Dengan suara keras Thianbun Tojin bertanya: "Cara bagamana matinya" Siapa yang membunuh dia?" "Yakni orang ...
orang jahat yang datang dari Tang-hay ini!" jawab Gi-lim sambil menuding mayat Lo Ci-kiat.
Rasa gusar Thian-bun menjadi reda demi mendengar Sau Peng-lam sudah mati.
Ciamtay Cu-ih juga merasa senang, pikirnya: "Kiranya keparat Sau Peng-lam ini terbunuh oleh Ci-kiat.
Jika demikian.
jadi mereka lebih gugur ber-sama2.
Bagus, jelek2 Ci-kiat ini boleh juga, tidak percuma kutugaskan dia mencari nama kedaerah Tionggoan ini." Mendadak ia melototi Gi-lim dan menjengek: "Hm, memangnya hanya Ngo-tay-lian-beng kalian yang orang baik, sedangkan Tang-wan kami adalah orang jahat?" "Aku ....
aku tidak tahu, yang kumaksudkan bukan Ciamtay supek, tapi kumaksudkan dia," ucap Gi-lim dengan menangis sambil menunjuk mayat Lo Ci-kiat.
Dia mendengar gurunya menyebut kakek pendek gemuk ini sebagai Hong-hoa-wancu, maka tahulah dia siapa sang Supek ini.
Ting-yat balas melototi Ciamtay Cu ih, damperatnya: "Untuk apa kau menakut-nakuti anak kecil" Jangan takut, Gi-lim, betapa jahat orang ini, ceritakan saja seluruhnya.
Suhu berada disini, masa ada orang berani bikin susah padamu." "Cut-keh-lang tidak boleh bohong, apakah Siausuhu berani bersumpah di depan Buddha?" kata Ciamtay Cu-ih tiba2.
Rupanya ia kuatir Ting-yat akan menyuruh Gi-lim bercerita tentang ke-busukan Lo Ci-kiat.
Sedangkan muridnya itu sudah mati, tanpa bukti hidup, tentu orang akan percaya pada cerita sepihak Gi-lim.
"Terhadap Suhu, tidak nanti aku berdusta," jawab Gi-lim, ia terus berlutut dan berdoa: "Tecu Gi-lim akan memberi laporan kepada Suhu dan para Supek dan Susiok, Tecu berjanji takkan berdusta sepatah katapun, Buddha maha sakti.
tentu maklum akan ketulusan hati Tecu." Mendengar ucapannya yang tulus dan khidmat, kelihatannya juga menimbulkan rasa kasihan orang, maka semua orang sama terharu kepada ucapannya itu.
Seorang Susing (sastrawan) berjenggot hitam sejak tadi hanya mendengarkan disamping, sekarang tiba2 ia menyela: "Setelah Siausubu bersumpah setulus ini, dengan sendirinya semua orang percaya padamu," Kiranya orang itu she Bun, orang menyebutnya Bunsiansing, namanya apa malah tiada yang tahu.
Hanya diketahui dia orang berasal dari selatan Siamsay, bersenjata Boan-koan-pit, terhitung jago ahli Tiam-hiat.
Dalam pada itu suasana di ruangan tamu ini menjadi hening, semua orang lama menantikan Gi-lim bercerita lebih lanjut.
Sejenak kemudian, dengan pelahan barulah Gi-lim mulai menutur pula: "Kemarin sore, kuikut Suhu dan para Suci ke Thayan, di tengah jalan turun hujan lebat, karena kurang hati2 kakiku terpeleset dan hampir jatuh, kaki dan tanganku menjadi kotor setiba di kaki bukit, kupergi ke tepi sungai untuk cuci tangan.
Se-konyong2 kulihat didalam air sungai di sampingku telah bertambah sebuah bayang orang lelaki.
Aku terkejut dan cepat berbangkit, namun punggungku lantas terasa sakit, aku telah tertutuk oleh orang itu.
Sungguh aku sangat takut, aku ingin berteriak minta toiong, namun tidak dapat bersuara lagi.
Orang itu mengangkat tubuhku dan membawaku ke sebuah goa.
Disitu kulihat jelas wajahnya.
tampaknya dia tidak jahat, legalah hatiku.
Selang tak lama, kudengar para Suci sedang beeseru mencari diriku dari berbagai jurusan.
Tapi apa dayaku, sama sekali aku tak dapat bergerak dan bersuura.
'Gi-lim, dimana kau"' demikian kudengar para Suci memanggil namaku.
Orang itu hanya tertawa saja, dengan suara tertahan ia berkata padaku: 'Jika mereka mencarimu ke sini, segera kutangkap mereka sekalian.' Karena tidak menemukan diriku, para Suci telah putar balik lagi kesana dan akhirnya tak terdengar lagi suaranya.
Orang itu lalu membuka Hiat-toku.
Segera kulari keluar gua, siapa tahu gerak tubuh orang itu jauh lebih cepat dari padaku, baru saja kuterjang keluar, tahu2 dia sudah menghadang di depanku sehingga hampir saja kuseruduk dadanya.
Dia terbahak2 dan berkata: Hahaha, masa kau dapat kabur"' -Cepat aku lompat mundur dan melolos pedang,.
segera ingin kutusuk dia, tapi lantas teringat olehku bahwa orang ini tiada maksud mencelakai diriku, Cut-keh lang mengutamakan welas-asih, mengapa harus kucelakai jiwanya" Sebab itulah aku tidak jadi menusuknya, kataku: "Mengapa kau rintangi diriku" Jika tidak menyingkir, segera akan kutu.
kutusuk kau! Orang itu tertawa, katanya: 'Baik juga hatimu, Siausuhu, kau tidak tega membunuhku, bukan"' Aku menjawab: 'Aku tidak bermusuhan apapun denganmu, untuk apa kubunuh kau"!" Dengan tertawa orang itu berkata pula: 'Bagus jika begitu, nah, duduklah, mari kita ber-cakap2.' 'Tidak, Suhu dan para Suci sedang mencari diriku, pula, Suhu melarang diriku bicara dengan sembarangan lelaki.' "Kata orang itu: 'Ah, kan sejak tadi kaupun sudah bicara denganku, bicara sedikit dan bicara banyak kan tiada bedanya"' Kataku: 'Lekas menyingkir, kau tahu betapa lihaynya Suhuku" Jika beliau melihat sikapmu yang tidak sopan ini, bisa jadi kedua kakimu akan ditabas kutung.' Dengan tertawa ia menjawab: Jika kau yang hendak membuntungi kakiku akan kuserahkan kakiku ini, Kalau gurumu, ah, dia sudah tua.
tidak cocok bagi seleraku." "Diam!" bentak Ting-Yat mendadak.
"Kata2 orang gila begitu masa selalu kau ingat." Dia tahu muridnya yang kecii ini masih polos dan kekanak2an, sama sekali belum paham seluk- beluk kehidupan manusia.
Kata2 kotor yang diucapkan bangsat cabul itu hakikatnya tak dipahaminya, sebab itulah diuraikannya kembali seluruhnya seperti apa yang didengarnya.
Tentu saja semua orang merasa geli, cuma rikuh terhadap Ting-yat Suthay, maka tiada yang berani tertawa.
Rupanya Gi-lim penasaran karena diomeli sang guru, dengan polos ia menjawab: "Bukan Tecu yang omong begitu, tapi orang itulah!" "Sudahlah.
pokoknya kata2 gila yang tidak penting begitu tidak perlu kau ceritakan, cukup ceritakan saja cara bagaimana kau pergoki Sau Peng-lam," kata Ting-yat, "Baiklah," jawab Gi-lim.
"Sesudah pedangku terkutung oleh orang itu.
"Pedangmu terkutung?" potong Ting-yat.
"Ya, dia juga omong macam2 lagi dan tetap tidak mau membebaskan diriku.
dia bilang aku.
bilang aku cantik dan ingin tidur denganku.
" "Tutup mulutmu!" bentak Ting-yat.
"Anak kecil, sembarangan omong, masa kata2 begitu juga kau ucapkan?" "Bukan aku yang omong begitu, Suhu, tapi orang itu yang omong dan akupun tidak tidur bersama dia." "Diam!" bentak Ting-yat pula dengan lebih keras.
Salah seorang murid Tang-wan yang menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat tadi tidak dapat menahan rasa gelinya, ia mengakak.
Ting-yat menjadi murka, disambarnya cangkir teh di atas meja, air teh panas pada cangkir itu terus disiramkan kearah murid Tang-wan itu.
Siraman ini menggunakan tenaga dalam Siong-san-pay, cepat lagi jitu, karena tidak sempat mengelak, kontan air teh yang panas itu menyiram mukanya, keruan murid Tang-wan itu ber-kaok2 kesakitan.
Ciamtay Cu-ih mtnjadi gusar, damperatnya: "Apa2an kau ini" Boleh omong masa tidak boleh tertawa.
Sungguh mau menang sendiri!" "Ting-yat dari Siong-San-pay memang suka menang sendiri, hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, masa baru sekarang kau tahu?" teriak Ting yat dengan melirik hina.
Segera ia angkat cangkir kosong itu dan hendak dilemparkan ke arah Ciam-tay Cu-ih.
Tapi Ciamtay Cu-ih sama sekali tidak menggubrisnya.
sebaliknya dia malah membalik tubuh kesebelah sana.
Melihat orang yang sama sekali tidak gentar itu, diam2 Ting-yat berpikir dua kali, selama ini iapun tahu kelihayan kungfu Tang wan yang termasuk diantara Bu-lim-su ki itu.
Pe-lahan2 ia menaruh kemkali cangkir teh itu, lalu berkata kepada Gi-lim: "Ceritakan lagi, hal2 yang tidak penting tidak perlu diuraikan." Gi-lim mengiakan dan menutur pula: "Suhu, betapapun orang itu tetap merintangi Tecu yang bermaksud keluar dari gua itu.
Sementara itu hari sudab gelap, tidak kepalang rasa gelisah Tecu, mendadak kutusuk dia.
Bukan maksud Tecu hendak membunuhnya melainkan cuma ingin menakuti saja.
Tak terduga, mendadak tangan orang itu meraih tiba, ia meraba .
meraba tubuhku.
Tecu terkejut dan tahu2 pedangku sudah terampas olehnya.
Lihay amat Kungfu orang itu, dengan tangan kanan memegang gagang pedang, tangan kiri memegang batang pedang dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekali tekuk dengan pelahan, pletak, pedangku dipatahkannya sepotong sepanjang satu dim." "Dipatahkannya dengan jari pedangmu itu, hanya sepanjang satu dim?" Ting-yat menegas.
"Ya," jawab Gi-lim.
Ting-yat dan Thian-bun Tojin saling pandang sekejap, keduanya sama mafhum, jika Thio Yan-coan itu mematahkan pedang pada bagian tengahnya, maka hal ini tidak perlu dibuat heran.
Tapi hanya dengan dua jari dan dapat mematahkan sepotong kecil baja, maka tenaga jarinya sungguh luar biasa.
Mendadak Thian-bun melolos pedang murid yang berdiri disebelahnya, dengan ibu jari dan jari telunjuk ia tekuk ujung pedang itu, "pletak", pedang itu patah sepotong kecil, kira2 satu dim panjangnya, lalu ia bertanya: "Apakah begini caranya?" "Ah, kiranya Thian-bun Supek juga bisa," seru Gi-lim.
"Cuma bagian pedangnya yang patah itu terlebih rajin daripada pedang Supek ini." Thian-bun mendengus dan mengembalikan pedang itu kepada muridnya, tangan lain yang memegang potongan pedang patah itu mendadak digabrukkan meja, "crat", potongan pedang patah sepanjang satu dim itu ambles rata dengan permukaan meja.
"Wah, dengan Kungfu Supek yang hebat ini, kuyakin orang jahat Thio Yan-coan itu pasti tidak bisa," seru Gi-lim sambil berkeplok.
Tapi mendadak wajahnya guram lagi, ia menunduk dan menghela napas, katanya: "Ai, cuma sayang waktu itu Supek tidak dapat membantu, kalau tidak, tentu Sau-toako tidak sampai terluka parah." "Terluka parah bagaimana" Bukankah kau tadi bilang dia sudah mati?" tanya Thian-bun.
"Betul, lantaran Sau-toako terluka parah, makanya dia kena dicelakai oleh si jahat Lo Ci-kiat itu," jawab Gi-lim.
Ciamcay Cu-ih kembali mendengus, ia mendongkol karena Gi-lim menyebut Thio Yan-coan sebagai orang jahat, menyebut muridnya juga orang jahat.
Jadi anak murid Tang-wan dipersamakan dengan bangsat cabul yang terkenal sangat busuk itu.
Melihat mata Gi-lim mengembeng air mata, agaknya setiap saat bisa menangis, maka tiada seorangpun yang berani tanya padanya.
Sejenak kemudian, Gi-lim mengusap air matanya dengan lengan baju, lalu bertutur pula dengan ter-sendat2: "Orang jahat Thio Yan-coan itu terus memaksa diriku, ia hendak menarik bajuku, segera kupukul dia, tapi kedua tanganku jadi tertangkap malah olehnya.
Pada saat itulah diluar gua mendadak ada orang tertawa ter-babak2, suara tertawanya aneh, setiap kali tertawa hahaha, lalu berhenti, kemudian hahiha lagi.
Dengan bengis Thio Yan-coan lantas bertanya: 'Siapa itu diluar"' Tapi orang diluar gua itu tidak menjawabnya melainkan cuma hahaha lagi dua kali.
Segera Thio Yan-coan mendamperat: 'Keparat, jika tahu gelagat hendaklah lekas enyah sana.