu!”
Karena pedang Cui Giok menyambar-nyambar dengan hebatnya, terpaksa Lui Siok melompat ke belakang dan “byuuur..!” untuk kedua kalinya iapun dipaksa minum air sungai.
Bukan main hebatnya hinaan yang diderita oleh kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu. Mereka adalah jago-jago silat yang terkenal dan ditakuti, dan banyak orang kang-ouw menganggap mereka sebagai ahli-ahli silat berkepandaian tinggi. Siapa nyana bahwa pada hari ini mereka bertemu dengan dua orang muda yang mempermainkan mereka semaunya, seakan-akan mereka adalah dua ekor tikus kecil berhadapan dengan dua kucing besar.
Lebih-lebih Song Bu Cu. Pangcu ini telah membuat nama besar dan belum pernah ia dikalahkan orang dengan mudah. Kini setelah dipaksa untuk berenang melawan air sungai oleh seorang pemuda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw, ia merasa gemas dan marah, sedih, malu dan penasaran sehingga ketika tubuhnya telah timbul dipermukaan air lagi, ia memekik keras dan pingsan. Tubuhnya hanyut dibawa air dan baiknya pada saat itu tubuh Lui Siok yang melompat ke air jatuh menimpa badannya yang mulai hanyut. Lui Siok tadinya merasa terkejut sekali dan mengira bahwa yang ditimpa oleh tubuhnya adalah seekor buaya atau ikan besar. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang disangka ikan itu bukan lain adalah Song Bu Cu, ia segera menolongnya dan membawanya ke pinggir.
Ia dan Song Bu Cu lalu ditolong oleh tiga orang anak buahnya dan ketika Lui Siok memandang ke arah kedua orang muda lawannya, ternyata Cui Giok dan Gwat Kong telah naik ke atas perahu dan menyuruh nelayan tua itu mendayung perahu ke tengah. Sepasang anak muda itu berdiri di kepala perahu sambil tersenyum memandangnya. Lui Siok tak dapat berkata sesuatu hanya mendelikkan mata memandang penuh kebencian dan sakit hati.