"Pegang dahan pohon di bawah itu!" Han Liong waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya. Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan cepatnya.
Bagaikan bersayap, kaketnya dapat menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon. Orang tua itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya! Keringat dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.
"Lompat ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri. Ketika Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat. Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan menerangi gua itu.
Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela. Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela! Tamasya alam yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa segar dan sedap.
"Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu," kata kakeknya tiba-tiba. Han Liong terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi delapan). Wajah yang agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak beiarti. Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh hormat,
"Teccu menghaturkan hormat." Kam Hong Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak.
"Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah pengetahuanmu." Han Liong memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi,
Di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu! Demikianlah, tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak terduga. Petunjuk-petunjuk yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat.
Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu. Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya. Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat tinggi. Pada suatu hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,
"Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu." Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah.
"Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maktud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!" Kam Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu.
"Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi muridku." Han Liong segera berlutut dan menyebut.
"Suhu!"
"Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya."
"Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?" tanya Han Liong.
"Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat menandingi!" Han Liong yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula. Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.
"Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw liong-Pokiam."
"Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa aneh itu?" Kakeknya tertawa.
"Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu."