Akan tetapi Gwat Kong tersenyum-senyum sambil menenggak araknya, bahkan lalu bertanya dan angsurkan gucinya,
“Kau suka arak? Ha ha lucu benar. Bukan tuan rumah yang menawarkan arak kepada tamu, sebaliknya tamu yang menawarkan araknya. Tuan rumah macam apakah ini?”
Si Kwi yang sedang marah dan mendongkol, tentu saja merasa makin marah melihat betapa seorang pemuda dusun berani mempermainkannya, maka ia menggerakkan toya yang berada di tangannya sambil membentak,
“Bangsat kurang ajar! Pergilah ke neraka!” Toyanya dikemplangnya dengan sekuat tenaga ke arah guci arak perak yang disodorkan oleh Gwat Kong itu, dengan maksud membuat guci itu pecah berantakan. Akan tetapi, dengan hanya menggerakkan sedikit tangannya yang pegang guci arak, pukulan toya itu mengenai tempat kosong dan Gwat Kong membelalakan mata sambil bersungut-sungut. “Eh eh, hati- hati kawan! Guciku ini bukan guci arak biasa dan kalau sampai rusak, kau harus menggantinya dengan kepalamu!”
Si Kwi makin marah mendengar ini dan kini menggerakkan toyanya menyodok ke arah perut Gwat Kong untuk membuat pemuda itu terpental. Akan tetapi, kembali ia kecele, karena tanpa berpindah tempat duduk, Gwat Kong dapat mengelak sodokan itu dengan miringkan tubuhnya sedemikian rupa sehingga sodokan ujung toya masuk ke bawah lengannya, menyerempet bajunya yang menutupi iga. Ia lalu turunkan lengannya mengempit toya itu dan tangan kanannya tetap mengangkat guci arak dan minum lagi seteguk.
Sia-sia saja Si Kwi hendak menarik kembali toyanya. Ia membetot-betot sekuat tenaga, makin kuatlah kempitan lengan Gwat Kong.
Kalau Si Kwi tidak sedang marah dan mendongkol tentu akan terbuka matanya dan maklum bahwa pemuda ini bukanlah orang yang boleh diperlakukan sembarangan. Akan tetapi, ia sedang marah sekali, maka ketika ia tidak dapat menarik kembali toyanya, tiba-tiba ia meludah ke arah muka Gwat Kong untuk menghinanya.
Semenjak tadi Gwat Kong hanya hendak mempermainkan orang ini saja dan sama sekali tidak mau menjatuhkan tangan keras. Akan tetapi melihat sikap orang yang tiba-tiba meludah kepadanya itu, timbul nafsu marahnya. Ia cepat mengelak dan terpaksa melepaskan kempitan toya itu. Kemudian dari mulutnya tersemburlah arak obat itu, dibarengi bentakan nyaring.
Puluhan titik arak yang berwarna kuning keemasan itu menyambar ke arah muka Si Kwi yang menjadi terkejut sekali dan tidak sempat mengelak. Ketika titik-titik arak itu mengenai kulit mukanya, Si Kwi menjerit ngeri dan terhuyung-huyung. Toyanya terlepas dari tangan dan kedua tangannya digunakan untuk menutup mukannya yang terasa perih dan panas sekali seakan-akan kulit mukanya ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum!
Darah membasahi seluruh mukanya biarpun semburan arak itu hanya melukai kulitnya akan tetapi demikian kerasnya sehingga kulitnya itu terluka dan mengeluarkan darah. Masih untung bagi Si Kwi bahwa ia tadi menutup matanya ketika butir-butir arak itu menyambar, kalau tidak tentu matanya akan menjadi buta.
MELIHAT betapa Si Kwi berjongkok dan menutup mukanya sambil mengaduh-aduh, Cong Si Ban menjadi terkejut sekali dan juga marah. Tanpa bertanya lagi siapa adanya pemuda itu dan tanpa mengingat bahwa sebetulnya adiknya sendirilah yang mencari penyakit dan bersikap sewenang-wenang terhadap pemuda itu. Si Ban telah maju dan menghantam dengan toyanya ke arah kepala Gwat Kong.
Pada saat itu, Gwat Kong masih duduk di tempat semula. Melihat sambaran toya di tangan Si Ban ini, ia maklum bahwa kepandaian Si Ban lebih lihai dari Si Kwi. Maka tanpa membuang waktu lagi, ia lalu menggelindingkan tubuhnya ke kiri sambil membawa guci araknya dan ketika ia melompat berdiri, ternyata bahwa guci araknya telah digantungkan ke pinggang dan kini tangan kanannya telah memegang ranting pohon yang tadi dipungutnya ketika ia menggelundung dan menghindarkan diri dari sambaran toya Si Ban. Ia tersenyum dan diam- diam ingin menguji kepandaiannya yang baru dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, yakni ilmu to Sin-hong Tung-hoat.
Melihat gerakan Gwat Kong ketika mengelak dari sambaran toyanya, Si Ban maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang “berisi” maka diam-diam ia mengeluh mengapa hari ini demikian banyaknya orang-orang pandai datang mengganggunya! Ia tidak tahu hubungan apakah adanya pemuda ini dengan gadis dari selatan itu. Akan tetapi karena melihat adiknya telah dilukai, ia lalu mendesak maju dengan mainkan toyanya dalam ilmu toya Sai-cu-tung- hoat yang juga memiliki gerakan amat ganas dan dahsyat.
Kalau tadi ia merasa bahwa menghadapi ilmu pedang nona itu ia akan kalah, maka kini ia hendak mendapat kemenangan dari pemuda yang hanya pegang sebatang ranting ini. Akan tetapi, bukan main terkejutnya ketika dalam satu gebrakan saja ia hampir celaka! Ketika ia mulai menyerang dengan membabat ke arah leher pemuda itu dengan gerakan cepat dan keras dari kanan ke kiri, Gwat Kong tidak mengelak mundur.
Akan tetapi ia diam saja dan menanti sampai toya itu datang dekat di pinggir pundaknya. Tiba-tiba pemuda ini merendahkan tubuh dan melangkah maju di bawah sambaran toya dan mengirim tusukan dengan rantingnya ke arah jalan darah Kiu-ceng-hiat di pundak kirinya! Untung bahwa ia masih sempat melepaskan tangan kiri yang ikut memegang toya dan menggunakan tangannya menangkis ranting itu yang membuat lengannya yang menangkis merasa sakit sekali dan ujung ranting itu biarpun tidak mengenai jalan darahnya di pundak, namun masih tetap mengait bajunya di bagian pundak.
Dan “brettt!” sobeklah bajunya. Dalam segebrakan saja mendapat pelajaran sedemikian rupa, Cong Si Ban tentu saja merasa terkejut dan pucat. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan menjaga dirinya rapat-rapat dari serangan ujung ranting di tangan pemuda itu yang kini berkelebatan bagaikan kilat di hari hujan di depan matanya membuat ia merasa silau karena lawannya seakan-akan telah menjadi beberapa orang yang menyerangnya dari seluruh jurusan.
Sementara itu, pertempuran yang berlangsung antara Sin Seng Cu dan Sie Cui Giok makin ramai dan seru sekali. Terdorong oleh wataknya yang tidak mau kalah biarpun mereka telah bertempur lebih dari empat puluh jurus, namun Sin Seng Cu belum merasa puas karena ia belum berhasil mengalahkan gadis muda itu!
Masa dia, seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai, yang telah mengangkat tinggi namanya karena kelihaian ilmu tongkatnya kini tak dapat mengalahkan seorang gadis muda yang masih hijau? Diam-diam ia mengeluh karena benar-benar pedang di kedua tangan gadis itu amat lihai dan sukar sekali dibobolkan oleh tongkat kepala naga di tangannya.
Gadis itu telah meyakinkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat secara sempurna sekali sehingga biarpun dalam hal keuletan dan tenaga ia masih berada di bawah tingkat tosu itu, namun ia dapat mengimbangi permainan silat Sin Seng Cu dan selama itu tidak nampak terdesak sama sekali.
Juga Sie Cui Giok merasa penasaran dan marah melihat kenekatan tosu itu karena desakan- desakan Sin Seng Cu ini benar-benar di luar dugaannya. Tak disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang telah menduduki tempat tinggi itu memiliki watak yang demikian buruk. Maka ia lalu menggertak gigi dan melawan sebaik-baiknya untuk menjaga namanya sendiri. Ia kini tidak mau mengalah dan membalas setiap serangan dengan balasan yang tak kalah lihainya.
Pada saat pertempuran antara mereka sedang berjalan amat ramainya, tiba-tiba ia mendengar seruan kaget dan tubuh seorang tinggi besar terlempar di antara mereka! Keduanya memandang dan melihat bahwa tubuh yang melayang dan terlempar itu adalah tubuh Cong Si Ban! Baik Cui Giok maupun Sin Seng Cu yang sedang mencurahkan perhatian karena menghadapi lawan berat, tadi tidak melihat peristiwa lain terjadi tak jauh dari tempat mereka bertempur yaitu tentang perkelahian antara Gwat Kong melawan kedua saudara Cong.
Maka kini melihat betapa tubuh Si Ban tiba-tiba terlempar dalam keadaan tunggang-langgang ke tengah kalangan pertempuran tentu saja mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran lalu menarik senjata masing-masing dengan cepat agar jangan sampai tersesat ke tubuh Si Ban yang melayang itu. Tubuh itu jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara “bukk!” dan debu dari atas tanah yang tertimpa tubuh itu, sama sekali tak bergerak dan berada dalam keadaan kaku, hanya kedua matanya saja yang masih bisa melirik!
Sin Seng Cu maklum bahwa Si Ban telah ditotok orang secara luar biasa sekali, maka ia lalu maju dan memulihkan totokan itu dengan urutan dan ketukan. Kemudian Sin Seng Cu menoleh ke arah Gwat Kong dan memandang kepada pemuda itu dengan mata tajam. Ia seperti pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana.
Bagaimanakah Si Ban bisa di”terbang”kan dalam keadaan tertotok oleh Gwat Kong?
Ketika kedua orang ini tadi bertempur, makin lama mata Si Ban menjadi silau dan kabur. Ia tak dapat melihat dengan baik lagi dan terpaksa ia lalu memutar toya sedemikian rupa untuk melindungi seluruh tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa bahwa toyanya telah menempel pada ranting di tangan lawannya.
Gwat Kong telah mempergunakan tenaga “cam” (melibat/mengikat) sehingga toya Si Ban menempel pada rantingnya dan tak dapat lepas lagi. Si Ban mengerahkan lweekangnya dan berusaha membetotnya, dan tiba-tiba Gwat Kong melepaskan tenaganya lalu membarengi betotan tenaga Si Ban itu untuk menusukkan rantingnya ke arah sambungan lutut Si Ban! Kalau tusukan itu mengenai sasaran, tentu Si Ban akan roboh berlutut di depannya.
Akan tetapi Si Ban tentu saja tidak mau membiarkan lututnya dihajar, maka ia lalu berseru keras dan melompat ke atas menarik kedua kakinya ke dekat tubuh belakang. Pada saat itu, tak pernah disangkanya, ranting di tangan Gwat Kong kembali menyambar dan kini hendak memukul kepalanya!
Si Ban benar-benar lihai karena dalam keadaan meloncat itu, masih sempat buang tubuh atas ke depan sehingga kepalanya ditundukkan ke bawah mengelak serangan ranting itu. Akan tetapi kini tubuhnya menjadi telungkup dengan kepala dan kaki ditarik bagaikan seekor anjing sedang merangkak.
Gwat Kong masih tidak melepaskan korbannya dan secepat kilat ujung rantingnya menotok jalan darah di iga lawan itu sehingga tubuh Si Ban menjadi kaku. Dan berbareng dengan serangan itu Gwat Kong mengangkat sebelah kakinya menendang pantat lawannya sehingga tubuh Si Ban tanpa dapat dicegah lagi melayang ke depan bagaikan sebutir pelor dan jatuh di tengah-tengah gelanggang pertempuran Sin Seng Cu dan Cui Giok!
Setelah melakukan perbuatan yang nakal itu, Gwat Kong berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan senyum. Ketika ia melihat betapa Sin Seng Cu memandangnya, ia segera menjura dan bertanya, “Sin Seng Cu totiang, apakah selama ini totiang baik-baik saja?”
Sin Seng Cu memandang tajam, kemudian ia teringat dan bertanya, “Bukankah kau pemuda yang mahir ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan kemudian diambil murid oleh Bok Kwi Sianjin?”
Gwat Kong tersenyum, “Totiang memang memiliki pandangan mata yang tajam.”
Sementara itu ketika mendengar bahwa pemuda yang baru datang ini adalah seorang ahli ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan bahkan menjadi murid Bok Kwi Sianjin. Nona baju kuning itu nampak terkejut sekali dan kini ia memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Melihat hubungan pemuda ini yang agaknya telah kenal baik kepada Sin Seng Cu, diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan berpihak kepada tosu itu. Baru menghadapi tosu itu saja ia tadi telah merasa sukar untuk mengalahkannya, apalagi kalau mendapat bantuan pemuda yang memiliki ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat!
“Maafkan, aku tak dapat mengganggu lebih lama lagi!” kata Sie Cui Giok, nona baju kuning itu dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berlari cepat keluar dari pekarangan itu dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.
“Hmm, seorang gadis muda yang memiliki kepandaian mengagumkan,” kata Sin Seng Cu perlahan setelah bayangan gadis itu lenyap. Kemudian ia teringat kepada Gwat Kong dan sambil memandang tajam ia berkata,
“Kau agaknya juga hendak memperlihatkan kepandaian, maka datang-datang kau telah menghina Cong Si Ban!”
Akan tetapi, Gwat Kong hanya mendengar setengah-setengah saja. Oleh karena pikirannya ikut terbang menyusul nona baju kuning yang menarik hati dan yang menimbulkan kekagumannya itu.