Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 66

NIC

"Tapi diluar kota Cujoan telah diketemukan sesosok mayat, pada dada mayat itu menancap sebilah pedang, itulah pedang si penjahat cabul Sau Peng-lam." "Mayat siapa itu?" tanya Thian-bun cepat.

Sorot mata Ong Gun beralih ke arah Ciamtay Cu-ih, jawabnya: "Mayat seorang Suheng perguruan Ciamtaysusiok, waktu itu kami tak mengenalnya, sesudah mayat dibawa masuk kota barulah ada orang mengenalnya sebagai Lo Ci-kiat, Lo-suheng.

" "Ahhh!" Ciamtay Cu-ih berseru kaget sambil berbangkit.

"Jadi Ci-kiat" Di mana jenazahnya?" "Di sini!" segera ada orang berteriak diluar.

Ciamtay Cu-ih benar2 seorang yang dapat menahan perasaannya, meski mendengar berita duka itu secara mendadak, yang mati itu pun salah seorang murid kesayangan yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat", tapi dia masih tetap tenang2 saja dan berkata pula: "Mohon bantuan Hiantit, sukalah mayat itu digotong masuk kemari!" Ada orang mengiakan diluar, lalu dua orang menggotong masuk sebuab papan, tertampak di bagian dada mayat itu menancap sebilah pedang.

Pedang ini tertusuk melalui perut korbannya dan miring keatas, pedang yang panjangnya tiga kaki (hampir satu meter) itu hanya tersisa gagangnya yang hampir satu kaki panjangnya itu, jadi ujung pedang hampir mencapai tenggorokan korbannya.

Jurus serangan dengan pedang menusuk dari bawah ke atas begini, sungguh jarang terlihat di dunia persilatan.

"Menurut berita Jin-jing Susiok," demikian Ong Gun menutur pula, "untuk menemukan kedua bangsat cabul itu, sebaiknya salah seorang Supek atau Susiok yang berada disini suka membantu kesana." "Aku saja?" serentak Ciamtay Cu-ih dan Ting-yat Suthay berseru.

Tapi pada saat itu pula dari luar berkumandang suara orang berseru: "Suhu, aku sudah kembali!" Suaranya halus dan merdu.

Seketika air muka Ting-yat berubah, "Itu dia Gi-lim! Hayolah menggelinding masuk!" Pandangan semua orang lantas tertuju keluar pintu, semua ingin tahu bagaimana bentuk Nikoh cilik yang jadi gara2 karena minum arak bersama dengan dua penjahat cabul di restoran besar itu.

Seketika terbeliak juga pandanaan semua orang.

terlihat Nikoh cilik ini memang lain daripada yang lain, lembut dan cartik, sungguh keelokan yang cemerlang.

Meski usianya baru 16 atau 17 tahun, jelas memiliki tubuh yang mempesona.

walaupun memakai jubah pertapa yang longgar, namun tidak dapat menutupi tubuhnya yang indah itu.

"Ba ....

bagus perbuatanmu!" kata Ting-yat dengan menarik muka.

"Cara bagaimana kau dapat pulang?" "Suhu," kata Gi-lim sambil menangis, "Sekali ini hampir saja ....hampir saja murid tidak dapat bertemu lagi dengan engkau." Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, setiap orang tentu akan merasa heran mengapa anak perempuan secantik ini rela menjadi Nikoh" Apalagi kedua tangannya yang memegangi ujung lengan baju sang guru itu kelihatan putih halus.

mau-tak-mau membuat hati Ong Gun dan kedua anak muda yang menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat itu jadi terguncang.

Ciamtay Cu-ih hanya melirik sekejap saja kearah Gi-lim, lalu pandangannya berpindah kepada pedang yang menancap di tubuh Lo Ci-kiat itu, terlihat bagian gagang pedang dekat mata pedang yang tajam itu terukir lima huruf kecil "Lam-han Sau Peng-lam".

Ia berpaling ke arah Kiau Lo-kiat, dilihatnya pedang yang tergantung di pinggangnya juga berbentuk sama dengan untaian benang sutera hijau, Mendadak ia mendekati Kiau Lo-kiat terus mencolok kedua matanya, begitu cepat dan lihay serangannya, tahu2 jarinya sudah menempel kelopak mata lawan.

Keruan Kiau Lo-kiat terkejut, cepat ia gunakan jurus "Ki-hwe liau-thian" atau angkat obor menerangi langit, ia berusaha menangkis sebisanya.

Tiba2 terdengar Ciamtay Cu-ih mendengus, tangannya yang mencolok mata itu berputar dan tahu2 tangan Kiau Lo-kiat sudah tertangkap, menyusul tangan yang lain meraba kebawah, "sret", pedang Kiau Lo-kiat itu telah dilolosnya.

Kiau Lo-kiat tak dapat berkutik karena tangannya terpegang lawan, tahu2 ujung pedang sudah mengancam di dadanya, ia terkejut dan berteriak: "Aku ....

aku tidak bersalah!" Sekilas Ciamtay Cu-ih dapat membaca pada pedang Kiau Lo-kiat itu pun terukir lima huruf yang berbunyi "Lam-han Kiau Lo-kiat", bentuk huruf dan ukurannya serupa dengan huruf yang terukir di pedang lain.

"Gerakan menusuk dari bawah keatas begini apakah memang jurus serangan Lam-han-kiam-hoat kalian?" tanya Ciamtay Cu-ih sambil mengancam perut Kiau Lo-kiat dengan ujung pedang rampasannya itu.

Keringat dingin ber-ketes2 dari dahi Kiau Lo-kiat, jawabnya dengan keder: "Didalam Lam-han kiam-hoat kami tiada ....

tiada terdapat jurus serangan begini." Ciamtay Cu-ih memang lagi heran, serangan yang mematikan Lo Ci-kiat itu jeias akibat tusukan pedang dari bagian perut menembus ke atas dan hampir mencapai leher, apakah serangan ini dilakukan Sau Peng-lam dengan berjongkok, lalu menusuk dari bawah ke atas" Sesudah membunuh mengapa pedang tidak dicabutnya, tapi sengaja meninggalkan bukti senjata pembunuh ini" "Supek ini harap maklum, jurus serangan Sau-toako itu besar kemungkinan bukan Lam-han-kiam-hoat," demikian mendadak Gi-lim menyela.

Dia tidak kenal Ciamtay Cu-ih, ia tidak tahu orang inilah Hong-hoa-wancu, satu di antara Bu-lim-su-ki yang termashur.

Karena melihat usianya lebih tua daripada gurunya, maka ia menyebutnya Supek.

Ciamtay Cu-ih berpaling, dengan air muka guram ia berkata kepada Tingyat: "Coba dengarkan, Suthay, dengan sebutan apa murid anda memanggil bangsat itu?" Dengan gusar Ting-yat menjawab: "Memangnya kau kira aku tidak punya kuping sehingga perlu kau mengingatkan?" Hendaklah diketahui bahwa watak Ting-pay Suthay ini memang rada aneh, keras dan suka menang sendiri, salah atau benar juga suka membela orang sendiri.

Sudah jelas diketahui muridnya bersalah, tetap dibelanya.

Sebenarnya ia pun gemas ketika didengarnya Gi-lim menyebut Sau Peng-lam sebagai "Sau-toako", Jika Ciamtay Cu-ih terlambat bicara sejenak, tentu dia sendiri akan mendamperat Gi-lim.

Tapi Ciam?tay Cu-ih keburu mendahului buka mulut maka ia berbalik membela muridnya.

Dengan suara keras ia berteriak: "Apa salahnya dia menyebut begitu" Apa pun kami adalah anggota Ngo-taylian beng, jika saling panggil Suheng dan Sute kau tidak perlu diherankan?" Di balik ucapannya dia se-akan2 hendak bilang Tangwan kalian tidak termasuk dalam Ngo-tay-lian-beng, hakikatnya kami memandang rendah kepadamu.

Sudah tentu Ciamtay Cu-ih dapat menangkap arti yang terkandung didalam ucapan Ting-yat itu, segera ia balas menjenyek: "Bagus, bagus! Jadi Sau Peng-lam itu jelas anak murid Ngo-tay-lian-beng!?" Habis bicara, mendadak tangan kirinya mendorong, Kontan Kiau Lo-kiat tertolak ke sana dan "blang", menumbuk dinding dengan keras.

Rasa gusar Ciamtay Cu-ih itu telah dilampiaskan diatas diri Kiau Lo-kiat, keruan Kiau Lo-kiat yang tidak berdosa harus menerima nasib, ia tertumbuk hingga kepala pusing dan mata ber-kunang2, isi perut se-akan2 berjungkir-balik.

Sekuatnya kedua tangannya menahan dinding agar tidak sampai jatuh terkulai tapi kedua kaki terasa lemas dan hampir tak kuat berdiri lagi.

Tapi sebisanya ia bertahan, ia pikir, bila sampai ambruk, tentu nama baik perguruannya akan tercemar.

Ting-yat Suthay lantas berkata.

"Gi-lim, coba ceritakan.

cara bagaimana kau terjerat oleh mereka, ceritakan sejelas2nya kepada gurumu." Lalu tangan Gi-lim digandengnya dan diajak keluar.

Semua orang sama mafhum bilamana Nikoh cilik secantik ini jatuh dalam cengkeraman penjahat cabul semacam Thio Yan-coan itu, mustahil kesuciannya dapat dipertahankan.

Dengan sendirinya seluk-beluk pengalamannya tidak leluasa dibeberkan didepan orang banyak.

Sebab itulah Ting-yat Suthay sengaja membawa muridnya itu ke tempat lain untuk ditanyai dengan se-jelas2nya.

Diluar dugaan, se-konyong2 bayangan orang berkelebat.

tahu2 Ciamtay Cu-ih sudah menghadang di depan Ting-yat dan berkata: "Urusan ini menyangkut dua nyawa manusia, maka diharap Gi-lim Siausuhu suka bicara disini saja." Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula.

"Tang Pek-seng.

Ting hiantit juga anak murid Ngo-tay-lian-beng, dia terbunuh oleh Sau Peng-lam, mengingat kalian sama2 anggota Ngo-tay-lian-beng, boleh jadi Yan-san-pay tidak mengusutnya lebih lanjut.

Tapi muridku Lo Ci-kiat ini, dia tidak memenuhi syarat untuk bersaudara dengan penjahat cabul macam begitu." Tajam benar ucapan Ciamtay Cu-ih, secara langsung ia tangkis ucapan Ting-yat tadi yang membela Gi-lim waktu menyebut Sau-toako kepada Sau Peng-lam.

Watak Ting-yat memang keras dan aseran di hari2 biasa saja sang Suci, yaitu Ting-sian Suthay juga suka mengalah padanya, apalagi sekarang Ciamtay Cu-ih merintangi jalan perginya.

Seketika alisnya menegak demi mendengar kata2 Ciamtay Cu-ih.

Setiap orang yang kenal watak Ting-yat, begitu melihat alisnya menegak, segera orang tahu Nikoh tua itu segera akan main hantam.

Padahal dia dan Ciamtay Cu-ih tergolong jago kelas satu jaman ini, bilamana keduanya mulai bergebrak, dalam waktu singkat tentu sukar menentukan kalah dan menang, pula persoalan ini tentu akan meluas dan sukar didamaikan.

Maka selaku tuan rumah cepat Wi Kay-hou melangkah maju menengahi, katanya sambil menjura kepada kedua tamunya: "Kedatangan kalian sama2 menjadi tamu undanganku, apa pun yang terjadi hendaklah mengingat pada diriku, janganlah bertengkar.

Mungkin pelayanan kami kurang sempurna, harap kalian jangan marah." "Hahaha, sungguh lucu ucapan Wi-sute ini," jawab Tingyat dengan tertawa.

"Aku marah kepada Hong-hoa-wancu, apa sangkut-pautnya dengan kau" Dia melarang aku pergi.

aku justeru mau pergi.

Jika dia tidak merintangi jalanku, tentu tidak menjadi soal jika aku tetap tinggal di sini." Ciamtay Cu-ih sudah lama tidak menginjak daerah Tionggoan, tapi sejak dahulu ia tahu ilmu silat Ting-yat sangat tinggi.

pada 27 tahun yang lalu mungkin dia tidak gentar padanya, tapi setelah terluka meski sekarang kesehatan sudah pulih, namun kekuatannya tidak dapat kembali seperti dahulu jangankan hendak menghadapi Ngotay lian-beng, mungkin untuk mengalahkan Ting-yat saja sukar.

Apalagi kalau ribut dengan Ting-yat, tentu Ting-sian, si Nikoh penyair takkan tinggal diam, bahaya dikemudian hari tentu sukar dibayangkan.

Karena itulah iapun bergelak dan berkata: "Yang kuharapkan adalah Gi-lim Siau-suhu suka menceritakan pengalamannya agar didengar orang banyak, memangnya Ciamtay Cu-ih ini orang macam apa, masa berani merintangi jalan Pek-hun-amcu dari Siong san-pay?" Habis berkata segera ia melompat kembali ketempat duduknya tadi.

"Asal kau tahu saja," ucap Ting-yat, ia tarik tangan Gi-lim dan berduduk kembali di tempatnya.

Lalu bertanya pula: "Coba ceritakan, apa yang terjadi kemudian setelah kau tercecer dari rombongan kita?" Ting-yat tahu Gi-lim masih muda belia dan hijau, ia kuatir segala sesuatu yang membikin malu perguruannya juga diceritakan begitu saja, maka cepat ia menambahkan: "Bicaralah yang penting2 saja, yang tidak perlu tidak usah diuraikan." Gi-lim mengiakan, tuturnya: "Tecu tidak berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Suhu, yang Tecu harapkan adalah Suhu dapat membinasakan jahanam Thio Yan-coan yang menganiaya Tecu itu, ia.

" "Ya, kutahu, tidak perlu kau omong lagi," jawab Ting-yat sambil mengangguk.

"Pasti akan kubunuh Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam berdua bangsat itu.

.." "Sau-toako juga?" Gi-lim menegas dengan heran.

"Untuk apa Suhu akan membunuh Sau-toako, dia kan ..." mendadak ia menunduk dan menangis, ucapnya pula dengan ter-guguk2: "Dia kan sudah .

sudah mati?" Semua orang sama terkejut.

Posting Komentar