Pendekar Pemabuk Chapter 67

NIC

“Liok-siocia,” kata Thio Sin. “Ketahuilah bahwa orang gagah ini adalah Ang Sun Tek, pembantu istimewa dari kerajaan. Biarpun ia tidak mengenakan pakaian seragam, namun Ang-ciangkun menduduki pangkat amat tinggi di kalangan perwira kerajaan.”

“Aku tidak perduli dan tidak ingin mengetahui hal itu!” jawab Tin Eng dengan kasar.

Orang yang bernama Ang Sun Tek itu tertawa bergelak. Dia inilah ketua dari Liok-te-Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) yang kini menjadi pembantu-pembantu istimewa dari pasukan pengawal kerajaan. Ang Sun Tek inilah murid Lok Kong Hosiang yang telah mewarisi ilmu silat Pat- kwa To-hoat, ahli golok yang amat lihai dan yang menjagoi di seluruh daerah utara. Dialah yang kini sedang dicari-cari oleh Gwat Kong dan Cui Giok. “Nona Liok, sudah lama mendengar namamu yang hebat. Bukankah kau yang dijuluki Sian- kiam Lihiap dan yang menerima tugas dari kedua anak Pangeran Pang Thian Ong untuk mencari harta terpendam? Ha ha! Kebetulan sekali, kami serombongan ini sengaja keluar dari kota raja untuk mencari permata yang telah terjatuh ke dalam tangan kedua putera she Pang itu. Selain itu, akupun mendapat pesan dari ayahmu untuk mencarimu dan membawamu kembali ke Kiang-sui!”

“Aku tidak kenal kepadamu dan tidak perduli apa yang sedang kau lakukan, tidak perduli tentang segala urusanmu dengan ayahku!”

“Ha ha ha! Ganas, ganas! Aku hanya menerima pesan ayahmu dan mau atau tidak, kau harus ikut kami pergi ke Kiang-sui untuk menghadap ayahmu!”

Tin Eng menjadi marah dan mencabut pedangnya. “Mau memaksa! Boleh, majulah berkenalan dengan pedangku!”

“Ha ha ha! Sian-kiam Lihiap, si pedang dewa telah mencabut pedangnya Sungguh lihai!” Sambil berkata demikian, Ang Sun Tek menggerakkan kaki tangannya ke kanan kiri dan hebat sekali. Meja kursi yang berada di kanan kirinya, sungguhpun tidak tersentuh oleh kaki tangannya, akan tetapi terdorong jatuh bagaikan disapu angin besar.

Tin Eng terkejut melihat kehebatan tenaga lweekang ini dan Kui Hwa yang melihat ini pun kaget sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Tin Eng takkan dapat menandingi laki-laki ini, maka iapun segera mencabut pedangnya dan melompat di dekat Tin Eng.

“Eh, ada pendekar pedang wanita yang lain lagi. Siapakah kau, nona?” Ang Sun Tek tertawa mengejek.

“Tak perlu aku memperkenalkan namaku kepada segala orang macam kau. Cukup kalau kau kenal namaku sebagai Dewi Tangan Maut!”

Mendengar nama ini, kembali Ang Sun Tek tertawa menghina. “Ah, tidak tahunya ada anak murid Hoa-san-pai di sini. Kau agaknya lebih bijaksana dari pada Sin Seng Cu. Buktinya kau mau menjadi sahabat nona Liok yang menjadi anak murid Go-bi-pai.”

“Kau adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa kepandaianmu itu hanya kau gunakan untuk menghina wanita. Adik Tin Eng tidak mau pulang, mengapa kau hendak memaksanya?”

“Ha ha! Dewi Tangan Maut. Apa kaukira bahwa dengan adanya kau di sini, aku takkan dapat membawa nona Liok pulang ke Kiang-sui.

“Manusia sombong, pergilah!” Tin Eng yang tak dapat menahan sabar lagi melompat maju dan mengirim serangan kilat dengan pedangnya.

Ang Sun Tek tertawa-tawa dan menggunakan kakinya menendang meja kursi melayang ke arah Tin Eng sehingga gadis itu terpaksa menangkis dengan pedangnya. Sekali bacok kursi itu terbelah dua dan jatuh di atas lantai. Dengan perbuatannya itu, Ang Sun Tek membuat ruangan itu menjadi lega. “Nah, majulah dan coba perlihatkan ilmu pedangmu!” ia menantang Tin Eng yang segera mau menyerbu. Tadinya Ang Sun Tek mengira bahwa ilmu pedang Tin Eng tentulah ilmu pedang cabang Go-bi-pai. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat pedang itu berkelebat cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.

Terpaksa ia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari sambil mempergunakan kedua tangannya mainkan ilmu silat semacam eng-jiauw-kang untuk merampas pedang di tangan Tin Eng. Kalau saja Tin Eng mempergunakan ilmu pedang Go- bi-pai, dalam beberapa jurus saja pedangnya tentu telah kena dirampas oleh Ang Sun Tek.

Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam- hoat yang luar biasa lihainya, maka jangankan untuk dapat merampas, bahkan kalau dilanjutkan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, belum tentu Ang Sun Tek akan dapat mengalahkannya.

Barulah Ang Sun Tek merasa terkejut dan tidak berani memandang rendah. Ia berseru keras dan mencabut keluar goloknya dan ketika goloknya itu digerakkan, maka menyambarlah angin dingin yang membuat Tin Eng tercengang. Bukan main hebatnya ilmu golok ini dan luar biasa pula tenaga sambarannya. Ia tidak tahu bahwa ilmu golok ini adalah Pat-kwa To- hoat yang merupakan ilmu silat yang paling tinggi untuk daerah utara.

Melihat betapa dalam segebrakan saja golok Ang Sun Tek telah menindih dan mendesak pedang Tin Eng, Kui Hwa lalu melompat maju dan membantu Tin Eng. Sementara itu, empat orang perwira kerajaan yang mengikuti Ang Sun Tek hanya berdiri di pinggir menjadi penonton saja oleh karena mereka tidak berani membantu tanpa diperintah dari Ang Sun Tek.

Biarpun dikeroyok oleh dua orang gadis pendekar itu, namun ilmu golok Ang Sun Tek benar lihai sekali. Tiap kali goloknya membentur pedang lawan, Tin Eng atau Kui Hwa merasa tangan mereka tergetar dan pedang mereka hampir terlepas dari genggaman. Hoa-san Kiam- hoat yang dimainkan oleh Kui Hwa adalah ilmu pedang yang lihai, sedangkan Sin-eng Kiam- hoat lebih luar biasa lagi. Akan tetapi kalau kedua ilmu pedang itu digunakan berbareng oleh dua orang untuk mengeroyok, kedua ilmu pedang ini tidak mendatangkan kehebatan yang berganda. Biarpun keduanya merupakan ilmu pedang yang lihai, akan tetapi memiliki keistimewaan masing-masing dan gerakannya yang berbeda.

Hal ini menguntungkan Ang Sun Tek karena kalau saja yang mengeroyoknya itu keduanya memiliki ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat tentu akan lebih berat baginya. Atau kalau saja yang mengeroyoknya adalah dua orang Tin Eng, agaknya akan sukar baginya untuk menjatuhkan lawan-lawannya.

Dengan gerakan-gerakan ilmu golok Pat-kwa To-hoat, yang mempunyai dasar delapan segi itu, maka ia dapat menghadapi dua orang lawannya dengan baik, bahkan ia selalu berada di pihak yang mendesak. Baik Tin Eng maupun Kui Hwa telah mulai lambat dan kacau gerakan pedang mereka, oleh karena mereka telah dibikin bingung oleh perobahan-perobahan sinar golok yang menyilaukan mata. Ketika Ang Sun Tek sambil tertawa-tawa memperhebat gerakannya, maka sibuklah mereka menangkis dan mengelak.

“Lepas senjata!” Ang Sun Tek berseru keras dan terdengar bunyi “trang!!” keras sekali. Tahu- tahu pedang di tangan Kui Hwa telah terlempar dan mencelat ke atas sampai menancap pada langit-langit rumah makan itu. “Ha ha ha! Dewi Tangan Maut, aku merasa malu untuk melukai seorang yang tak pantas menjadi lawanku. Kalau kau masih penasaran, suruhlah Sin Seng Cu atau yang lain mencariku di kota raja!” kata Ang Sun Tek sambil mengelak dari sambaran pedang Tin Eng. Kemudian secepat kilat tangan kirinya menotok Tin Eng. Gadis itu menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya menjadi lemas tidak berdaya lagi.

“Thio-ciangkun, rawatlah baik-baik nona majikanmu itu!” kata Ang Sun Tek kepada Thio Sin yang segera maju dan menolong Tin Eng yang sudah tak berdaya itu. Sementara itu dengan hati gemas, marah, sedih dan malu, Kui Hwa melompat pergi meninggalkan tempat itu.

Tak jauh dari situ, ia melihat Pui Kiat dan Pui Hok datang menunggang kuda. Kui Hwa lalu memberi tanda-tanda kepada mereka sehingga kedua orang muda itu memutar kembali kuda mereka dan mengikuti sumoi mereka itu keluar dari kota. Melihat wajah Kui Hwa yang nampak pucat dan bersungguh-sungguh dan tidak bersama dengan Tin Eng, mereka merasa gelisah.

“Sumoi, apakah yang telah terjadi?” tanya Pui Kiat setelah mereka tiba di luar kota. “Dan dimanakah nona Liok?” tanya Pui Hok. “Mengapa ia tidak bersamamu?”

Dengan singkat Kui Hwa lalu menuturkan tentang pengalamannya bertemu dengan Ang Sun Tek yang kosen dan yang telah berhasil menawan Tin Eng untuk dipulangkan ke Kiang-sui.

“Celaka!” kata Pui Kiat. “Dia adalah kepala dari Liok-te Pat-mo yang amat terkenal Pat-kwa- tin mereka. Dia telah memandang rendah Hoa-san-pai kita. Benar-benar kurang ajar!”

“Mari kita tolong nona Liok!” kata Pui Hok.

“Tidak ada gunanya,” kata Kui Hwa. “Orang she Ang itu terlalu tangguh bagi kita. Aku sendiri bersama Tin Eng sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Ilmu goloknya amat luar biasa. Selain itu, ia masih mempunyai kawan yang berkepandaian tinggi, semua perwira dari kerajaaan yang tak boleh dipandang ringan. Kalau kita bertiga pergi menolong, kita sendiri yang akan mendapat bencana.”

“Aku tidak takut!” seru Pui Hok bersemangat. “Apakah kita harus membiarkan saja nona Liok tertawan?”

“Bukan begitu, ji-suheng,” kata Kui Hwa. “Aku sendiri tentu akan membela mati-matian apabila mengetahui bahwa Tin Eng berada dalam bahaya. Akan tetapi ia tertawan oleh kawan-kawan ayahnya sendiri dan maksud mereka hanya akan membawa Tin Eng secara

paksa kembali ke rumah orang tuanya. Memang Tin Eng pergi dari rumah orang tuanya tanpa izin ayahnya.”

Kemudian karena terpaksa, secara singkat Kui Hwa menuturkan riwayat Tin Eng yang dipaksa kawin sehingga lari dari rumahnya dan betapa mereka berdua bertemu dengan Phang Gun dan Phang Si Lan yang mempercayakan pengambilan harta terpendam kepada Tin Eng dan dia sendiri. “Oleh karena itu, keselamatan Tin Eng kurasa takkan terganggu. Mereka takkan berani mengganggu puteri dari Kepala daerah Liok di Kiang-sui. Yang kukhawatirkan hanya kalau- kalau mereka akan dapat memaksa Tin Eng membongkar rahasia peta tempat harta pusaka itu tersimpan. Dan terutama sekali, tantangan Ang Sun Tek amat menggemaskan hati, maka sekarang baiknya diatur begini saja. Ang Sun Tek dan para kawannya belum kenal kepada suheng berdua, maka suheng berdua baiknya mengikuti perjalanan mereka, sambil menjaga kalau-kalau Tin Eng mengalami bencana. Pendeknya, suheng berdua mengawal Tin Eng secara sembunyi. Aku sendiri hendak melaporkan hal ini kepada suhu dan susiok agar supaya penghinaan Ang Sun Tek terhadap Hoa-san-pai dapat terbalas. Kemudian aku akan mewakili Tin Eng mengambil harta pusaka itu sebelum didahului oleh Ang Sun Tek atau pesuruh dari Pangeran Ong Kiat Bo yang lain.”

Pui Kiat dan Pui Hok menyatakan persetujuan dan kesanggupan mereka, terutama sekali Pui Hok yang tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan perasaan tertarik dan sukanya kepada Tin Eng dan pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan nona cantik itu. Dengan diam-diam mereka mengikuti rombongan yang dipimpin oleh Ang Sun Tek itu, yang tidak melanjutkan perjalanan mereka ke Hong-san, akan tetapi kembali ke utara dan kini menuju Kiang-sui.

Sebetulnya, ketika mereka memasuki kota itu dan bertemu dengan pasukan berkuda di bawah pimpinan Ang Sun Tek, secara iseng Pui Kiat dan Pui Hok mencari keterangan tentang hal mereka dan mendapat penuturan pengurus hotel bahwa rombongan berkuda itu adalah perwira-perwira kerajaan yang akan pergi ke Hong-san. Tadinya mereka tidak mengambil perhatian dan mereka tertarik ketika mereka bertemu dengan Kui Hwa dan mendapat keterangan bahwa Kui Hwa dan Tin Eng juga sedang menuju ke Hong-san. Kini setelah mendengar penuturan Kui Hwa, barulah kedua saudara Pui ini mengerti apakah maksud semua orang pegi ke Hong-san, yakni mencari harta pusaka yang tersembunyi di daerah pegunungan itu.

Sebagaimana yang telah diduga oleh Kui Hwa, Tin Eng tidak mendapat gangguan di tengah perjalanan, sungguhpun ia tidak berdaya sama sekali, naik kuda di tengah-tengah rombongan, Ang Sun Tek yang kosen itu senantiasa mendampinginya untuk menjaga kalau-kalau nona pendekar itu melarikan diri.

****

Kita tinggalkan dulu pasukan berkuda yang membawa Tin Eng menuju Kiang-sui dan yang selalu diikuti jejaknya oleh Pui Kiat dan Pui Hok itu dan marilah kita menengok keadaan Bun Gwat Kong dan Sie Cui Giok yang melakukan perjalanan bersama.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan bahwa nona Sie Cui Giok yang gagah perkasa itu sedang melakukan perjalanan untuk mencari Liok-te Pat-mo dan membalas dendam kakeknya yang pernah dikalahkan oleh delapan iblis bumi yang lihai itu dan Bun Gwat Kong yang merasa tertarik mendengar hal ini lalu ikut pergi bersama Cui Giok untuk bersama-sama mencoba kelihaian Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo itu.

Karena perjalanan mereka ke kota raja itu, melalui Hun-lam, maka setelah lewat di kota itu, Gwat Kong menyatakan kepada kawan seperjalanannya untuk mampir sebentar.

“Apakah kau ada keperluan di kota ini?” tanya Cui Giok yang ingin buru-buru sampai di kota raja. Gwat Kong belum pernah menceritakan kepada nona ini perihal Tin Eng dan ia mengira bahwa Tin Eng masih tinggal di rumah Lie-wangwe, yakni paman dari Tin Eng yang tinggal di kota Hun-lam. Mendengar pertanyaan Cui Giok ini ia menjadi bingung karena sukar untuk menyebut nama Tin Eng tanpa menceritakan semua riwayatnya dengan gadis itu. Akan tetapi akhirnya ia menjawab juga, “Aku mempunyai seorang kawan baik di kota ini.”

“Siapa dia? Siapa namanya?”

Gwat Kong berwatak jujur dan sukar sekali baginya untuk membohong atau menyembunyikan sesuatu, maka ia menjawab perlahan, “Namanya Tin Eng, ia she Liok.”

“Liok Tin Eng? Hm, indah sekali nama ini untuk seorang wanita!” Muka Gwat Kong menjadi merah, “Memang dia seorang wanita.” “Hmm, namanya sudah indah, tentu orangnya muda lagi cantik.” “Eh, Cui Giok. Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?”

“Apakah kau menganggap aku sebodohnya orang? Kau katakan bahwa dia adalah kawan baikmu. Kalau dia bukan seorang dara jelita, habis apakah kau berkawan baik dengan seorang nenek-nenek tua yang ompong?”

Mau tak mau Bun Gwat Kong tertawa juga mendengar ucapan jenaka ini. Akan tetapi aneh sekali, ketika ia memandang muka gadis itu, Cui Giok tidak tertawa geli sebagaimana dugaannya, bahkan gadis itu nampak tak senang dan cemberut.

“Gwat Kong, apakah aku harus ikut pula mengunjunginya?”

“Tentu saja!” jawab Gwat Kong sambil memandang heran. “Mengapa tidak ikut?” Cui Giok menundukkan mukanya. “Ah, .... aku khawatir kalau-kalau hanya akan

Posting Komentar