Kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa, tentulah maksudnya hendak merobohkan Tin Eng akan berhasil, karena sungguhpun Tin Eng telah mendapat banyak kemajuan, akan tetapi untuk dapat mengalahkan sabuk ular belang dari Lui Siok bukanlah hal yang mudah. Mungkin kalau ilmu pedangnya sudah matang betul, ia akan dapat mengalahkan jago dari Kim-san-pai yang selain mahir ilmu silat Kim-san-pai, juga telah banyak mempelajari bermacam-macam ilmu silat dari golongan hitam itu.
Setelah Lui Siok yang benar-benar lihai itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus lebih, kedua orang gadis itu merasa penasaran. Mereka lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan pergerakan pedang mereka makin cepat, tubuh mereka berkelebat bagaikan dua ekor burung walet sedang menyambar dan mengeroyok seekor ular besar. Dikeroyok sedemikian rupa, Lui Siok menjadi pening juga karena ia harus memutar-mutar tubuhnya agar jangan sampai terkena serangan pedang lawan.
Pada saat yang baik, Tin Eng mempergunakan kesempatannya dan berhasil memasuki pertahanan lawannya. Pedang meluncur dan menerobos di antara sinar sabuk ular belang mengarah ulu hati Lui Siok. Gerakannya ini demikian cepat dan dengan ujung pedang digetarkan sebagaimana telah menjadi keistimewaan Sin-eng-kiam-hoat, sehingga Lui Siok merasa terkejut sekali.
Pada saat itu, ia sedang menangkis bacokan pedang dari Kui Hwa, maka ia tak mendapat kesempatan untuk menangkis tusukan Tin Eng itu. Ia berseru keras dan menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan Tin Eng yang memegang pedang sambil miringkan tubuhnya. Tin Eng sudah pernah berkenalan dengan lihainya cengkeraman tangan ini, maka cepat gadis ini memutar pergelangan tangannya dan kini ujung pedangnya meluncur cepat sekali ke arah tenggorokan Lui Siok.
Si Ular Belang mencoba untuk miringkan kepala, akan tetapi terlambat dan ujung pedang Tin Eng berhasil melukai pundaknya. Lui Siok berseru marah dan memutar sabuknya secepat mungkin. Kedua gadis itu melompat mundur dan mengurung lagi dengan hebat. Lui Siok merasa betapa pundaknya sakit dan perih, membuat sebelah tangan kirinya seperti lumpuh. Gerakannya tidak lincah lagi dan ia tak dapat mengelak ketika sebuah tendangan Kui Hwa menyambar bagaikan kilat. Ia hanya dapat mengerahkan lweekangnya ke arah lambung yang tertendang. Akan tetapi tendangan itu demikian kerasnya sehingga biarpun di dalam lambungnya tidak terluka parah tetap saja tubuhnya terlempar sampai setombak lebih dan roboh di atas tanah bergulingan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi nyawa Lui Siok itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda, dan terdengar seruan keras,
“Penjahat perempuan kalian berani melukai kawanku!”
Kui Hwa menengok dan berkata kaget. “Ah, Song Bu Cu sendiri datang!”
Juga Tin Eng menengok dan berkata terkejut. “Dan yang seorang itu adalah Gan Bu Gi!”
Kui Hwa juga mengenal pemuda itu, maka bingunglah mereka karena maklum bahwa dengan datangnya dua orang itu, sedangkan Lui Siok juga akan melawan lagi, keadaan mereka sungguh berbahaya. Mereka maklum bahwa kepandaian Gan Bu Gi tidak kalah jauh jika dibandingkan dengan Lui Siok, sedangkan kepandaian Song Bu Cu bahkan lebih tinggi lagi.
TIBA-tiba Tin Eng mendapatkan akal dan ia lalu mengeluarkan piauwnya dari kantong piauw. Ia memberi dua batang piauw kepada Kui Hwa dan berkata perlahan,
“Kita hajar kuda mereka dan melarikan diri!”
Kui Hwa maklum akan maksud kawannya, maka ia menerima dua batang piauw itu dan keduanya lalu melompat ke atas kuda masing-masing.
Song Bu Cu dan Gan Bu Gi telah mengenal kedua orang gadis itu, dan ketika Gan Bu Gi melihat Kui Hwa, musuh besarnya ia berseru,
“Dewi Tangan Maut, jangan lari!”
Akan tetapi, Kui Hwa dan Tin Eng yang sudah siap sedia, tiba-tiba lalu menggerakkan tangan mereka dan dua batang piauw menyambar dengan cepat sekali, sebatang ke arah Gan Bu Gi dan sebatang lagi ke arah Song Bu Cu. Piauw yang dilepas oleh Kui Hwa mengarah ke tubuh Gan Bu Gi sedangkan piauw dari Tin Eng menyambar dengan lebih cepat ke arah dada Song Bu Cu. Dalam hal melepaskan senjata rahasia, Tin Eng lebih pandai dari Kui Hwa, karena Tin Eng memang telah mempelajarinya dengan sempurna.
Gan Bu Gi dan Song Bu Cu yang berkepandaian tinggi, tentu saja tak dapat dirobohkan dengan sambaran piauw itu. Maka mereka cepat mengelak di atas kudanya, sambil menyampok piauw itu dengan tangan mereka.
Akan tetapi, beberapa detik setelah piauw pertama menyambar, dua batang piauw menyambar lagi dan kini mengarah kuda yang ditunggangi oleh kedua orang itu! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaan Gan Bu Gi dan Song Bu Cu sehingga mereka menjadi terkejut. Piauw yang dilepas oleh Kui Hwa menyambar ke arah kuda Gan Bu Gi, akan tetapi bidikannya terlalu tinggi sehingga Gan Bu Gi dapat menendangnya dengan ujung sepatu sehingga piauw itu terlempar ke samping.
Akan tetapi, Tin Eng yang melemparkan piauwnya ke arah kuda Song Bu Cu, telah membidik dengan tepat sekali dan sebelum Song Bu Cu dapat menghalanginya, piauw itu telah menancap pada perut kudanya! Kuda Song Bu Cu meringkik kesakitan, berdiri di atas dua kaki belakang dan melompat-lompat dengan liar, sehingga Song Bu Cu tak kuasa mengendalikannya lagi dan terpaksa melompat turun.
Pada saat itu, Tin Eng dan Kui Hwa sudah membalapkan kuda mereka sambil tertawa senang. Song Bu Cu menyumpah-nyumpah dengan amat marah. Akan tetapi ia tidak berdaya untuk mengejar. Sedangkan Gan Bu Gi, sungguhpun kudanya tidak terluka dan dapat mengejar, akan tetapi merasa jerih untuk menghadapi dua orang pendekar wanita itu sendiri saja, maka iapun tidak mau mengejar.
Lui Siok yang terluka pundaknya oleh pedang Tin Eng dan terkena tendangan Kui Hwa menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan makian-makian kotor terhadap kedua orang gadis itu.
“Gan-sute,” katanya kepada Gan Bu Gi ketika Song Bu Cu berusaha merawat lukanya. “Mengapa kau memilih seorang gadis liar dan jahat seperti dia untuk calon isterimu? Dia sekarang telah menjadi musuh kita, telah berani membantu si jahat Tan Kui Hwa.”
Gan Bu Gi menarik napas panjang dan berkata, “Namun ia cantik dan pandai, suheng, dan pula harus diingat bahwa dia adalah puteri dari Liok-taijin Kepala daerah Kiang-sui dan anak murid Go-bi-pai. Kalau aku menjadi menantu Kepala daerah, bukankah hal itu akan memperkuat kedudukan Kim-san-pai kita? Hal ini adalah rencana dari suhu dan Seng Le Hosiang dan aku hanyalah menurut saja perintah suhu!”
Memang, kedua kakek bersahabat itu, yakni Bong Bi Sianjin ketua Kim-san-pai dan Seng Le Hosiang, tokoh Go-bi-pai, membuat rencana yang amat baik demi keuntungan masing- masing.