Pedang Ular Merah Chapter 04

NIC

"Ang coa kiam (Pedang Ular Merah) yang baik. Ang-coa kiam yang cantik manis......." karena ucapan ini dikeluarkan sambil menangis, maka ia terdengar seperti seorang pemuda yang merindukan kekasihnya. Sebenarnya kakek itu sedang menyatakan kegembiraan dan terima kasihnya kepada pedang itu.

Luka di betis Eng Eng menjadi sembuh dan pedang itu menjadi pedang kesayangan gadis kecil ini. Oleh karena ilmu silat yang ia pelajari dari suhunya bukanlah ilmu silat tangan yang dapat pula memainkan segala senjata, maka ia hanya sayang kepada pedang itu karena indahnya. Ia tidak mempelajari ilmu pedang yang khusus, akan tetapi bila Eng Eng sedang gembira dapat mainkan pedang itu dengan gerakan yang aneh dan cepat sekali. Gerakannya, seperti juga gerakan suhunya, kacau balau dan nampaknya tidak teratur, akan tetapi pada dasarnya kekuatan dan kecepatannya yang amat mengagumkan. Pedang di tangannya menjadi segulung sinar merah yang gerakannya aneh dan menyeleweng ke sana ke mari sukar sekali diikuti oleh pandangan mata.

Karena kesalahan seekor ular merah yang menggigit betis Eng Eng, guru dan murid ini amat benci kepada ular merah, dan ular merah di hutan itu hampir habis oleh pembasmian kedua orang ini. Di mana saja mereka melihat ular merah, tanpa ampun lagi binatang itu tentu mereka binasakan.

Demikianlah, di dalam hutan yang liar itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, Hek Sin-mo melatih muridnya dan boleh dibilang ia menumpahkan seluruh kepandaiannya kepada murid ini. Sepuluh tahun kemudian, apabila mereka berlatih silat, Hek Sin-mo sudah terdesak hebat oleh muridnya dan ia hanya dapat mempertahankan diri sampai napasnya menjadi senin kemis karena makin tua makin lemahlah dia.

Kesukaan Hek Sin mo membunuh ular merah menjadi kebiasaan dan kesukaan yang berakar di dalam hatinya. Setelah agak sukar mencari ular merah di dalam hutan itu, kakek ini mulai mencari ular merah di hutan berikutnya! Dan kegemarannya yang aneh inilah yang menamatkan riwayatnya.

Pada suatu hari Eng Eng nampak gelisah oleh karena semenjak siang tadi ia tidak melihat suhunya. Hari telah mulai gelap dan gadis ini mulai mencari-cari suhunya sambil memanggil-manggil dengan suaranya yang nyaring. akhirnya ia mendapatkan suhunya menggeletak di depan sebuah goa yang gelap, dan di kanan kirinya menggeletak hampir seratus ekor ular merah dalam keadaan hancur dan putus-putus! Ternyata bahwa tak disangka-sangka Hek Sin-mo menjumpai tempat sembunyi ular-ular merah yang menjadi musuh besarnya itu, yakni di dalam sebuah goa. Ular-ular yang belum terbunuh dan yang sisanya masih kurang lebih seratus ekor itu, pada lari mengungsi dan bersembunyi di dalam goa itu.

Ketika Hek Sin mo melihat seekor ular keluar dari goa itu, cepat ia menginjaknya sampai hancur. Dan tiba-tiba saja, banyak sekali ular merah menyerbu keluar dari goa itu. Melihat itu, Hek Sin-mo tidak menjadi takut, bahkan ia lalu lertawa bergelak dan mengamuk menghadapi serbuan ular ular merah ini. Betapapun lihainya, menghadapi hampir seratus ekor ular itu, akhirnya terkena beberapa kali gigitan ular merah. Berkat kekuatan dan kelihaiannya, ia tidak segera roboh dan masih mengamuk terus sehingga saking girang dan gembiranya ia memegang ular terakhir dan membunuhnya dengan..... menggigit kepala ular itu sampai remuk! Akan tetapi, bisa ular yang sudah mulai menyerang jantungnya, membuat ia roboh dan menggeletak tak bernyawa bersama ular terakhir yang masih digigitnya.

Melihat keadaan suhunya ini, Eng Eng memeluk dan menangis sedih. Ia memang tidak seperti suhunya. Kalau hatinya sedih biarpun beberapa kali telah dicobanya, ia tidak dapat tertawa dan selalu menangis! Kini ia menangis terisak-isak,ia tidak mengerti bahwa seorang manusia kalau sudah mati harus dikubur, dan hanya kekhawatirannya melihat mayat suhunya menjadi korban binatang buas saja yang membuat ia mengangkat tubuh suhunya dan meletakkannya di dalam gua. Ia masih belum tahu bahwa suhunya telah mati dan dikiranya sedang tidur atau pingsan saja.

Maka tiap hari ia menjaga tubuh suhunya dan sepekan kemudian, setelah suhunya tidak juga bangun bahkan tubuhnya mulai membusuk menyiarkan bau yang amat tidak enak, barulah ia dapat menduga bahwa suhunya takkan bangun lagi! Selama sepekan, Eng Eng tidak keluar dari goa, tidak makan,tidak tidur, hanya menjaga suhunya dengan setia dan hati berduka. Ketika matahari menerangi keadaan di dalam gua dan ia melihat tubuh suhunya membusuk dan hidungnya mencium bau yang amat memusingkan, ia tidak kuat menahan dan akhirnya Eng Eng rebah pingsan di dekat mayat suhunya!

Ketika ia siuman kembali, ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari goa seperti seorang pemabok. Tubuhnya lemas, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit yang terdengar dari mulutnya hanyalah bisikan yang merupakan keluhan menyayat hati.

"Suhu ..... suhu. ... suhu "..." Akhirnya kakinya membawanya ke pinggir sebuah anak sungai dan melihat air yang jernih itu gadis ini lalu berlutut dan mencelupkan kepalanya kedalam air!

Sampai setengah hari lamanya ia duduk termenung di pinggir anak sungai, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bingung, sedih, lapar, dan juga hawa mayat membuatnya pening sekali. Kemudian jalan pikirannya dapat ia pergunakan dan karena teringat akan keadaan binatang-binatang yang mati dan bangkainya berbau seperti bau mayat suhunya, ia dapat juga menduga bahwa suhunya tentu telah mati. Ia menangis lagi tersedu sedan dan bagaikan seorang gila ia lalu lari keluar dari hutan itu!

Segila-gilanya Hek Sin-mo, karena ia pernah hidup di dunia ramai dan tahu akan adat istiadat dan kesopanan, maka biarpun ia tidak memperdulikan pakaian sendiri, untuk muridnya ia selalu mencarikan pakaian yang bersih dan baik. Apalagi setelah Eng Eng menjadi dewasa dan melihat betapa cantiknya murid yang amat dikasihaninya itu, ia meninggalkan hutan dan bagaikan seorang iblis ia memasuki rumah-rumah orang dusun yang kaya dan mencuri pakaian yang indah-indah. Oleh karena itulah maka Eng Eng selalu mengenakan pakaian yang cukup sopan dan indah.

Akan tetapi oleh karena Hek Sin-mo mencari pakaian tanpa melihat potongannya, diantara banyak pakaian itu terdapat pula pakaian laki-laki dan anehnya, Eng Eng juga tidak memperdulikan perbedaan potongan pakaian itu. Kadang-kadang gadis ini mengenakan pakaian wanita dan kadang-kadang mengenakan pakaian laki-laki. scorang gadis yang sementara tinggal di dalam hutan liar bersama kakek gila, tentu saja tidak tahu mana baju untuk wanita dan mana untuk laki laki. Jangankan tentang model pakaian terakhir, lebih baik jangan ditanyakan kepadanya! Ketika Eng Eng berlari keluar dari hutan dengan hati bingung dan berduka, ia kebetulan mengenakan pakaian laki-laki dan rambutnya tertutup oleh ikat kepala untuk laki-laki maka ia kelihatan seperti seorang pemuda yang amat tampan wajahnya. Gadis ini semenjak kecil tidak mengenal bedak atau yanci (pemerah pipi, bibir), maka kulit mukanya putih halus sewajarnya. Ia tidak membawa apa-apa melainkan pedang Ang coa-kiam yang dibelitkan pada pinggang karena pedang ini memang lemas sekali. Ketika dibawa oleh suhunya yang gila Eng Eng telah berusia enam tahun dan biarpun semenjak itu sampai dewasa ia selalu berada dalam hutan, jauh dari masyarakat ramai,akan tetapi ia masih ingat akan keadaan di dunia dan tahu bahwa selain dia dan suhunya, di dunia ini masih banyak manusia lain dengan rumah-rumah besar.

Memang pada waktu pertamakali ia bertemu dengan dusun semenjak turun gunung, ia merasa kagum dan terheran-heran. Juga ia merasa gembira sekali melihat orang-orang yang tinggal di dusun itu. Sebaliknya, semua orang yang dijumpainya di jalan juga memandangnya dengan heran dan kagum. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan dan yang tersenyum pada setiap orang yang memandangnya, pemuda yang nampak tolol karena menengok ke kanan ke kiri memandangi rumah-rumah bagaikan seorang dusun yang bodoh masuk ke kantor besar!

Pada suatu hari, Eng Eng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Telah beberapa kali ia pernah melihat sebuah rumah makan dl dalam dusun dan melihat betapa banyak orang makan di dalam rumah makan itu. Akan tetapi ia sendiri belum pernah makan di rumah makan dan selalu apabila merasa lapar ia makan seperti yang biasa ia lakukan dengan suhunya, yakni mencari buah-buahan di hutan atau menangkap kelinci lalu dipanggang dagingnya. Kali ini, ketika ia memasuki dusun itu hidungnya mencium bau daging panggang yang amat sedap. Ia menghampiri rumah makan di pinggir dusun itu dan sampai lama berdiri di depan pintunya, menikmati bau sedap yang keluar dari dapur makan. Seorang pelayan yang melihat dia berdiri di depan pintu cepat menghampirinya. Seperti biasa, melihat orang yang pakaiannya cukup indah, pelayan itu berlaku ramah tamah dan manis budi.

"Silakan masuk, kongcu. Masih banyak bangku kosong. Silakan!"

Eng Eng belum pernah makan di rumah makan dan tidak tahu cara bagaimana memesan makanan, tidak tahu pula bahwa makanan yang dihidangkan di situ harus dibayar! Kini ada orang yang dengan manis mempersilakannya masuk, tentu saja ia mengangguk tersenyum dan mengikuti pelayan itu masuk ke dalam rumah makan. Gerakan tangan pelayan itu membuatnya mengerti bahwa la dipersilakan masuk, maka tanpa banyak sungkan lagi Eng Eng lalu mengambil tempat duduk di atas bangku. Seorang laki-laki muda yang berpakaian seperti piauwsu (pengantar barang) kebetulan duduk di atas bangku itu. Tentu saja orang yang sedang makan mi ini menjadi terheran melihat betapa seorang pemuda tampan tanpa permisi tahu-tahu menduduki bangku di mejanya dan memandangnya dengan mata jenaka! Memang perbuatan Eng Eng yang tak disengaja ini amat aneh dalam pandangan orang itu.

Ruang rumah makan itu masih kosong dan banyak meja dan bangku yang belum terisi tamu akan tetapi "pemuda" ini duduk di bangku di meja yang telah dipakai orang! Piauwsu muda itu mengira bahwa "pemuda" tampan ini hendak memperkenalkan diri kepadanya maka ia lalu mengangguk ramah yang dibalas oleh Eng Eng dengan anggukan kepala pula! Piauwsu itu menanti sampai mengganggunya memperkenalkan diri akan tetapi pemuda tampan itu duduk tanpa membuka mulut, hanya tersenyum-senyum saja dengan tarikan mata yang manis dan lucu,

"Sahabat," piauwsu itu menjadi tak sabar dan berkata,

"aku adalah Ting Kwan Ek wakil kepala piauwkiok dari kota Han leng"

Posting Komentar