Sebetulnya kedua saudara Cong ini tidak biasa memeras rakyat. Mereka mengadakan pajak tanah yang cukup pantas dan ketika musim kering mengganggu, mereka bahkan membebaskan para petani dari pajak. Akan tetapi mereka ini terkenal berhati keras dan kejam tidak mengenal kasihan, lagi pula amat kikir. Melihat keadaan rakyat di sekitar mereka yang amat menderita dan kelaparan, mereka sama sekali tidak mengambil perhatian dan tumpukan gandum dan padi di gudang mereka tetap bertumpuk.
Berkali-kali rakyat datang mohon pertolongan mereka, untuk meminjam gandum dengan perjanjian pembayaran berlipat ganda. Akan tetapi semua permohonan tidak dihiraukan oleh kedua saudara Cong itu. Yang lebih hebat lagi ialah ketika semua sumur dan anak sungai kering, ternyata yang masih mengeluarkan air hanya sebuah sumber air yang disebut sumber air hijau dan yang ada di sawah milik kedua saudara yang kaya itu. Karena tanah sawah itupun disewakan pada petani, maka selama musim kering tiba, sumber air hijau itulah yang menjadi penolong para petani karena mereka semua mendapat air minum dari sumber ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua saudara Cong yang juga kehabisan air, lalu memblokir sumber ini dan mengurungnya dengan pagar serta dijaga kuat oleh penjaga-penjaga bersenjata tombak.
Tak seorangpun boleh mengambil air dari sumber itu, kecuali pelayan keluarga Cong.
Cong Si Ban melakukan hal ini bukan karena ia berhati dengki, akan tetapi oleh karena ia berkhawatir kalau-kalau sumber air itu akan menjadi kering jika diambil airnya oleh sekian banyak orang dan ia mengkhawatirkan keadaan keluarganya sendiri. Demi keselamatan keluarga sendiri, ia tidak perduli apakah orang-orang di luar gedungnya akan mati kehausan atau tidak.
Hal ini membuat para petani merasa bingung dan keadaan mereka makin menderita. Akhirnya mereka tidak dapat menahan lagi dan demikianlah, maka dua puluh lima orang petani itu memberanikan diri menyerbu ke gedung keluarga Cong untuk minta gandum dan air. Dan yang keluar menyambut mereka adalah Cong Si Kwi, senga kedua yang lebih kejam dari pada kakaknya.
Ketika Cong Si Kwi mendengar bentakan dari atas dan merasa ada angin senjata menyambar, ia cepat melompat ke kiri dan menggerakkan toyanya ke atas untuk memukul orang yang menyambar dari atas ini. “Traaangg!” terdengar suara keras sekali ketika toyanya kena bentur sebatang pedang yang menyambar dari atas. Bunga api memancar keluar dan alangkah kagetnya hati Cong Si Kwi ketika melihat betapa ujung toyanya telah somplak!
IA memandang orang yang kini telah berdiri di depannya itu dan merasa heran sekali. Orang yang berdiri di depannya adalah seorang gadis muda yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berwajah cantik manis dengan sepasang mata tajam dan mulut kecil membayangkan kekerasan hati dan keberanian besar. Pakaiannya kuning dengan ikat pinggang dan ikat rambut sutera merah.
“Siapakah kau yang berani mencampuri urusan orang lain?” Cong Si Kwi membentak dengan marah, akan tetapi matanya menatap dengan kagum kepada gadis itu.
“Orang she Cong,” kata lagi gadis itu yang ternyata memiliki suara nyaring. “Aku pernah mendengar orang berkata bahwa kakak beradik she Cong adalah orang-orang berhati kejam melebihi singa yang liar. Ternyata sekarang bahwa ucapan-ucapan itu kurang tepat.
Seharusnya orang macam kau ini dipersamakan dengan serigala, anjing yang serendah- rendahnya dan sekejam-kejamnya.”
Bukan main marahnya Cong Si Kwi mendengar ini karena ia telah dimaki di depan para petani yang kini pada berdiri dan berkumpul di dekat pintu pekarangan sambil menolong kawan-kawan mereka yang tadi terpukul. Para petani itu memandang ke arah gadis itu dengan girang dan kagum, penuh harap-harap cemas karena masih ragu-ragu apakah si gadis itu akan sanggup melawan Cong Si Kwi yang terkenal kejam dan lihai.
“Perempuan lancang!” bentaknya. “Kau agaknya seorang yang memiliki kepandaian, akan tetapi kau tidak mengindahkan sopan santun di antara orang-orang kang-ouw! Siapakah kau yang datang-datang memaki orang?”
Dengan suara tenang gadis muda berpakaian kuning itu menjawab. “Biarpun kau mengaku orang dari kang-ouw, akan tetapi kau adalah termasuk golongan hek-to (jalan hitam, yakni golongan para penjahat). Terhadap orang macam kau, mengapa aku harus memakai banyak aturan? Kau ingin tahu namaku? Dengarlah, nonamu Sie Cui Giok tak perlu menyembunyikan nama. Dan kalau kau belum pernah mendengar namaku, mungkin kau telah kenal kakekku yang bernama Sie Cui Lui dari selatan.” Bagi Gwat Kong dan lain-lain orang yang mendengar, nama itu tidak mempunyai arti sesuatu. Akan tetapi heran sekali karena Cong Si Kwi menjadi pucat ketika mendengar nama ini.
“Kami selamanya belum pernah mengganggu Sie-locianpwe dan selalu memandangnya sebagai seorang tokoh besar yang patut kami hormati. Sekarang kau datang mengunjungi kami mempunyai maksud apakah? Kalau memang nona ada keperluan, kupersilahkan masuk ke dalam untuk bercakap-cakap dengan aku dan saudaraku. Dan kebetulan sekali sekarang kami sedang mempunyai seorang tamu yang mungkin tidak asing bagimu, yakni Sin Seng Cu thaisu, tokoh dari Hoa-san-pai.”
Kini Gwat Kong yang merasa terkejut mendengar nama ini, akan tetapi sebaliknya nona itu agaknya tidak perduli sama sekali.
“Aku tidak sudi untuk masuk ke dalam rumahmu dan bertemu dengan segala macam tosu. Kedatanganku ini tak lain karena melihat kekejamanmu kepada para petani itu. Dan sekarang aku mewakili mereka untuk minta kau suka segera mengeluarkan gandum dan padi yang mereka butuhkan dan sumber air itu harus kau buka untuk keperluan umum.”
Biarpun Cong Si Kwi maklum bahwa cucu dari Sie Cui Lui ini tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi ia tidak merasa takut, apalagi karena nona itu demikian muda. Kini mendengar tuntutan nona itu yang dianggapnya mencampuri urusannya dan sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya, ia menjadi marah sekali,
“Kau terlalu sekali! Agaknya kau sengaja hendak mencari perkara!”
“Jangan banyak cakap dan lekas kau penuhi kebutuhan mereka. Kau harus ingat bahwa kalau tidak ada para petani ini, apakah kau kira perutmu setiap hari akan dapat diisi? Sanggupkah kau mengerjakan tanahmu sendiri dan menanam gandum dan padi itu?”
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum sekali melihat keberanian dan sepak terjang nona itu, maka tak terasa lagi ia melangkah memasuki pekarangan dan berdiri di dekat para petani sambil memandang dengan penuh perhatian. Ia bersiap sedia membantu nona itu apabila nona itu sampai kalah dalam pertempuran yang terjadi.
“Kalau aku menolak, bagaimana?” Cong Si Kwi berkata sambil pegang toyanya erat-erat.
“Kalau kau menolak, terpaksa aku minta sebelah daun telingamu!” kata gadis itu dengan pedangnya di tangan kiri berkelebat cepat sekali ke arah telinga Cong Si Kwi. Akan tetapi orang she Cong ini cukup pandai, maka tentu saja tidak mudah untuk mengambil telinganya. Ia berseru keras dan menggerakkan toyanya menangkis lalu membalas dengan serangannya yang keras dan hebat.
Sie Cui Giok, gadis muda berpakaian kuning itu, cepat mengelak dan kembali pedangnya meluncur dengan gerakan indah menyerang ke arah telinga Cong Si Kwi. Gwat Kong yang memperhatikan gerakan pedang gadis itu, menjadi kagum sekali karena kedua pedang di tangan gadis itu seakan-akan digerakkan oleh dua orang dengan ilmu silat berlainan!
Demikian jauh bedanya gerakan pedang di tangan kanan dan kiri. Bahkan seakan-akan berlawanan! Pedang di tangan kiri gerakannya lambat dan halus akan tetapi setiap kali toya Cong Si Kwi menangkis pedang ini, nampak betapa toyanya terpental keras seakan-akan membentur batu karang yang besar dan keras.
Adapun pedang di tangan kanan gadis itu gerakannya luar biasa gesitnya, menyambar- nyambar bagaikan seekor naga. Dan tiap kali toya Si Kwi menangkis pedang ini, selalu terdengar suara keras dan bunga api berterbangan. Inilah tandanya keras lawan keras, dan dari keadaan kedua batang pedang dan pergerakannya ini, tahulah Gwat Kong bahwa dua lengan tangan yang memegang pedang itu benar-benar melakukan gerakan-gerakan yang berlawanan.
Kalau tangan kiri mainkan pedang dengan tenaga lweekang (tenaga dalam) adalah pedang di tangan kanan digerakkan dengan tenaga gwakang (tenaga kasar). Ini adalah sifat-sifat yang bertentangan dari Im dan Yang (Negatif dan Positif) dan tiba-tiba Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak.
Ia teringat akan penuturan suhunya tentang ilmu-ilmu silat dari empat penjuru yang disebut empat besar, yakni Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Pat-kwa To- hoat dari utara, dan Im-yang Siang-kiam dari selatan. Ilmu pedang gadis ini berdasarkan Im dan Yang. Apakah gadis ini bukan seorang ahli ilmu pedang Im-yang Siang-kiam?
Ia memandang dengan penuh perhatian makin penuh dan dengan kagum ia mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian gadis itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Cong Si Kwi. Kalau gadis itu menghendaki, agaknya dalam sepuluh jurus saja Si Kwi pasti akan dapat dirobohkan. Akan tetapi, dengan hati geli Gwat Kong mendapatkan kenyataan bahwa sepasang pedang di tangan nona itu selalu mengarah dan mengancam daun telinga Si Kwi dan agaknya gadis itu benar-benar hendak membuktikan ancaman tadi, yakni hendak mengambil sehelai daun telinga Cong Si Kwi.
Orang tinggi besar itu merasa betapa kedua pedang lawannya menyambar dan mengeluarkan bunyi yang mengerikan di sekitar daun telinganya, maka dengan gugup dan ketakutan ia memutar-mutar toyanya untuk menangkis dan melindungi daun telinganya. Akan tetapi kedua ujung pedang itu terus mengejar daun telinganya, mengiang-ngiang seperti bunyi nyamuk- nyamuk yang tidak mau meninggalkan telinganya.
Cong Si Kwi menjadi takut dan gelisah sekali sampai keringatnya keluar membasahi jidatnya. Ia putar-putar toyanya dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Akan tetapi akhirnya ia harus mengakui keunggulan gadis itu dan ia mengeluarkan seruan ngeri ketika pedang di tangan kanan nona itu menyambar cepat dan anginnya telah terasa perih menyambar telinganya.
“Cukup ... nona ...! Baiklah, kukeluarkan gandum itu ...!”
Sie Cui Giok menahan pedangnya dan tersenyum mengejek. “Agaknya kau lebih menyayangi daun telingamu yang kotor dari pada tumpukan gandummu.”