tapi tanpa penerangan.
Berkat cahaya lilin kamar sebelah samar2 terlihat kamar ini sangat kecil, juga ada sebuah tempat tidur dengan kelambu terurai rapat, agaknya ada orang tidur di situ.
Hanya melangkah masuk ketepi pintu saja, lalu Gi-lim berhenti.
"Cici, harap kau bubuhi lukanya dengan Thian-hiangtoan-siok-ciau yang kau bawa," pinta Fifi, Gi-lim ragu2, katanja: "Apakah.
apakah benar dia mengetahui dimana beradanya jenazah Sau-toako?" "Mungkin tahu, bisa jadi tidak tahu, akupun tak dapat memastikan," jawab Fifi.
"Tadi ....
tadi kau bilang dia tahu?" Gi-lim menjadi cemas.
"Aku kan bukan lelaki sejati, apa yang kukatakan boleh kutepati dan boleh tidak.
Jika kau mau mencobanya boleh kau obati lukanya sekarang.
Kalau tidak, boleh kau angkat kaki, siapapun takkan merintangimu." Mau-tak-mau Gi-lim berpikir: "Apapun juga, demi menemukan jenazah Sau-toako biarpun sangat tipis harapannya juga harus kucoba." Setelah pikirannya mantap, segera ia berkata: "Baik, akan kuobati dirinya" Segera ia keluar kekamar sebelah dan mengambil tatakan lilin serta dibawa kedepan tempat tidur di kamar bagian dalam ini.
Disingkapnya kain kelambunya, tertampaklah seorang tidur telentang, mukanya tertutup oleh sehelai sapu tangan hijau tipis, mengikuti pernapasannya, kain sapu tangan itupun ber-getar2.
Rada tenteram hati Gi-lim, karena tidak melihat wajah orang.
ia menoleh dan tanya Fifi: "Dimana lukanya?" "Di dada," jawab Fifi.
"Cukup dalam lukanya hampir saja melukai jantungnya." Pelahan Gi-lim membuka selimut tipis yang menutup tubuh orang itu.
dilihatnya orang itu bertelanjang dada, benarlah di bagian dada ada sebuah luka lebar, darah sudah berhenti mengalir, tapi luka cukup dalam, jelas sangat berbahaya.
Sedapatnya Gi-lim menenangkan diri, pikirnya: "Betapapun harus kuselamatkan jiwanya." Ia serahkan tatakan lilin agar dipegang Fifi, dengan pelahan ia merabai sekitar luka orang itu, ia tutuk tiga Hiat-to yang beranngkutan.
"Hiat-to penghenti darah sudah tertutuk, kalau tidak manabisa hidup sampai sekarang," bisik Fifi dengan suara tertahan.
Gi-lim mengangguk.
Dilihatnya Hiat-to sekitar itu memang benar sudah tertutuk dengan baik.
Maka pelahan ia angkat kapas yang menyumbat luka itu.
Siapa tahu, begitu kapas diambil, seketika darah segar mengucur keluar lagi.
Syukur Gi-lim sudah belajar cara memberi pertolongan pertama, cepat tangan kiri menekan bagian luka, tangan kanan lantas memoles luka dengan salep yang dibawanya, kemudian ditutup pula dengan kapas.
Salep Thian-hiang-toan-siok-ko adalah obat luka mujarab Siong-san-pay yang terkenal.
Begitu dibubuhkan pada luka itu, hanya sekejap saja darah lantas berhenti.
Pernapasan orang luka ini kedengaran berkempaskempis, entah dapat diselamatkan atau tidak.
padahal tujuan kedatangan Gi-lim ingin menanyakan jenazah Sau Peng-lam.
Karena itu ia lantas berkata: "Enghiong yang terhormat ini, ada sesuatu ingin kutanya padamu, mohon Enghiong sudi memberi keterangan." Terdengar orang itu bersuara tertahan.
Mendadak Fifi bergeliat, tatakan lilin yang dipegangnya menjadi miring, api lilin lantas padam, keadaan didalam kamar menjadi gelap gulita.
"Ai, padam!" seru Fifi.
Gi-lim menjadi gugup, pikirnya.
"Tempat kotor ini mestinya tidak boleh didatangi Cut-keh-lang seperti diriku ini.
Biarlah lekas kutanya keterangan Toako, lalu kutinggal pergi dengan segera." Maka ia ciba bertanya pula: "Enghiong ini apakah keadaanmu agak lebih baik?" Kembali orang itu mendengus tertahan dan tidak menjawab.
"Dia lagi demam," kaia Fifi.
"Boleh kau raba dahinya, panasnya luar biasa." Belum lagi Gi-lim menjawab, tahu2 tangan kanannya sudah dipegang Fifi dan ditaruh diatas jidat orang itu.
Sementara itu sapu tangan yang menutupi mukanya ternyata sudah disingkirkan oleh Fifi.
Gi-lim merasa tangannya seperti memegang bara, panasnya luar biasa, tanpa terasa timbul rasa kasihannya, katanya: "Aku juga bawa obat dalam dan harus kuminumkan dia.
Fifi.
hendaklah lilin kau pasang lagi." "Baiklah, kau tunggu disini, kupergi mencari api" kata Fifi.
Gi-lim menjadi gugup karena akan ditinggal pergi, cepat ia menarik lengan baju anak dara itu dan berkata: "Tidak, jangan pergi kau." Fifi tertawa pelahan, katanya; "Jika begitu keluarkanlah obatmu." Segera Gi-lim meraba keluar sebuah botol porselen kecil dan menuang tiga biji pil.
katanya; "Ini obatnya, boleh kau minumkan padanya." "Dalam kegelapan begini, jangan sampai obatmu terjatuh hilang," ujar Fifi.
"Jiwa manusia maha penting dan tidak boleh dibuat main2.
Cici yang baik, biarlah aku saja yang menunggu disini, kau pergi mencari api." Bahwa Gi-lim disuruh keluyuran ditengah rumah pelacuran begini, sudah tentu ia tidak berani, cepat ia menjawab: "O, tidak, aku tidak mau!" "Menolong orang hendaknya jangan kepalang tanggung," kata Fifi.
"Cici yang baik, boleh kau jejalkan obat ke dalam mulutnya dan suapi dia minum beberapa cegukan teh, kan beres semuanya.
Dalam kegelapan begini, dia takkan melihat siapa kau, kenapa takut" Nah, inilah cangkir teh.
pegang yang betul, jangan sampai tumpah." Pelahan Gi-lim menjulurkan tangannya dan menerima cangkir itu, sejenak ia ragu2, pikirnya: "Suhu sering memberi petua, Cut-keh-lang harus mengutamakan welas-asih, menolong jiwa satu orang melebihi bangun budur (candi) tujuh tingkat.
Seumpama orang ini tidak dapat memberitahu dimana beradanya jenazah Sau-toako, tapi jiwanya jelas terancam bahaya, kan harus kutolong dia " Segera ia meraba pelahan muka orarg itu, setelah tahu persis mulutnya, ia jejalkan tiga biji pil "Pek-hun-wan" (empedu beruang Pek-hun-am).
Agaknya orang itupun belum kehilangan kesadarannya, ia membuka mulut dan menelan pil itu, ketika Gi-lim mendekatkan cangkir kemulutnya, iapun minum beberapa ceguk dan bersuara samar2, seperti menyatakan terima kasih.
"Enghiong ini," demikian ucap Gi-lim pula, "Engkau terluka parah, seharusnya istirahat dengan tenang.
Cuma ada suatu urusan penting harus kutanyakan padamu, Ada seorang Sau-tayhiap dicelakai orang, jenazahnya .
" Orang itu bersuara seperti terkesiap, jawabnya dengan suara lemah: "Kau.
.
kau tanya Sau Peng-lam ...." "Betul, apakah engkau mengetabui dimana beradanya jenazah Sau Peng-lam yang baik itu?" tanya Gi-lim pula.
Samar2 orang itu menjawab: "Je ....
jenazah apa maksudmu?" "Ya, jenazah.
jenazah Sau-tayhiap itulah?" Orang itu omong sesuatu dengan samar2, suaranya sangat lemah sehingga tidak terdengar.
Gi-lim mengulangi lagi pertanyaannya dan mendekatkan telinga kemuka orang itu.
didengarnya napas orang itu agak memburu, seperti ingin bicara, tapi sukar bersuara.
Tiba- Gi-lim ingat bekerjanya obat Pek-hun-him-tan-wan sangat keras, orang yang sudah diberi minum obat itu seringkali harus pulas sampai setengah harian, itulah saat2 penting bekerjanya obat, dalam keadaan demikian tentu tidaklah layak dia bertanya terus menerus.
Dasar hati Gi-lim memang welas-asih, ia menghela napas pelahan dan menarik diri dari dalam kelambu, ia geser sebuah kursi dan berduduk didepan tempat tidur.
katanya lirih: "Biarlah kutanyai dia nanti kalau dia sudah agak lebih segar." "Cici, jiwa orang ini tak beralangan bukan?" tanya Fifi.
"Semoga dia dapat sembuh," jawab Gi-lim.
"Cuma luka di dadanya memang sangat parah, Fifi, sesungguhnya dia.
siapa dia ini?" Fifi tidak menjawabnya, selang sejenak baru berkata: "Menurut pandangan kakekku, segala urusan duniawi tak dapat kau kesampingkan, katanya kau tidak pantas menjadi Nikoh." "Kakekmu kenal aku?" Gi-lim menegas dengan heran.
"dari.
darimana dia mengetahui aku tak dapat mengesampingkan urusan orang hidup?" "Kemarin, waktu makan di Cui-sian-lau.
aku bersama kakek telah menyaksikan kalian bertempur dengan Thio Yan coan." "Ahhh!" Gi-lim bersuara terkejut.
"Kiranya orang yang bersama kau itulah kakekmu?" "Ya, kemarin kami sengaja menyamar sehingga si telur busuk Thio Yan-coan itu tak dapat mengenali kami," tutur Fifi dengan tertawa, "Dia paling takut kepada kakek, jika dia tahu kakek hadir disitu, mungkin pagi2 dia sudah kabur se-jauh2nya." Gi-lim berpikir: "Jika begitu, Waktu itu kalau kakekmu mau unjuk muka tentu dapat membuat Yan-coan lari ketakutan dan Sau-toako juga tidak perlu mati konyol." Namun sebagai orang yang alim, kata2 yang menyesali orang lain tidak nanti diucapkannya.
Tapi Fifi seperti tahu isi hatinya, katanya: "Dalam hati tentu kau menyesali kakekku karena tidak mau menghalau pergi Thio Yan-coan melainkan cuma menyaksikan kejadian itu sehingga Sau-toako tewas di tangan orang she Thio itu." -ooo0dw0ooo- Gi-lim tidak biasa berdusta, hatinya menjadi pedih, ucapnya dengan tersendat: "Akulah yang salah, jika tempo hari aku tidak cuci tangan ditepi kali, tentu aku takkan kepergok Thio Yan-coan dan ditawan dan tentu pula takkan membikin susah Sau-toako, mana.
mana berani kusesali kakekmu?" "Baiklah jika kau tidak menyesali beliau, kakek memang tidak suka orang menyesali dia," kata Fi-yan.
"Waktu itu Yaya bilang hendak melihat tindak-tanduk Thio Yan-coan apakah benar2 sudah sedemikian busuknya sehingga sukar diobati, ingin tahu apakah dia akan ingkar janji atau tidak jika kalah.
Akhirnya.
hihihi, Cici.
" sampai di sini mendadak ia tertawa, lalu menyambung pula: "Sau-toakomu itupun pintar putar lidah, dia bilang bertempur dengan berduduk dia jago nomor dua didunia, kakek menjadi rada percaya kepada ocehannya, bahkan mengira dia benar2 menguasai semacam ilmu pedang yang dilatihnya sembari berak malahan juga percaya Thio Yancoan takkan mampu mengalahkan dia.