Bhok Siang Toojin sudah lanjut usianya, selama belasan tahun tampangnya tidak berubah, tidak demikian dengan Cui Ciu San, yang didalam tangsi tentera Giam Ong sudah keluarkan banyak tenaga.
Dalam girangnya, Sin Cie tubruk guru ini, yang ia rangkul lehernya.
"Cui Siokhu, kiranya kau!" ia berseru berulang-ulang.
Kemudian tanpa merasa, air matanya mengalir turun.
Dengan mata berlinangan, Ciu San pun sangat terharu dengan pertemuannya dengan bocah itu.
Mungkin guru dan murid masih sibuk sendirinya kalau tidak mendadak terdengar suara Bin Cu Hoa, siapa sejak tadi tercengang karena sepak-terjangnya Sin Cie. "Hai!" serunya. "Kedua Su Toako dan Lie Toako ini ada orang-orang undanganku, kenapa kamu tawan mereka? Kenapa?"
Sin Cie tidak lantas jawab teguran itu, dia hanya menunjuk pada gurunya tak resmi, 'sahabatnya' main catur, dia kata: "Inilah Bhok Siang Toojin, salah satu guruku!" Kemudian ia menoleh, akan tunjuk Ciu San, akan perkenalkan pula: "Dan ini aku punya Cui Siokhu yang kesohor untuk ilmu silat Hok-hou-ciangnya! Ini ada guruku ketika untuk pertama kali aku belajar silat!"
Tidak tanggung-tanggung pemuda ini perkenalkan gurunya itu.
Diantara para hadirin yang tertua tidak ada yang tidak pernah dengar nama Bhok Siang Toojin, cuma imam ini tak ketentuan tempat berkelananya, gerak-geriknya bagaikan iblis saja, karena mana, orang juluki dia "Kwie Eng Cu", si Bajangan Iblis. Kira-kira delapan bagian dari hadirin yang tertua itu pernah lihat atau bertemu sama imam itu. Begitulah Sip Lek Taysu serta Thio Sim It dari Kun Lun Pay kenal ini imam, malah mereka masih terhitung pihak angkatan muda, maka keduanya lantas saja menghampirkan untuk memberi hormat.
Semua hadirin lainnya tercengang melihat pendeta dari Siau Lim Sie itu dan jago dari Kun Lun Pay menghormati itu imam, maka dengan sendirinya, mereka juga tidak berani memandang enteng, semua turut memberi hormat.
Bhok Siang Toojin angkat tangan kepada semua orang. "Gawenya pinto ini," katanya, "kecuali gegares nasi
adalah main tiokie melulu, lainnya urusan, apapula yang
menyulitkan, tak pernah pinto pusingi. Tapi sekali ini, hal adalah lain. Baru pada bulan yang lalu, pinto dengar selentingan halnya orang bangsa kita, yang sudah
566 bersekongkol sama bangsa asing, dan orang itu katanya sudah datang ke kota Lamkhia ini untuk beraksi, melakukan usaha besar untuk menjual Negara! Pasti sekali, mengenai urusan ini, pinto tak dapat menonton saja dari samping. Maka itu,lantas pinto menyusul kemari. "
"Siapakah pengkhianat itu?" tanya Bin Cu Hoa. "Mustahil mereka ada Tiang Pek Sam Eng?"
"Tidak salah!" jawab Bhok Siang Toojin. "Benar ini tiga enghiong dan hookiat yang namanya sangat kenamaan!"
"Ketiga tuan ini ada sahabat kekalku, kenapa mereka bisa lakukan perbuatan tidak tahu malu itu?" tanya pula Bin Cu Hoa. "Janganlah kau semprot orang dengan darah!"
Bhok Siang bersikap tenang ketika ia menjawab pula: "Pintoo adalah orang yang biasa berbuat murah hati,
karena dengan mereka ini belum pernah pinto bertemu,
diantara kita tidak ada dendaman atau permusuhan maka kenapa pinto mesti fitnah mereka? Tapi selagi pinto berada di Kwan Gwa, dengan mataku sendiri pinto lihat mereka kasak-kusuk dengan orang Boan-ciu, dari itu, disepanjang jalan terus pinto ikuti mereka."
"Bukti apakah kau ada punya?" tanya pula Bin Cu Hoa.
Ia malu apabila sampai orang fitnah tiga sahabatnya itu.
Bhok Siang Toojin tertawa berkakakan.
"Bukti?" tanyanya. "Buat apakah masih belum cukup?" "Siapa yang dapat percaya itu?" baliki Bin Cu Hoa. Dia
tetap masih penasaran.
Tidak senang Bhok Siang Toojin terhadap sikap kasar itu, ia gusar.
"Walaupun Uy Bok Toojin, gurumu, dia tidak berani mengucap sepatah kata didepanku!" dia menegur. "Kau
567 bocah, kau punya nyali besar berani tidak mempercayai pinto?"
"Mendengar ini, sebagian orang kurang puas, karena mereka anggap, mentang-mentang orang tua dan kesohor, imam ini hendak berlaku demikian getas. Itulah, mereka pikir, ada sikap sewenang-wenang.
Bhok Siang mendongkol, hingga ia urut-urut kumisnya. Sin Cie tidak mau lihat gurunya itu menjadi kalap, lekas-
lekas ia keluarkan dua lembar surat dari sakunya, ia lantas
tunjuki itu pada Bin Cu Hoa.
"Bin Jie-ya, tolong kau bacakan ini untuk semua hadirin mendengarnya!" kata dia.
Bin Cu Hoa sambuti dua lembar surat itu, Baru ia baca beberapa baris, sudah ia lompat berjingkrak bahna kaget, tapi ia teruskan membaca dengan suara nyaring.
Itulah suratnya Kiu-ong-ya To Jie Kun dari Manchuria yang ditulis untuk Tiang Pek Sam Eng, buat suruh dan anjurkan tiga jago dari Tiang Pek Sam Eng itu rampas dan kangkangi partai-partai di Kanglam, buat mengadu- dombakan pelbagai jago Rimba Persilatan, supaya diaorang ini saling bunuh, supaya berbareng mereka memelihara tenaga, guna nanti menyambut penyerbuannya tentara Boan terhadap Tionggoan. Surat itu dibubuhi capnya pangeran Boan itu serta tanda tangan huruf Boan juga.
Bin Cu Hoa belum habis membaca, para hadirin sudah gempar saking murkanya mereka.
Cit-cap-jie-to Toocu The Kie In lompat kepada Lie Kong, untuk totok sadar orang tawanannya Sin Cie.
"Kau mempunyai kejahatan apa lagi? Lekas aku!" ia bentak. Lie Kong melongo, tak dapat ia buka mulutnya.
Dalam sengitnya, The Kie In hajar pulang pergi kedua kuping orang, hingga jago Tiang Pek San ini merah dan bengap juga kedua belah pipinya.
Sin Cie gunai ketikanya itu akan tuturkan bagaimana ia dapatkan surat rahasia itu.
Lie Kong tahu dia tidak bisa diam lebih lama, tapi dia berkukuh kepada cita-citanya, maka juga dengan berani, dengan nyaring, ia kata: "Tidak lama lagi angkatan perang Boanciu bakal datang menyerbu, maka juga wilayah Tionggoan ini bakal segera menjadi negaranya bangsa Boan! Jikalau kamu semua menakluk dari sekarang, kamu bakal menjadi menteri-menteri berjasa yang membangunkan Negara! Jikalau. "
Kata-kata ini tidak habis diucapkan, karena kepalannya The Kie In sudah mampir didadanya Lie Kong, hingga dia rubuh dengan tak sadar akan dirinya.
Dua saudara Su dengar perkataan Lie Kong, mereka saksikan kejadian itu, akan tetapi mereka sedang dalam totokan, tak dapat mereka membuka mulut atau bergerak. Mereka insyaf bahaya yang mengancam diri mereka, hingga meeka jadi putus asa.
"Tootiang," berkata The Kie In, "Kejahatan pengkhianat- pengkhianat ini sudah terang, buat apa kasih mereka hidup lebih lama pula? Baik bikin habis saja pada mereka!"
"Biar mereka tinggal hidup, pinto masih membutuhkannya," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Sekarang sudah tidak siang lagi, lain hari saja pinto nanti undang tuan-tuan untuk kita berunding. Haruslah diketahui, pengkhianat ini mestinya mempunyai konco!" Perkataan imam ini dianggap benar, maka orang suka mendengarnya.
Sampai disitu, orang lantas bubaran.
Bin Cu Hoa menyesal bukan main, karena sekarang mengertilah ia duduknya perkara semua. Ia menghaturkan maaf dengan sungguh-sungguh kepada Ciau Kong Lee, ia juga menghaturkan terima kasih kepada Sin Cie. Ia inysaf bencananya apabila ia kerembet-rembet Tiang Pek Sam Eng itu.
"Coba tidak Wan Siangkong yang datang mendamaikan, pastilah dosaku ada dosa tak berampun," ia mengaku.
Sin Cie hiburkan orang she Bin ini.
Begitu lekas orang sudah bubaran, Bhok Siang Toojin kasih turun papan hitam dibelakangnya, ia juga keluarkan biji-biji caturnya.
"Selama beberapa tahun ini senantiasa aku ingat kau," katanya pada Sin Cie, "tidak lain kehendakku adalah supaya kau bisa temani aku main catur!"
Sin Cie bersenyum. Ia lihat gurunya itu demikian gembira, tidak mau ia menampik, maka begitu lekas guru itu telah ambil tempat duduk, ia duduk didepannya.
Bhok Siang Toojin kata pada semua orang lainnya: "Silahkan kamu semua beristirahat!"
Ciau Kong Lee lantas ajak Cui Ciu San masuk kedalam, untuk diantar kekamar yang disiapkan.
Ceng Ceng tidak mau undurkan diri, ia mau nonton orang main catur, maka ia tempatkan diri didamping guru dan murid itu.
Wan Jie sendiri lantas repot menyuguhkan arak dan sayurannya serta bebuahan juga.
570 Kong Lee pun pergi tidur.
0o-d.w-o0
Ceng Ceng tidak bisa main tiokie, setelah menonton sekian lama, ia jadi kehilangan kegembiraannya, sedang waktu itu, ia masih menderita dari lukanya, dari lesu, ia jadi ngantuk, akhirnya ia taruh kepalanya diatas meja dan pulas sendirinya.
"Nona Ciau, pergi kau pepayang ia untuk ia tidur dikamarmu," kata Bhok Siang Toojin pada Ciau Wan Jie.
Mukanya Nona Ciau menjadi merah dengan tiba-tiba, ia berpura-pura tak dengar imam itu. Didalam hatinya, dia kata: "Kenapa tootiang ini jadi seperti orang tidak keruan omongannya?"
Bhok Siang lihat sikap orang, ia tertawa berkakakan. "Dia pun satu nona, kau malu apa?" kata dia pula. "Bagaimana, Wan Siangkong?" akhirnya Wan Jie tanya