Pendekar Pemabuk Chapter 64

NIC

Tadinya Kui Hwa masih merasa ragu-ragu untuk menuturkan riwayatnya. Akan tetapi melihat pandang mata Tin Eng yang jujur dan karena ia memang merasa suka kepada dara ini dan mempunyai perasaan seolah-olah Tin Eng menjadi adiknya sendiri, ia lalu menuturkan riwayatnya secara singkat.

TAN KUI HWA adalah puteri seorang hartawan yang bernama Tan Kia Swi, yakni Tan- wangwe yang dahulu telah mencelakai orang tua dan keluarga Bun Gwat Kong! Semenjak kecilnya, Tan Kui Hwa memang nakal sekali dan ia memiliki watak seperti seorang anak laki- laki saja. Bahkan ia suka bermain-main dengan anak lelaki yang menjadi anak tetangga ayahnya. Orang tuanya mendiamkannya, sebagai anak orang hartawan yang amat dimanja, diturut belaka oleh ayah bundanya.

Ketika ia berusia sepuluh tahun, ia masih suka bermain-main di luar rumah tangga. Kawan- kawannya yang sebagian besar terdiri anak-anak lelaki, bermain gundu, berkejar-kejaran, bahkan ikut pula memanjat pohon-pohon tinggi mencari sarang-sarang burung atau ikut pula berkelahi.

Pada suatau hari ia pergi bermain dengan beberapa orang kawan agak jauh dari rumahnya. Ketika mereka tiba di kampung lain, mereka bertemu dengan anak-anak kampung itu dan sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak suka mengganggu anak-anak lain yang datang dari kampung lain. Tadinya anak-anak kampung itu hanya mengeluarkan ucapan-ucapan mengolok-olok saja, yang dibalas oleh olok-olok lain. Akan tetapi seorang di antara mereka yang melihat Kui Hwa lalu berkata, “Eh anak perempuan mengapa bermain-main dengan anak-anak lelaki. Sungguh tak tahu malu!”

“Barangkali dia bukan perempuan. Ia tentu seorang anak banci!” kata anak lain. “Mari kita lihat!” seru yang lain.

“Ya, ya ... mari kita buktikan!” kata lain anak lagi dan mereka lalu hendak menangkap Kui Hwa.

Semenjak kecilnya, Kui Hwa memang tukang berkelahi. Adatnya keras dan hatinya tabah luar biasa. Mendengar betapa ia dihina, ia lalu memaki-maki dan cepat menyerang anak yang menyebutnya banci tadi. Bukan main kagetnya anak itu oleh karena tak disangkanya sama sekali bahwa anak perempuan itu berani menyerangnya dan ternyata pukulannya keras dan kuat sehingga begitu kena dipukul ia jatuh terguling dengan pipi biru. Maka terjadilah perkelahian keroyokan yang ramai sekali di jalan itu. Tan Kui Hwa biarpun seorang anak perempuan, akan tetapi oleh karena ia memiliki keberanian luar biasa dan kenekatan berkelahi, maka sepak terjangnya mengecilkan hati anak-anak itu. Kui Hwa memukul, menendang, mencakar, dan menggigit. Tidak ada anak yang berani mendekatinya.

Pada saat ramai-ramainya anak-anak itu berkelahi, tiba-tiba datang tosu (pendeta agama To) yang segera menghampiri mereka dengan langkah lebar. Maka tosu memandang kepada Kui Hwa dengan kagum sekali. Belum pernah ia melihat seorang anak perempuan yang demikian tabah dan ganas dalam berkelahi. Memang amat ganjil kalau dilihat betapa seorang anak perempuan kuat dalam perkelahian keroyokan antara anak-anak lelaki.

“Hai, jangan berkelahi!” seru tosu itu dan semua anak-anak cepat menoleh memandang ke arah orang yang mencegah mereka. Bukan main terkejut hati mereka ketika melihat seorang tosu yang bermuka aneh sekali. Kedua mata tosu itu yang nampak hanya putihnya saja, karena manik matanya yang hitam hanya kecil sekali, bergerak-gerak liar ke kanan kiri menimbulkan pemandangan yang menakutkan. Hidungnya mendongak ke atas, mulutnya lebar sehingga hampir sampai ke telinga dengan dua buah gigi menonjol keluar seperti caling.

Tanpa diberi komando lagi, anak-anak itu melarikan diri dengan ketakutan. Semua anak melarikan diri, kecuali Kui Hwa sendiri yang memandang dengan heran dan juga takut-takut. Ia teringat akan dongeng-dongeng tentang setan dan iblis. Akan tetapi hatinya yang tabah membantah, karena ia mendengar di dalam dongeng-dongeng bahwa setan dan iblis hanya keluar di waktu malam hari. Saat itu mata hari telah naik tinggi, tak mungkin ada iblis berani keluar.

“Anak yang gagah, kau siapakah dan di mana rumahmu?”

“Namaku Kui Hwa dan rumahku di sana!” Anak itu menunjuk ke arah tempat tinggal orang tuanya.

“Mari kau kuantar pulang.” Kata tosu itu yang lalu memegang tangan Kui Hwa untuk menguji ketabahan anak ini. Akan tetapi Kui Hwa sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia

tersenyum-senyum bangga. Alangkah akan herannya kawan-kawannya. Ia akan memperlihatkan bahwa ia lebih berani dan tabah dari pada mereka semua. Maka ia lalu berjalan bersama tosu itu menuju ke rumahnya dengan dada terangkat tinggi-tinggi. Dan benar saja, anak-anak yang melihat ia berjalan bersama tosu itu diam-diam mengintai dengan hati berdebar dan mengulurkan lidah dan di dalam hati mereka amat mengagumi keberanian Kui Hwa. Tosu ini adalah Thian Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang berilmu tinggi, yang kebetulan turun gunung untuk melakukan perjalanan merantau. Ia adalah suheng dari Sin Seng Cu tosu Hoa- san-pai yang telah berhasil mengalahkan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai sehingga kejadian itu menimbulkan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Go-bi-pai.

Thian Seng Cu lalu menemui Tan-wangwe dan menyatakan hasrat hatinya melatih silat kepada Kui Hwa. Tadinya orang tua Kui Hwa tidak setuju, akan tetapi Kui Hwa berkeras mengangkat guru kepada tosu itu dengan rengek dan tangis sehingga kedua orang tuanya terpaksa menyetujuinya dengan syarat bahwa latihan ilmu silat itu harus dilakukan di rumah mereka.

Selama tiga tahun Thian Seng Cu melatih kepada Kui Hwa di rumah Tan-wangwe. Akan tetapi setelah anak itu berusia tiga belas tahun, pada suatu hari ia pergi meninggalkan rumah bersama gurunya tanpa memberitahukan kepada ayah bundanya. Hanya meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan bahwa untuk memperdalam ilmu silat, Kui Hwa ikut gurunya naik ke gunung Hoasan. Ia sengaja pergi dengan diam-diam oleh karena maklum bahwa apabila ia minta ijin dari kedua orang tuanya tentu tak akan mungkin dapat.

Demikianlah, selama enam tahun mempelajari ilmu silat di puncak Hoasan, bersama dengan kedua orang suhengnya yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok dibawah asuhan Thian Seng Cu, Sin Seng Cu dan lain tokoh Hoa-san-pai. Setelah tamat belajar silat, Kui Hwa kembali ke rumah orang tuanya dan disambut dengan kegirangan besar.

Dasar watak yang telah menjadi kebiasaan di waktu masih kanak-kanak, ternyata masih belum meninggalkan tabiat Kui Hwa. Kini setelah menjadi dewasa, menjadi seorang dara yang cantik dan gagah perkasa, kesukaannya untuk berkelahi masih saja ada. Tiap kali ia mendengar ada seorang ‘jago silat’ yang berpengaruh, tidak perduli tempat jauh, tentu ia akan pergi mengunjunginya untuk ditantang pibu (mengadu kepandaian silat). Karena ilmu silatnya memang lihai maka entah sudah berapa banyaknya jago-jago silat dan guru-guru silat yang roboh di dalam tangannya.

Selain ini, juga Kui Hwa amat benci kepada orang-orang jahat, terutama para perampok dan bangsat-bangsat pemetik bunga. Ia tidak mengenal ampun terhadap mereka ini dan di mana saja ia bertemu dengan orang jahat, ia tak akan merasa puas sebelum membasminya, membunuh atau sedikitnya melukainya. Oleh karena ini, ia diberi julukan Dewi tangan maut.

Pada suatu hari, ia mendengar bahwa di kota Lok-se terdapat seorang penjahat yang melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang. Kui Hwa paling benci kepada bangsat Jay-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), maka tanpa banyak menunda lagi, ia lalu menuju ke kota Lok-se dan melakukan pengintaian di waktu malam. Ia mengenakan pakaian hitam dan mendekam di atas genteng untuk menanti munculnya penjahat itu.

Baru setelah fajar hampir menyingsing, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di atas sebuah bangunan besar. Ia cepat mengejar dan mengintai. Alangkah marahnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Jay-hwa-cat yang dicari-carinya, karena orang itu dengan gerakan yang amat cepat melompat ke dalam rumah dan memasuki kamar seorang gadis muda, puteri tuan rumah. Dengan amarah meluap-luap, Kui Hwa lalu membentak keras sehingga penjahat itu menjadi terkejut dan keluar dari jendela kamar itu. Kui Hwa telah menanti di atas genteng dan mereka bertempurlah dengan amat sengit dan mati-matian.

Penjahat itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak buruk, ilmu pedangnya cukup cepat sehingga ia dapat bertahan sampai beberapa lama terhadap serangan-serangan pedang Kui Hwa. Gadis ini setelah mengenali ilmu pedang penjahat itu sebagai ilmu pedang dari cabang Go-bi-pai, membentak makin marah,

“Hmmm, dasar anak-anak murid Gobi amat rendah budi dan jahat. Kau membikin malu saja kepada tokoh Go-bi-pai.”

“Ha ha, perempuan sombong. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah orang Hoasan? Jangan banyak mulut, kau sudah berani berlancang tangan mencampuri urusanku.

Keluarkanlah kepandaianmu!”

Kui Hwa menyerang dengan ganasnya dan memang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada penjahat itu, sehingga dengan mengeluarkan suara keras, pedang di tangan penjahat itu terpental dan terlepas dari pegangan. Penjahat itu berseru kaget, memutar tubuh dan melarikan diri.Akan tetapi, mana Kui Hwa mau melepaskannya. Ia amat membenci Jay-hwa- cat dan sebelum ia dapat membunuh atau melukainya, ia tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Bangsat cabul, jangan harap akan dapat lari dari aku!” Bentaknya sambil mengejar cepat.

Penjahat itu, biarpun kepandaian ilmu pedangnya kalah oleh Kui Hwa, namun memiliki ilmu lari cepat yang lumayan juga. Agaknya ia telah melatih ilmu berlari cepat ini yang memang amat perlu dan penting bagi pekerjaannya. Namun Kui Hwa tidak mau mengalah dan mengejar terus.

Penjahat itu berlari keluar dari kota, terus dikejar oleh Kui Hwa sampai pagi. Ketika mereka tiba di sebuah kaki bukit, tiba-tiba muncul dua orang yang menghadang di jalan. Penjahat itu tadinya terkejut melihat dua orang itu berjalan dengan ilmu lari cepat yang tinggi, akan tetapi ketika ia mengenal mereka, ia menjadi girang dan berkata,

“Locianpwe ...... tolonglah teecu !”

Kedua orang itu ternyata adalah seorang tosu tua dan seorang pemuda yang tampan dan mereka lalu mempercepat langkah menghampiri penjahat itu yang segera bersembunyi di belakang mereka. Tosu itu tak lain adalah Bong Bi Sianjin dan pemuda itu adalah muridnya yaitu Gan Bu Gi. Memang tokoh-tokoh Kim-san-pai ini telah mengadakan hubungan dengan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan telah berjanji untuk membantu dalam permusuhan Go-bi- pai melawan Hoa-san-pai. Oleh karena itu, sebagian besar anak murid Go-bi-pai telah kenal dengan Bong Bi Sianjin dan muridnya Gan Bu Gi. Juga anak murid Go-bi-pai yang tersesat dan menjadi penjahat itupun kenal pula kepada mereka.

Melihat munculnya seorang tosu dan seorang pemuda tampan yang agaknya hendak membantu penjahat itu, Kui Hwa melintangkan pedangnya di dadanya dan memandang kepada mereka dengan tajam. “Sicu (tuan yang gagah),” kata tosu itu kepada si penjahat. “Mengapa kau dikejar-kejar oleh nona ini?”

“Tolonglah, locianpwe. Dia adalah anak murid Hoa-san-pai! Kami telah bertempur, akan tetapi teecu kehilangan pedang dan dan terpaksa melarikan diri!”

“Hmm, orang-orang Hoa-san-pai memang selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri. Nona, biarpun pinto (aku) telah berjanji untuk menghadapi orang-orang Hoa-san-pai dengan pedang ditangan, akan tetapi melihat bahwa kau adalah seorang nona muda, biarlah pinto memberi ampun dan kau boleh pergi dengan aman!”

Ucapan ini benar-benar sombong dan memandang rendah, maka Kui Hwa yang beradat tinggi tentu saja merasa amat tersinggung.

“Totiang, kau seorang pertapa janganlah mencampuri urusan ini. Ketahuilah bahwa anak murid Gobi ini adalah seorang bangsat besar, seorang jay-hwa-cat yang kejam!”

“Perempuan Hoasan tutup mulutmu yang kotor! Tidak malukah kau seorang perempuan mengeluarkan kata-kata kotor itu? Memang tadi aku kurang hati-hati sehingga pedangku terlepas. Sekarang menghadapi jago dari Kim-san-pai kau merasa takut dan hendak mempergunakan ketajaman mulutmu. Cih, tak tahu malu!”

“Bangsat rendah!” Kui Hwa memaki dan menyerbu ke depan, hendak menyerang penjahat itu. Akan tetapi Gan Bu Gi yang telah mencabut pedangnya lalu menangkis serangan itu.

“Kau hendak melindungi penjahat ini?” teriak Kui Hwa sambil memandang tajam.

“Suhu, biar teecu yang menangkap gadis liar ini,” Gan Bu Gi berkata seperti minta izin kepada gurunya yang hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Bagus, kalau begitu kaupun harus mampus di tanganku,” Kui Hwa berteriak garang dan menyerang Gan Bu Gi. Pertempuran terjadi dengan amat serunya. Pemuda itu benar-benar tangguh dan ilmu pedangnya hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Jay- hwa-cat itu. Akan tetapi Kui Hwa tidak takut dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Setelah bertempur sampai seratus jurus lebih dengan amat seru dan saling serang tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan menang. Semalaman suntuk ia tidak tidur menjaga di atas genteng yang dingin dan berangin, lalu ia harus bertempur melawan penjahat itu dan mengejarnya sampai jauh sehingga tubuhnya telah merasa lelah dan lemas.

Kini menghadapi Gan Bu Gi yang benar-benar kosen, membuat ia lelah sekali dan permainan pedangnya mulai kacau dan lemah. Akan tetapi sungguh aneh, ternyata pemuda yang tampan itu tidak bermaksud mencelakainya. Buktinya, tiap kali pedangnya hampir mengenai tubuhnya Kui Hwa, selalu ditariknya dan diserongkan sehingga tidak melukai Kui Hwa.

“Ha ha ha, muridku. Kau agaknya jatuh hati kepada lawanmu!” terdengar tosu itu tertawa bergelak. Kui Hwa melihat betapa muka pemuda itu menjadi kemerahan dan ia sedikit pun merasa jengah dan malu. Akhirnya dengan sabetan yang keras, pedang gadis itu terlepas dari tangan dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Gan Bu Gi berhasil menotok jalan darahnya sehingga ia menjadi lemas dan lumpuh tak berdaya. “Bunuh saja anjing betina Hoa-san-pai ini!” Jay-hwa-cat tadi berseru keras. Akan tetapi Gan Bu Gi segera menjawab,

Posting Komentar