Pedang Pusaka Naga Putih Chapter 04

NIC

"Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!" Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!

"Berhenti, bangsat tua bangka!"

Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat (Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya seorang dengan empat tangan dan empat pedang! Belum pernah selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan, mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya. Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata.

"Bagus benar permainan pedang kalian!" Kedua saudara Lie Ban dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan.

Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi. Baru saja angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi, karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang hebat! Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuh-musuhnya! Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang mengepalai barisan pejuang.

Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap penuh hutan liar. Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum. Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun usianya. Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali.

Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya! Dari dalam hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas, yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai mangsanya!

Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutan-hutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san, tampak seSosok bayangan terbang melayang-layang di atas rumput-rumput hijau. Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga seakan-akan melayang.

Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sin-sut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah kepandaiannya meringankan tubuh. Rumput-rumput yang terinjak oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh "Co-siang-hui" dari orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya. Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun. Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak yang berkilauan laksana benang perak.

Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari. Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun. Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya disambut oleh tiga orang kakek lain.

"Ha, ha, Hong Losuhu, bagus benar! Kulihat engkau telah berhasil," kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan kagum. Siapakah mereka itu? Anak itu adalah Han Liong dan pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan musim Chun. Yang bermata sebelah adalah Siauw- lo-ong Hee Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati, tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar dan kaku, kacau balau tak teratur.

Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan. Orang keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih. Keempat orang tua itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil berkali-kali menyebut,

"Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci," dan lain pujian lagi.

"Hong Losuhu," kata Hee Ban Kiat si mata satu,

"sebagai orang tua kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan dapat mati tenteram!"

"Eh, Hee-koaijin!" bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa menyebut si mata satu "koaijin" (orang aneh).

"Engkau mau enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi tukang tadah. Ini tak mungkin!"

"Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. Pinceng si tua bangka belum pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini. Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut keturunan Si-Enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang ada pada pincang," menyambung Bie Kong Hosiang dengan senyum memohon.

"Hm, saudara-saudara, jangan berebut," sela Pauw Kim Kong yang mempunyai suara halus seperti wanita.

"Baiknya diatur begini. Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan sayembara. Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi, dialah yang berhak menjadi guru anak ini!"

"Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita semua?" tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan cahaya kilat. Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan kanannya yang terbungkus baju putih panjang,

"Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang." Semua setuju mendengar usul ini.

Posting Komentar