Pedang Ular Mas Chapter 65

NIC

"Pedang Twie-hong-kiam Ban Suheng telah menggetarkan wilayah selatan, sekarang suheng telah datang sendiri ke Kimleng ini, mustahil kita nanti tak berhasil? Begitu lekas aku melihatmu, Ban Suheng, hatiku lantas saja lega tak terkira."

"Itulah pujian belaka!" terdengar suara orang yang ketiga. "Kami dari Tiam Chong Pay justru kuatirkan kami nanti tak dapat berbuat suatu apa untuk membantu Bin losu..."

Suara orang ini kecil tetapi terang.

Hatinya Sin Cie tergetar juga. Ia ingat, di waktu-waktu senggang gurunya suka rundingkan ilmu pedang dari pelbagai partai, atau kaum persilatan lainnya, diantaranya empat partai terbesar ialah Bu Tong Pay, Kun Lun Pay, Hoa San Pay dan Tiam Chong Pay, bahwa setiap partai punyakan ilmu-ilmu silatnya yang istimewa. Sekarang ini yang datang, si orang she Ban, ada dari Tiam Chong Pay. Jauh dari tempat ribuan lie, orang datang ke Kimleng ini, apakah maksud mereka itu?

Setelah kedua saling bicara secara sungkan itu, kembali terdengar tepukan tangan dari kejauhan, suara mana disambut oleh rombongan dimuka kuburan ini. Atas sambutan itu, lalu muncul lagi tiga rombongan lain, yang datangnya saling susul. Mendengar dari pembicaraan mereka, Sin Cie ketahui dia ini ada dari kalangan mana.

Rombongan yang pertama adalah rombongan Siau Lim Sie dari Pou-thian, Hokkian, yang dipimpin oleh Sip Lek Taysu, kam-ih atau kepala dari ruang Tat Mo In dari kuil partai Siau Lim Pay. Rombongan yang kedua adalah kawanan bajak dari sepanjang pesisir Ciatkang dari Hokkian, yang dipimpin sendiri oleh Pek-hay Tiat-keng The Kie In si ikan lodan, yang jadi Cong-bengcu atau ketua dari bajak-bajak dari tujuh puluh dua pulau di sepanjang propinsi-propinsi tersebut.

Dan rombongan yang ketiga adalah partai Tiang Pek Pay dari gunung Tiang Pek San di Liau-tong dengan dipimpin sendiri oleh ketiga ketuanya, yang dikenal dengan julukannya jaitu Tiang Pek Sam Eng atau tiga jago Tiang Pek ialah Su Peng Kong, Su Peng Bun dan Lie Kong.

Sin Cie jadi makin heran. Mereka itu, semuanya ada orang-orang kangouw kenamaan. Apa perlunya mereka berkumpul di Lamkhia? Mereka hendak bantu si orang she Bin dalam urusan apa? Orang she Bin ini hampir tak hentinya menghaturkan terima kasihnya kepada mereka itu. Teranglah sudah, mereka itu sengaja diundang datang.

Ceng Ceng pun heran, ingin ia tanya Sin Cie, tapi untuk ber-hati-hati, ia coba atasi diri sendiri. Ia insyaf, dimuka orang-orang liehay itu, sedikit saja ia berkelisik, mereka bakal dapat tahu, atau sedikitnya mereka bakal bercuriga.

Segera terdengar pula suaranya si orang she Bin : "Aku Bin Cu Hoa "

"Inilah nama yang aku pernah dengar," berpikir Sin Cie. "Tidak salah, aku dengarnya dari suhu. Dia ini orang macam apa? Ah, kenapa aku bolehnya lupa?"

Si orang she Bin lanjuti omongannya : "Saudara-saudara, aku sangat bersyukur yang saudara-saudara telah datang untuk membantu aku, karena itu, harap saudara-saudara suka terima hormatku. " Sin Cie percaya orang she Bin itu berlutut untuk hunjuk terima kasihnya itu, karena ia dengar suara-suara yang merendah dan yang mempersilakan orang berbangkit.

"Jangan berbuat begini, Bin Jieko, tak sanggup siautee menerimanya," demikian terdengar juga.

Kemudian terdengar pula suaranya Bin Cu Hoa itu : "Selama beberapa hari ini, Thio Sim It suheng dari Kun Lun Pay, beberapa tootiang dari Ngo Bie Pay, dan beberapa suheng dari Hoa San Pay juga pasti bakal datang semuanya..."

"Oh, dari Hoa San Pay juga bakal ada yang datang?" tanya satu suara. "Inilah bagus sekali! Murid siapakah dia itu?"

Sin Cie heran, tapi ia kata dalam hatinya: "Bagus pertanyaan ini! Aku memang ingin menanyakannya..."

Segera terdengar jawabannya Bin Cu Hoa : "Mereka adalah beberapa suheng murid-muridnya Cio Poan San Long. "

"Kalu begitu, mereka adalah muridnya jie-suheng," pikir Sin Cie.

"Apakah Bin Jieko bersahabat kekal dengan Kwie Sin Sie suami isteri?" ada suara yang menanya pula. "Inilah bagus! Dengan adanya mereka itu, tak usah kita kuatirkan lagi kepada kan-cat she Ciau itu!"

"Mana dapat aku sendiri yang bersahabat dengan suami- isteri she Kwie itu?" ada jawabannya Bin Cu Hoa. "Adalah murid kepalanya, Bwee Kiam Hoo, yang bersahabat karib denganku."

"Bwee Kiam Hoo?" tanya satu suara lain. "Dia toh Bu Eng Cu si Bajangan Tak Ada yang dengan sebatang pedangnya telah taklukkan tujuh jago di jalanan propinsi Shoatang, bukankah?"

"Tidak salah, benarkah dia?" Bin Cu Hoa berikan kepastian.

Sin Cie masih heran akan tetapi sekarang hatinya lega. "Disini turut orang dari pihakku, rupanya mereka ini

berada di pihak benar," pikir ia. "Baik aku jangan muncul

diantara mereka, apabila ada ketikanya , aku nanti bantu mereka secara diam-diam saja."

Lalu kembali terdengar suaranya Bin Cu Hoa : "ketika dulu hari kandaku terbinasa teraniaya secara hebat itu, untuk lebih daripada sepuluh tahun aku telah berkelana kesegala tempat untuk cari musuhku itu, tak juga aku berhasil mengetahui, siapa sebenarnya dia. Adalah baru- baru ini, aku memperoleh penghunjukkan dari persaudaraaan Su dan Tiang Pek San kandaku telah terbinasa ditangannya kancat she Ciau itu! Aku sumpah, apabila tidak dapat aku balaskan sakit hati kandaku itu, tak sudi aku jadi manusia!"

Menjusul itu terdengarlah suatu suara keras. Rupanya dengan semacam senjata, Bin Cu Hoa perkuatkan sumpahnya dengan membacok atau memukul batu bongpay dari kuburan.

Lantas terdengar suara seorang lain : "Tiat-pwee Kim Go Ciau Kong Lee si Buaya Emas Berbokong Besi adalah seorang kangouw yang juga berkenamaan, aku tidak sangka dia bisa berbuat demikian macam. Entah dari mana kedua saudara Su itu ketahui rahasia pembunuhan itu?"

Mendengar lagu-suaranya, orang ini menyatakan kesangsian. Bin Cu Hoa tidak tunggu Su Peng Kong dan Su Peng Bun menjawab sendiri, ia mendahuluinya : "Kedua saudara Su telah tuturkan jelas kepadaku duduknya penganiayaan terhadap kandaku itu di Shoa-tang, untuk itu ada buktinya, maka haraplah Taysu tidak usah sangsi lagi."

Orang yang menyatakan ke-ragu-raguan nya itu tidak menanya lebih jauh, lalu terdengar suaranya seorang lain lagi : "Ciau Kong Lee itu telah berdiam untuk puluhan tahun dikota Kimleng ini, pengaruhnya telah mendalam dan kuat, sekarang kita hendak gempur dia, harus kita ber- hati-hati. "

"Memang kita harus ber-hati-hati," jawab Bin Cu Hoa. "Aku tahu, dengan seorang diri saja, tak dapat aku gempur dia, maka itu aku telah besarkan hati mengundang saudara- saudara sekalian. Besok pada jam yu-sie tepat aku undang saudara-saudara untuk menghadiri satu perjamuan sederhana dirumahku di gang Chia-lam diluar kota Selatan, aku harap sangat kedatangan saudara-saudara."

Suara jawaban ramai menerima undangan itu; ada yang mengucap terima kasih, ada yang minta orang she Bin itu tak sungkan-sungkan.

Kemudian Bin Cu Hoa berkata pula : "Kali ini jumlah sahabat-sahabatku ada banyak, tak usah disangsikan lagi yang pihak musuh tak mengetahuinya, maka kalau besok saudara-saudara datang, baik kita menggunai tanda, ialah sesuatu saudara angkat tangan terhadap orang-orang ku yang menyambut dimuka pintu, dengan tunjuki tiga jari tangan kanan ialah jeriji-jeriji tengah, manis dan kelingking, yang dikasi turun sambil dengan pelahan pun mengucapkan "kangouw gie khie, poat too siang cie." Dengan cara ini dapat kita cegah seumpama musuh kirim mata-matanya." "Itu benar!" menyatakan beberapa suara setuju. "Kita semua datang dari empat penjuru, banyak diantara kita yang belum kenal betul satu dengan lain, maka untuk selanjutnya, baik tetap kita gunai pertandaan ini."

Usul ini pun telah dapat persetujuan.

Kemudian, setelah ditetapkan juga, siapa mesti dikirim kerumah keluarga Ciau, untuk membuat penyelidikan, me- nyerep-nyerepi kabar, pertemuan rahasia itu ditutup, lalu mereka bubaran.

Setelah orang sudah pergi jauh, Barulah Sin Cie berdua berani bergerak, untuk duduk beristirahat. Ceng Ceng merasa kakinya pada kaku.

"Toako, besok kita pergi menonton keramaian, bukan?" si nona tanya.

"Pergi menonton sih boleh, akan tetapi kau mesti dengar perkataanku," jawab Sin Cie. "Tak dapat kau timbulkan gara-gara."

"Memangnya siapa yang hendak membikin ribut?" Ceng Ceng menjawab.

Habis itu, mereka berlalu, untuk pulang.

Besoknya tengah-hari, seluruh kota Kimleng menjadi gempar karena perkara pembunuhan gelap atas dirinya Ma Kongcu serta gundal dan pengiring-pengiringnya. Sin Cie berdua dengar kabar itu, berdua Ceng Ceng, ia keram diri dalam kamar. Akan tetapi kapan sang magrib datang, setelah salin pakaian, mereka pergi keluar, ke gang Chia- lam dimana, dengan tindakan lambat, mereka perhatikan sebuah rumah besar yang muka pintunya diterangi tengloleng, banyak tetamu yang datang saling susul. Dengan berani, tapi dengan sikap biasa, Sin Cie dan Ceng Ceng bertindak kepintu, kepada penjaga pintu, mereka tunjuki tiga jari mereka seraya menyebut "Kangouw gie khie, poat too siang cie", dengan begitu, satu penyambut beri hormat pada mereka dan seorang lainnya lagi antar mereka kedalam dimana mereka disuguhkan teh, lantas she dan nama mereka ditanyai. Dengan enak saja mereka ngaku she Thia dan Bun.

"Sudah lama kau dengar nama besar dari jiewie," kata penyambut itu dengan pujiannya, walaupun ia sebenarnya tak kenal kedua tetamu ini.

Ceng Ceng geli didalam hatinya, ia berpikir : "Aku sendiri Baru pertama kali denga she-ku ini, kau sebaliknya telah dengar sejak lama..."

Sementara itu, tetamu yang datang semakin banyak, maka untuk menyambut mereka, penyambut ini mohon diri, untuk layani mereka. Didalam hatinya ia anggap, mereka ini berdua entah muridnya siapa.

Sin Cie berdua tidak usah menunggu lama, lantas orang semua diundang duduk berkumpul, karena rapat hendak dimulai. Mereka duduk di pinggiran dengan ditemani oleh murid kelima dari Bin Cu Hoa. Yang lainnya juga ada anak-anak muda. Hati mereka lega karena orang tidak perhatikan mereka.

Pertemuan dibuka dengan keringkan arak tiga idaran, Bin Cu Hoa hampirkan sesuatu tetamunya, untuk memberi selamat datang kepada mereka dengan secawan arak. Kapan tuan rumah ini hampirkan meja mereka, Sin Cie dapat lihat tegas tuan rumah ini, seorang umur empat puluh delapan atau sembilan tahun, lengannya berurat kasar, romannya cerdik, tindakannya gagah, tanda ilmu silatnya tinggi, akan tetapi kedua matanya bengul dan merah, suatu tanda ia sedang bersedih untuk kandanya, rupanya selama beberapa hari ini, ia menangis saja.

"Dia sangat mencintai saudaranya, dia harus dihormati," pikir Sin Cie. "Dia bikin undangan kepada begini banyak sahabatnya, mestinya si orang she Ciau itu, musuhnya, berpengaruh besar sekali."

Bin Cu Hoa menjura tiga kali kepada semua tetamunya, ia ber-ulang-ulang menghaturkan terima kasih, ia undang pula sekalian tetamu keringkan cawan mereka.

Rombongannya Sin Cie membalas hormat, terutama karena mereka dari golongan muda.

Mendadak salah seorang muridnya Bin Cu Hoa muncul dengan kesusu, ia hampirkan gurunya, untuk berbisik, setelah mana, kelihatan tuan rumah itu jadi sangat girang, lekas-lekas ia letaki cangkirnya diatas meja, lantas ia lari kearah pintu, kapan sebentar kemudian ia kembali, ia berserta tiga orang yang ia perlakukan hormat sekali. Ia juga undang ketiga tetamu itu duduk dikepala meja.

"Pasti mereka ini adalah orang-orang kenamaan," pikir Sin Cie, yang awasi mereka.

Orang pertama, yang dandan sebagai satu pelajar, menggendol sebatang pedang panjang dibelakangnya, kedua matanya bersinar dan sikap-dedeknya angkuh. Orang kedua berumur tiga-puluh lebih. Dan yang ketiga, umur dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, adalah sorang perempuan yang eilok parasnya, tapi sikapnya adem.

"Bwee toako datang tepat sekali, aku sangat bersukur." Terdengar suaranya Bin Cu Hoa.

Pelajar itu tertawa. "Urusan Bin Jieko mana dapat kami tak campur tahu?" kata dia.

"Kalau begitu, dia pasti ada Bwee Kiam Hoo, muridnya Jie-suheng kwie Sin Sie," pikir Sin Cie. "Kenapa dia begini jumawa?"

Posting Komentar