Sie Cui Giok maklum bahwa kepandaian Si Ban jauh lebih lihai dari pada Si Kwi, maka ia berlaku hati-hati dan mainkan kedua pedangnya dengan gerakan yang amat indah. Tubuhnya amat lincah dan ketika kedua pedangnya dimainkan, tubuhnya melompat ke sana ke mari bagaikan seekor burung bulu kuning sedang menari-nari kegirangan.
Sin Seng Cu, tosu dari Hoa-san-pai itu ketika melihat permainan pedang nona itu, diam-diam melengak dan memandang dengan mata dipentang lebar. Ia segera mengeluarkan tongkatnya yang hebat, yakni Liong-thouw-koai-tung, tongkat kepala naga dan dengan tongkat di tangan ia melompat ke tengah pertempuran itu sambil berseru, “Tahan dulu!”
Pada saat itu, pedang Cui Giok telah mengurung dan mendesak Cong Si Ban sehingga orang tinggi besar itu hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas karena kedua pedang di tangan Cui Giok tidak memberi kesempatan sedikitpun kepadanya untuk menggerakkan toya dalam penyerangan. Yang amat menggelisahkan dan membuat hati Si Ban menjadi jerih adalah pedang ditangan kiri nona itu, karena setiap kali toyanya terbentur oleh pedang itu, ia merasa betapa toyanya terputar!
Ia tidak dapat mengikuti gerakan sepasang pedang itu karena kedua pedang itu gerakannya amat berlainan, seakan-akan ia menghadapi keroyokan dua orang yang berpedang dari kanan kiri. Melihat keadaan ini, Sin Seng Cu lalu menyodorkan tongkat kepala naga di tangannya itu ditengah-tengah dan memisahkan kedua orang yang sedang bertempur itu.
Cong Si Ban menjadi lega karena ia telah merasa amat khawatir kalau-kalau ia akan dirobohkan oleh gadis muda itu dalam waktu demikian pendeknya, belum juga ada dua puluh jurus mereka bertempur ia telah terdesak demikian hebatnya. Kini melihat tosu itu turun tangan, ia melompat ke belakang dan berseru, “Lihai sekali!”
Sementara itu, gadis baju kuning itu merasa penasaran melihat betapa tiba-tiba tongkat kepala naga ditangan tosu itu telah dilonjorkan di tengah-tengah dan menghalangi penyerangannya terhadap Si Ban yang sudah hampir kalah. Ia lalu menggunakan kedua pedangnya yang digerakkan dengan berlawanan, satu dari atas dan satu dari bawah, untuk menggunting tongkat itu dan untuk membuatnya menjadi terpotong.
Tiga senjata bertemu mengeluarkan suara keras dan gadis itu menjadi terkejut sekali karena jangankan dapat diputuskan oleh guntingan kedua pedangnya, bahkan kedua tangannya, terutama tangan kanan merasa tergetar ketika kedua pedangnya membacok tongkat itu.
Sebaliknya Sin Seng Cu juga merasa kagum dan mengeluarkan seruan memuji ketika merasa betapa tongkatnya seakan-akan terjepit dan sukar ditarik kembali dari guntingan sepasang pedang itu.
Karena maklum bahwa tosu ini lihai sekali, nona itu lalu melompat mundur sambil memutar kedua pedangnya untuk menjaga diri. Akan tetapi Sin Seng Cu tidak menyerangnya, hanya bertanya dengan suara kagum,
“Nona, ilmu pedangmu itu bukankah ilmu pedang Im-yang Siang-kiam? Apakah kau murid Lo-hiapkek (pendekar tua) Sie Cui Lui?”
“Aku adalah cucu dari Sie Cui Lui, tidak tahu siapakah totiang ini?” balas tanya gadis itu.
Sin Seng Cu tertawa. “Ah, pantas saja ilmu pedangmu demikian hebat! Telah lama aku mendengar nama Sie Cui Lui, raja pedang di daerah selatan yang telah menggemparkan kalangan kang-ouw, dan telah lama aku ingin sekali merasai kelihaian ilmu pedangnya. Kebetulan sekali sekarang aku bertemu dengan ahli warisnya yang telah memiliki ilmu pedang Im-yang Siang-kiam. Ketahuilah nona, pinto adalah seorang dari Hoa-san-pai yang bernama Sin Seng Cu. Karena nona adalah cucu dari orang tua gagah perkasa Sie Cui Lui, maka melihat mukaku harap kau habiskan saja perkara dengan kedua saudara Cong ini. Juga Cong-sicu (orang-orang gagah she Cong) kuharap suka menghabiskan perkara ini. Nona ini adalah keturunan seorang gagah yang patut kita jadikan kawan, bukan lawan!”
Cong Si Ban telah merasai kelihaian nona itu, maka tentu saja ia setuju dengan omongan tosu itu. Apalagi karena iapun telah mendengar nama besar Im-yang Siang-kiam. Maka ia lalu menjura dan menyatakan maafnya. Sie Cui Giok melihat mereka bersikap ramah dan sungguh-sungguh juga menjadi sabar kembali dan membalas dengan menjurah. “Aku yang muda baru saja keluar dari kampung sendiri dan masih kurang pengalaman, maka banyak mengharap maaf dari cuwi yang lebih pandai. Tentu saja aku yang muda dan bodoh tidak mau mencari permusuhan. Hanya saja kuharap sukalah orang-orang yang mempunyai harta dan kepandaian menaruh sedikit belas kasihan kepada para petani yang miskin dan tidak berdaya!”
Sin Seng Cu kembali tersenyum. “Kau masih muda akan tetapi hatimu mulia, nona. Sungguh membuat pinto merasa kagum sekali. Memang perbuatanmu benar dan sudah menjadi kewajiban kedua saudara Cong untuk menolong para petani yang miskin. Kalau nona tidak datang, tentu pinto juga akan minta perhatian mereka akan hal ini. Sekarang nona telah datang dan berkenalan dengan kami, maka pinto minta kepadamu sukalah memperlihatkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat itu barang sepuluh jurus untuk menambah kegembiraan kedua mataku yang sudah tua.”
Sie Cui Giok maklum bahwa tosu tokoh Hoa-san-pai ini memiliki watak yang tidak mau kalah dan sedikit menyombongkan kepandaian sendiri, maka ia tak dapat menghindarkan diri dari tantangan ini, dan karena ia maklum pula bahwa tosu ini telah memiliki kepandaian yang amat tinggi. Maka kalau ia tidak mengerahkan kepandaiannya, ia takkan bisa menang.
“Harap totiang suka berlaku murah kepada aku yang muda,” kata gadis itu yang telah siap pula dengan sepasang pedangnya.
Sin Seng Cu lalu menggerakkan tongkat kepala naganya di tangan dengan sambaran keras sambil berseru, “Lihat tongkat!”
Sie Cui Giok mengelak cepat dan merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya, kaki kanan di belakang ditekuk rendah dan kaki kiri dilonjorkan ke depan sehingga tongkat itu menyambar di atas kepalanya. Kemudian gadis itu dengan amat cepatnya menggerakkan tangan kanan dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan melalui atas kaki kirinya yang dilonjorkan.
Inilah gerak tipu Burung Hong Mengulur Leher, sebuah gerakan dari ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat. Sin Seng Cu cepat miringkan tubuh lalu memutar tubuhnya sambil menyabetkan toyanya dari belakang tubuh menyerampang kedua kaki lawan. Gerakan ini dilakukan dengan memutar tubuh di atas tumit kakinya lalu membarengi memutar tongkatnya yang setelah dekat dengan sasaran lalu digerakkan ke bawah sambil tiba-tiba berjongkok. Lawan yang kurang waspada dan kurang lincah gerakannya pasti akan tertipu karena serangan ini dibuka dengan menyabet ke arah pinggang ke atas akan tetapi tiba-tiba berobah menjadi serampangan pada kedua kaki.
Akan tetapi Sie Cui Giok benar-benar mengagumkan. Dengan tenang ia tadi menanti datangnya sambaran tongkat dan ketika tiba-tiba tongkat itu dialihkan arahnya, yaitu menyambar kedua kakinya, ia berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kedua tangan di bawah. Dan di dalam keadaan seperti itu ia balas menyerang dengan kedua pedangnya, yang kiri menusuk leher dan yang kanan membacok kepala! Inilah gerakan Burung Hong Terkam Harimau, sebuah gerakan yang selain indah juga amat sukar karena serangan ini dilakukan selagi tubuh masih berada di udara. Sesungguhnya serangan ini amat berbahaya, baik bagi lawan maupun bagi diri sendiri, oleh karena dalam keadaan tak menginjak tanah itu, sungguhpun serangannya berbahaya dan tak terduga oleh lawan. Akan tetapi apabila lawannya cepat mengelak dan melakukan serangan balasan, ia takkan dapat menjaga diri dengan baik. Namun Sie Cui Giok telah memperhitungkannya dengan tepat.
Pada saat ia mengelak dari serampangan tongkat lawan, ia maklum bahwa tongkat lawan yang sedang disabetkan pada kedua kakinya itu takkan dapat segera menyerangnya, sehingga ia menang waktu, maka ia berani melakukan serangan ini. Seandainya tongkat di tangan lawan berada dalam keadaan lebih baik dan dapat segera menyerangnya, tentu ia takkan menggunakan tipu ini dan hanya melompat ke atas menghindarkan serampangan lalu turun kembali.
Sin Seng Cu terkejut juga melihat serangan dari atas yang amat lihai ini, maka mereka tidak ada waktu baginya untuk menangkis dan untuk mengelak dengan kepalanya pun masih berbahaya lantaran kedua pedang itu menyerang dengan dua macam gerakan, maka terpaksa ia melempar tubuh bagian atas ke belakang terus melakukan gerakan poksai (salto) dan dengan cara demikian baru ia dapat menghindarkan diri dari serangan yang berbahaya itu.
Melihat pertempuran yang luar biasa ini, semua penonton menjadi kagum sekali sehingga kedua saudara Cong dan beberapa orang pelayan yang berada di situ memandang dengan bengong. Juga Gwat Kong tanpa disadarinya berseru,
“Bagus sekali!”
Cong Si Ban dan Cong Si Kwi yang mendengar seruan ini segera menengok dan mereka merasa heran ketika melihat seorang pemuda asing tengah duduk menonton pertempuran itu sambil minum arak dari guci araknya yang terbuat dari pada perak. Baru sekarang mereka melihat pemuda ini dan menjadi tertarik, juga curiga. Mereka belum pernah melihat pemuda ini dan juga tahu bahwa pemuda ini bukanlah penduduk di sekitar bukit itu.
Si Kwi yang berdarah panas dan sedang mendongkol karena kekalahannya tadi, menjadi marah melihat seorang pemuda enak-enak menonton dan minum arak di dalam pekarangan rumahnya tanpa minta ijin, maka ia lalu menghampiri dengan tindakan lebar.
“Siapa kau? Hayo minggat dari sini!” tegur Cong Si Kwi dengan marah.