Itu waktu dari perahu tetangga terdengar suara nyanyian bercampur tertawa dan omongan gembira, bukan main tertarik hatinya si nona. Pengaruh air kata-kata pun sudah mulai menarinya.
"Engko," kata Ceng Ceng sembari tertawa, "bagaimana jikalau kita panggil dua nona untuk mereka nyanyi, akan temani kita minum?"
Mukanya Sin Cie merah dengan tiba-tiba mendengar pertanyaan itu. Bukankah ia ada satu pemuda alim?
"Apakah kau sudah sinting?" tanyanya. "Kenapa kau ngaco?"
Anak-anak perahu paling girang kalau penumpangnya berpelesiran dengan nona-nona tukang nyanyi, dengan itu mereka mengharapi hadiah, maka itu, mendengar perkataan penumpang yang satunya itu, tanpa tunggu si penumpang lain sahuti kawannya, dia sudah nyelak.
"Semua siangkong yang pelesiran di Cin Hoay Hoo, tidak ada satu yang tidak undang nona-nona tukang nyanyi untuk menemaninya," katanya.
"Jikalau siangkong kenal salah satu tukang nyanyi, nanti aku panggil dia..."
"Jangan, jangan," Sin Cie goyangi tangan. "Disini ada berapa nona yang paling kesohor?" Ceng Ceng sebaliknya menanya.
"Ada, ada, siangkong !" sahut tukang perahu itu. "Seperti Pian Giok Keng, Liu Jie Sie, Tang Siau Wan dan Lie Hiang Kun. Mereka ini pandai juga ilmu surat dan bersyair, mereka adalah siucay-siucay wanita!"
"Nah, kau coba panggil Liu Jie Sie dan Tang Siau Wan berdua!" Ceng Ceng menyuruh. Ia tidak perdulikan kawannya.
Tukang perahu itu celangap.
"Rupa-rupanya siangkong Baru untuk pertama kali ini datang ke Lamkhia?" bilangnya.
"Habis kenapa?"
"Nona-nona yang kenamaan itu, pergaulannya cuma dengan pemuda-pemuda bangsawan atau sedikitnya siucay," sahut tukang perahu itu. "Umpama orang dagang biasa saja, apabila dia hendak menemui nona-nona itu, kendati dia angkut semua hartanya, tidak nanti si nona sudi melayaninya. Jangan kata mengundang datang, melihat romannya saja tak dapat..."
"Cis, segala bunga raya saja demikian bertingkah!" kata Ceng Ceng. Dia dipanggil siangkong karena tetap dia dandan sebagai pria.
"Disini ada nona-nona lainnya yang eilok, baik aku panggil dua saja diantaranya," kata tukang perahu kemudian.
"Sekarang kami hendak pulang, lain hari saja," Sin Cie bilang. "Aku belum puas!" kata Ceng Ceng sambil tertawa. Ia memandang si tukang perahu dan lalu kata : "Pergi kau panggil mereka."
Selagi Sin Cie bungkam, tukang perahu itu, yang girang tak kepalang, sudah lantas buka suara nyaring beberapa kali, untuk memanggil dua nona yang ia kenal.
Sebentar saja, sebuah perahu terhias datang menghampirkan, dari situ lantas muncul dua nona, yang terus naik keperahunya Ceng Ceng. Mereka kasi hormat kepada kedua anak muda.
Sin Cie berbangkit, untuk memberi hormat, mukanya merah padam bahna jengah.
Ceng Ceng lihat perubahan air muka kawan itu dalam hatinya ia tertawa geli.
Kedua nona tukang nyanyi itu tidak cantik tetapi mereka dibikin bersinar oleh yancie dan pupur. Segera yang satu meniup seruling dan yang lain bernyanyi.
Ceng Ceng kerutkan alis mendengar suara seruling dan nyanyian itu, tak sedap dia mendengarnya.
Sin Cie pun kerutkan alis.
"Dasar kau!" katanya, menyesali kawannya. "Makin lama kau jadi makin angot!"
Ceng Ceng tertawa.
"Sudah, sudah!" katanya. "Apa belum cukup kau tegur aku? Nanti aku meniup seruling untuk kau dengar..."
Ia ambil seruling dari tangannya si nona manis, ia celup saputangannya kedalam arak, lalu saputangan itu dipakai menyusuti seruling itu, sampai sekian lama, Barulah ia masuki kedalam mulutnya sendiri, untuk dicoba pelahan- lahan. Atau dilain saat, ia telah mulai perdengarkan sebuah lagu.
Segeralah terdengar sebuah lagu yang lain sekali dari lagunya si bunga raya barusan!
Di Cio-liang, diatas bukit bunga mawar, Sin Cie pernah dengar lagu yang mnearik hati ini, maka teringatlah ia dengan kejadian diatas bukit itu, sedang sekarang, suasana ada lain - sungai ada indah, dihadapan mereka ada arak wangi, ada nona-nona manis...
Kedua nona manis itu duduk bengong apabila mereka dengar tiupan lagu itu.
Sin Cie mendengari dengan asyik sekali, sampai ia tidak tahu sebuah perahu pelesiran yang besar yang mendekati perahunya sendiri, tahu-tahu ada suara tertawa nyaring disusul pujian : "Sungguh merdu! Sungguh merdu!"
Menyusul itu, tiga orang lelaki pun lantas naik keperahunya pemuda dan pemudi ini tanpa mereka itu minta perkenan lagi.
Ceng Ceng tidak suka atas kelakuan orang itu, yang ia pandang sebagai gangguan. Ia letaki serulingnya, ia lirik mereka itu dengan mata tajam.
Dari tiga tetamu yang tidak diundang itu, yang jalan ditengah ada seorang dengan kipas ditangan, bajunya tersulam, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun, alisnya kasar, matanya kecil, mukanya pun kasar. Dibelakang dia ini ada dua kee-teng atau hamba, yang membawa lentera atau tengloleng yang bertuliskan tiga huruf : "Cong Tok Hu" atau artinya "Gedung Cong Tok".
Sin Cie berbangkit, ia menyambut sambil memberi hormat. Kedua bunga raya itu memberi hormat sambil menjura. Cuma Ceng Ceng yang duduk tetap, tidak bergeming.
Orang itu tertawa, ia bertindak masuk ke ruangan dalam perahu.
"Maaf, maaf!" katanya dengan gembira, lalu ia jatuhkan diri atas sebuah kursi, untuk mana ia tidak nantikan undangan lagi.
"Maaf tuan, apa she dan namamu yang besar?" Sin Cie tanya.
Pemuda ini sabar dan selalu berlaku manis-budi.
Orang yang ditanya belum menyahuti, atau salah satu bunga raya dului ia dengan berkata : "Inilah Ma Kongcu dari Congtok-hu dari Hong-yang."
Kongcu ini tidak jawab Sin Cie, dia hanya mengawasi Ceng Ceng dengan kedua matanya yang sipit.
"Kau dari rombongan wayang mana?" ia tanya nona kita, yang ia sangka ada satu pemuda. "Merdu sekali tiupan serulingmu! Kenapa kau tidak hendak layani toa-ya-mu ini? Ha-ha-ha!"
Sepasang alisnya Ceng Ceng bangun. Ia gusar orang anggap dia ada satu anak wayang. Sebenarnya ia hendak tegur kongcu itu tetapi Sin Cie kedipi dia.
"Inilah saudaraku, kami datang ke Lamkhia untuk cari sahabat," anak muda kita menjawab.
"Kamu cari sahabat, siapa itu?" tanya Ma Kongcu. "Ini hari kamu telah bertemu denganku, mari kita bersahabat! Dengan bersahabat dengan aku, aku tanggung kamu nanti tidak kekurangan makan dan pakai!"
Ia tertawa pula. Sin Cie jadi mendongkol, akan tetapi ia masih dapat mengatasi dirinya. Ia tidak perlihatkan roman gusar.
"Tayjin Ma Su Eng itu pernah apa dengan tuan?" tanyanya.
"Ma Tayjin itu adalah pamanku!" sahut Ma Kongcu dengan roman sangat bangga.
Itu waktu dari perahu pelesirannya si kongcu ini muncul pula seorang lain, pakaiannya perlente tetapi kepalanya kecil dengan mata kecil juga, sedang kumisnya caplang. Ia lantas menjura kepada Ma Kongcu.
"Kongcu-ya," katanya sambil tertawa. "saudara ini pandai sekali meniup seruling."
Melihat dandanan orang, Sin Cie merasa pasti orang ini gundalnya pemuda itu.
"Keng Teng, pergi kau bicara dengan mereka," kata Ma Kongcu.
Itulah titah yang cuma dimengerti orang yang dipanggil Keng Teng itu, yang sebenarnya ada orang she Yo. Dia ini lantas hadapi Sin Cie dan Ceng Ceng untuk terus berkata :
"Ma Kongcu ini adalah keponakannya Ma Tayjin, Congtok dari Hongyang, dan dia sangat gemar ikat persahabatan. Ma Tayjin sangat sayang keponakannya ini, hingga dia perlakukannya sebagai puteranya sendiri saja. Jiewie, baiklah kamu pindah, untuk tinggal bersama-sama Ma Kongcu!"
Sin Cie tdiak enak hati mendengar kata-kata itu, terutama ia kuatir Ceng-Ceng gusar, akan tetapi diluar sangkaanya, ia lihat nona itu tertawa dengan ramah-tamah.
"Itulah bagus sekali," katanya Ceng Ceng. "Mari kita berangkat sekarang!" Ma Kongcu girang seperti ia mendapati mustika yang terjatuh dari langit, dia sambar tangannya Ceng Ceng untuk ditarik. Tapi Ceng Ceng mendahului tarik tangannya sendiri, untuk dipakai membetot satu bunga raya, tubuh siapa ditolak kepada Kongcu itu, hingga mereka itu jadi saling tabrak!
Sin Cie heran, ia diam saja. Ceng Ceng segera berbangkit.
"Aku lagi memberi hadiah kepada dua nona ini dan tukang perahu," katanya. "seorangnya lima tail perak..."
"Jangan, nanti akulah yang menghadiahkannya!" berkata Ma Kongcu itu. "Besok kamu pergi kepada tukang uangku untuk terima hadiahmu ini!" Ia tambahkan kepada bunga raya itu dan tukang perahu.
"Apakah bukan lebih baik hadiahkan sekarang saja?" tanya Ceng Ceng dengan tertawa manis.
"Ya, ya , sekarang pun boleh!" kata Ma Kongcu hampir berseru, lantas ia ulapi tangannya kepada salah satu orangnya, maka satu kee-teng lantas keluarkan uang lima- belas tail, yang dia letaki diatas meja.
Tukang perahu dan kedua nona bunga raya itu menghaturkan terima kasih, kemudian si tukang perahu kembali pada penggayunya.
Ma Kongcu terus menatap Ceng Ceng, sampai sebentar kemudian perahu sudah sampai di tepi.
"Nanti aku cari joli," Keng Teng bilang.
"Eh, tunggu dulu," tiba-tiba Ceng Ceng kata, romannya agak terperanjat. "Aku kelupaan serupa barang di tempatku, perlu aku pulang dulu untuk mengambilnya." "Nanti aku titahkan orangku yang pergi ambil," Ma Kongcu bilang. "Tak usah kau yang pulang sendiri. Saudara yang baik, dimana kau tinggal?"
"Aku mondok di kuil Hoat Hoa Sie diluar pintu kota Kim-Coan-mui," sahut Ceng Ceng. "Tapi barangku itu tak dapat lain orang yang mengambilnya."
Yo Keng Teng sudah lantas bisiki Ma Kongcu. "Awasi dia, jangan kasi dia molos!"
"Benar, benar!" kata Kongcu itu dengan mata membelalak. Terus ia pandang "pemuda" itu dan kata: "Kalau begitu, saudara yang baik, aku nanti temani kau pergi bersama!"
Ma Kongcu ulur tangannya, untuk sengklek bahu orang. Ceng Ceng tertawa geli, tapi ia menyingkir kesamping. "Tidak, aku tidak ingin kau turut!" ia menolak.
Semangatnya Ma Kongcu seperti meninggalkan pergi raganya melihat kelakuan yang menggiurkan itu.
"Kau lihat, Keng Teng," katanya , "apabila saudara yang baik ini dandan sebagai satu nona, pastilah didalam kota Kimleng ini tidak ada satu gadis jua yang nempil dengannya!..."
"Engko, mari kita pergi," Ceng Ceng mengajak kawannya. Dan ia sambar tangannya Sin Cie, untuk dituntun pergi.
Ma Kongcu melirik kepada Keng Teng, ia lantas mengikutnya, maka gundalnya itu, bersama dua pengiringnya, turut mengikuti ia, hingga berempat mereka berjalan dibelakang dua pemuda itu. Si Kongcu sendiri kemudian cepati langkahnya, untuk susul Ceng Ceng, supaya berdua mereka berada berdampingan, untuk bicara sambil ter-tawa-tawa.