"Benar," sahut si nona. "Sebenarnya, bagaimana duduknya maka kau dapat menemui kuburan ayahku?'
"Nanti kita bicara ditengah jalan saja," jawab pemuda itu.
Si pemudi menuruti, dari itu, setelah sarapan, mereka melanjuti perjalanan, menuju keutara. Adalah selagi berjalan, Sin Cie tuturkan kejadiannya bagaimana ia ketemukan tulang-tulangnya Kim Coa Long-kun didalam gua, bagaimana ia dapati peti besi yang berisi kitab atau peta berharga. Ia tuturkan semua dengan jelas.
Ceng Ceng girang berbareng berduka.
Sin Cie lanjuti penuturannya tentang sepak-terjangnya Thio Cun Kiu dan si pendeta, yang datang dan bekerja bersama tapi akhirnya saling menjahati.
424 Bergidik Ceng Ceng mendengar cerita itu.
"Thio Cun Kiu itu ada muridnya Su-yaya," terangkan ia kemudian. "Dia ada seorang yang jahat sekali. Dan itu hweeshio, bukankah pada mukanya ada tanda bekas satu luka?"
"Benar, itu benar," Sin Cie mengasi kepastian.
"Dia ada Goh In, ia muridnya jie-yaya," Ceng Ceng kasi keterangan lebih jauh. "Sejak ayah lenyap, yaya semua kirim belasan muridnya kesegala penjuru untuk mencari, telah ditetapkan setiap tiga tahun mereka mesti memberi kabar berhasil-tidaknya penyelidikan mereka. Dua binatang itu ada sangat jahat, pantas mereka terima kebinasaan mereka secara demikian rupa!"
Nona ini berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Ayah telah menutup mata, setelah mati, dia masih bisa atur daya untuk binasakan musuh-musuhnya, sungguh luar biasa sekali!" ia jadi bangga sekali.
"Yayamu semua tahu ada hubungan diantara aku dan ayahmu itu, aku percaya mereka bakal berdaya lebih keras untuk mencari tahu hal harta besar itu dan kuburan ayahmu," Sin Cie utarakan kemudian.
"Tapi mereka tahu juga mereka tidak sanggup lawan kau, percuma saja mereka bikin dirinya tambah sibuk saja," kata si nona. "Coba ayah masih hidup dan ia tahu kau telah hajar mereka kucar-kacir begini rupa, entah betapa girangnya ayah!...Tapi ibu telah menyaksikannya sendiri kau labrak mereka, tentu ibu akan menyampaikannya kepada ayah.... Coba kau kasih lihat pula tulisannya ayah kepadaku."
Sin Cie perlihatkan apa yang diminta si nona. "Ini ada barang ayahmu, harus ini dipulangi kepadamu," ia bilang.
Ceng Ceng tidak menjawab, dengan penuh perhatian ia awasi peta dan tulisan ayahnya itu, nampaknya ia berduka berbareng bersuka-ria juga.
Sejak itu, setiap ada kesempatan, selagi singgah dipemondokan, ia suka keluarkan peta itu, untuk diawasi, untuk dibuat main.
Pada suatu hari dua anak muda ini sampai di Siong- kang, tiba-tiba si pemudi kata : "Engko, begitu lekas kita sampai di Lam-khia, paling dulu kita cari itu mustika berharga!"
Sin Cie heran.
"Kau maksudkan apa?" tanyanya.
"Bukankah dalam peta ayah ada disebutkan hal mustika berharga?" si nona baliki. "Bukankah ayah telah menulis, siapa dapatkan mustika itu, ia mesti berikan itu sepuluh laksa tail emas? Maka teranglah sudah, mustika itu mesti berharga besar sekali."
Rupanya Sin Cie Baru ingat.
"Kau benar, akan tetapi mengurus urusan kita ada lebih penting," ujarnya dengan perlahan.
Pemuda ini senantiasa ingat gurunya dan habis menemui gurunya, hendak ia menuntut balas untuk ayahnya.
"Kita telah punyakan petanya, aku pikir, dengan cari mustika itu, tidak nanti kita sia-siakan banyak tempo," si nona utarakan.
"Habis, buat apa kita punya harta besar itu?" Sin Cie tanya. "Adik Ceng, aku harap sukalah kau menjadi orang baik- baik, jangan kau terpancing oleh harta besar. "
Tapi Ceng Ceng menjebikan bibir, waktu dia masih juga dinasehati, dia jadi tidak puas hingga itu malam tak mau dia dahar....
Dihari kedua, perjalanan dilanjutkan.
"Engko," kata si nona, selagi berjalan," aku cuma ambil emasnya Giam Ong dua ribu tail, mereka itu jadi sibuk luar biasa, sampai toasuhengmu turun tangan sendiri untuk merampas pulang emas itu. Kenapa sikapnya Giam Ong demikian cupat?"
"Keliru jikalau kau anggap Giam Ong cupat pikiran," Sin Cie kasi mengerti. "Aku pernah bertemu sendiri dengannya, dia ramah tamah dan budiman, ia tak sayang uangnya untuk menolong mereka yang membutuhkannya. Dia lagi berdaya untuk membebaskan rakyat jelata dari kesengsaraan, karenanya ia jadi sangat hemat. Dia adalah satu enghiong, satu hookiat terbesar! Emas dua ribu tail itu ia sangat butuhkan, pasti sekali tak bisa ia antapkan lenyap."
"Kalau demikian, itulah lain," Ceng Ceng bilang. "Sekarang umpamakan kita hadiahkan Giam Ong dengan dua-puluh laksa tail emas, sampai dua ratus laksa tail emas, bagaimana kau pikir, tidakkah itu bagus?"
Sin Cie sadar dengan tiba-tiba, hingga dia lupa akan dirinya. Dia sambar tangannya si nona dan cekal itu dengan keras.
"Adik Ceng, kenapa pikiranku jadi begini butek?" berseru dia. "Syukur kau memperingatinya!"
Ceng Ceng lepaskan tangannya. "Tak perlu aku dengan pujianmu," katanya. "sudah cukup bagiku asal kemudian kau kurangi teguranmu."
Pemuda itu tertawa.
"Umpama berhasil kita mencari harta besar itu dan kita menghadiahkannya kepada Giam Ong, sungguh itu ada satu berkah besar untuk rakyat jelata!" katanya dengan girang.
Maka keduanya lantas numprah ditepi jalanan, mereka beber petanya Kim Coa Long-kun, untuk diperdatakan dengan seksama.
0o-d.w-o0
Ditengah-tengah peta itu ada satu bundaran kecil warna merah, disamping itu diberi tanda antaranya empat huruf halus, bunyinya : "Gui Kok Kong Hu", yang berarti "Istana Gui Kok-Kong". Gui Kok-Kong itu adalah "Pangeran (hertog) Gui".
Masih saja mereka menelitinya.
"Menurut bunyinya keterangan," berkata lagi Sin Cie kemudian, "harta besar itu disimpannya didalam tanah dari sebuah kamar yang mencil didalam pekarangan istana pangeran Gui itu., jikalau disitu kita menggali kita akan dapati suatu lapis lembaran besi dibawah mana akan kedapatan sepuluh peti besi yang besar. Itulah dia harta besar itu."
"Maka kalu nanti kita sampai di Lamkhia, baik kita lantas cari istana Gui Kok-kong itu," sarankan si pemudi. "Asal kita berhasil mendapati istana itu, selanjutnya mesti kita punyakan daya lain!" "Gui Kok-kong itu ada gelaran kebangsawanan dari Tay- ciangkun Cie Tat," Sin Cie terangkan pula. "Jendral itu ada salah satu menteri besar dari kerajaan Beng. Istananya mestinya luar biasa sekali, umpama kata kita dapat memasukinya, pasti sulit untuk menggali sana dan menggali sini untuk cari harta itu..."
"Sekarang ini tak ada gunanya kita pikirkan itu terlalu jauh," Ceng Ceng bilang. "Buat apa kita menduga-duga saja? Nanti setelah sampai di Lamkhia Barulah kita berdaya pula."
Sin Cie anggap si nona benar, ia menurut.
Kembali mereka lakukan perjalanan mereka, sampai lewat pula beberapa hari, sampailah mereka di Lamkhia, kota yang dituju itu, yang dengan lain nama disebut Kim- leng, satu kota bertembok batu yang dipandang sebagai kota paling besar di "kolong langit", sedang disanapun adanya Beng Hau-leng, ialah makam raja-raja ahala Beng. Itulah ibukota pertama sejak dibangunnya kerajaan Beng oleh Beng Tha-cou, kaisar Beng yang pertama. Walau kota itu pernah mengalami kekalutan besar, kotanya masih tetap indah dan ramai.
Sin Cie berdua Ceng Ceng ambil tempat di hotel dengan mengaku mereka datang ke Lamkhia untuk mencari sahabat , dari itu dihari kedua, si anak muda panggil jongos untuk dimintai keterangan dimana pernahnya istana Gui Kok-kong.
Jongos itu bingung. Ia bilang tak tahu ia perihal istana itu.
Ceng Ceng sangka orang mendusta, ia jadi gusar. "Gui Kok-kong ada menteri nomor satu yang besar jasanya dari kerajaan kita, kenapa kau bilang tidak ada istana Gui Kok-kong disini?" ia bentak.
"Jikalau memang benar ada istana itu silakan siangkong cari sendiri," jawab si jongos. "Benar-benar aku tidak tahu."
Ceng Ceng anggap jongos itu kurang ajar, ia ayun tangannya untuk memberi bogem mentah, tetapi Sin Cie cegah dia, hingga kesudahannya si jongos ngeloyor pergi sambil menggerutu sendiri...
"Mari kita cari," mengajak Sin Cie pada kawannya.
Ceng Ceng menurut, berdua mereka keluar dari hotel itu. Itu hari mereka mengidar dengan sia-sia saja, tak dapat mereka peroleh keterangan perihal istana Pangeran Gui itu. Mereka ulangi mencari dihari kedua, hasilnya tetap sia-sia saja, demikianpun ketika mereka lanjuti penyelidikan sampai tujuh atau delapan hari.
Sin Cie berniat keras mencari balas, ia ingin tunda dulu menyelidiki tentang istana itu, akan tetapi kawannya penasaran.
"Mari kita cari terus," Ceng Ceng bilang.
Mereka kembali putar-putaran didalam kota beberapa hari lamanya, tapi hasilnya tetap tidak ada kecuali capai- lelah.
Menurut keterangan yang mereka peroleh sampai sebegitu jauh, katanya turunan dari Tayciangkun Cie Tat atau Gui Kok-kong itu adalah raja muda dengan kekuasaan atas bala tentara didalam kota Lamkhia, bahwa istananya Baru beberapa tahun yang lalu dibangunkannya, sedang tentang istananya Gui Kok-kong, tak ada yang mengetahuinya. Saking penasaran, Ceng Ceng usulkan untuk diwaktu malam satroni onghu atau istananya raja muda she Cie itu.
Sin Cie tidak setuju, ia tentang usul itu dengan bilang, karena istana ada pendirian baru, tak mungkin harta karun didapatkan disana, atau umpama kata benar harta tersimpan disana, dengan berdua saja, apa mereka bisa buat? Sebaliknya apabila mereka gagal, rahasia jadi ketahuan oleh raja muda itu, yang pastinya akan cari sendiri harta itu. Istana pasti terjaga kuat sekali.
Puterinya Kim Coa Long-kun itu dapat dikasi mengerti.
Dilain harinya, diwaktu sore dua orang ini pergi kesungai Cin Hoay Hoo yang kesohor , untuk menyewa perahu pelesiran, buat mencoba menghibur diri setelah buat banyak hari mereka putar-kayun dengan siasia.
"Ayahmu ada satu enghiong, setelah mendapati peta, dia sendiri masih belum berhasil mencari tempatnya harta karun itu, inilah benar sulit," si pemuda nyatakan.
"Akan tetapi ayah menulis dengan jelas sekali, mustahil ia keliru," si pemudi bertahan. "Karena harta itu bukan cuma satu tail atau dua tail emas, pasti sekali tempat simpannya sulit untuk gampang-gampang dicari sembarang orang..."
"Kalau begitu, mari kita cari lagi satu hari, apabila tetap kita gagal, kita berangkat dari sini," Sin Cie bilang akhirnya.
"Kita mencari sampai lagi tiga hari!" kata Ceng-Ceng.
Di sungai itu, dari beberapa penjuru, terdengar suara seruling yang diiringi dengan nyanyian-nyanyian. Selain itu, terdengar juga suaranya penggayu-penggayu dari pelbagai perahu pelesiran lainnya, sedang cahaya api memain sebagai bajangan di permukaan air. Ceng Ceng tenggak beberapa cawan arak, mukanya yang dadu jadi bersemu lebih merah, hingga diantara sinar api, ia nampaknya jadi bertambah-tambah cantik.
Sin Cie tertawa.
"Baik aku turut kau, kita mencari lagi tiga hari!" kata Sin Cie.
Nampaknya si nona puas.