Siang Lee siuman daro pingsannya dan merasa betapa tubuhnya panas, bukan panas yang menganggu, melainkan panas yang hangat dan nyaman. Kepalanya agak pening, akan tetapi bukan kepeningan yang tidak enak, seperti peningnya orang mabuk! Telinganya seperti mendengar suara merdu. Dia membuka mata dan silau ketika matanya bertemu dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela yang terbuka. Jendela ? dia merasa seperti dalam mimpi, akan tetapi mimpi yang indah sekali, yang membuat jantungnya berdenyut dan gairahnya memuncak.
Ketika dia mendengar suara disebelahnya, napas orang, dia cepat menengok kekanan dan disitu, dekat sekali dengan dia, dia melihat seorang gadis yang amat cantik jelita, tubuhnya mulus karena tubuh itu tidak tertutup apa-apa.
Gadis itu juga seperti orang bangun tidur, memandang kepadanya dengan heran, akan tetapi sepasang mata itu meredup dan sayu seperti mata orang mengantuk, dan mulut yang setengah terbuka itu membentuk senyum menantang, Siang Lee mendapat kenyataan bahwa bukan hanya wanita muda itu yang telanjang bulat, juga dia sendiri tidak berpakaian. Dan mereka berdua dalam keadaan tanpa pakaian, berada di dalam pondok yang jendelanya terbuka, dari mana sinar matahari masuk dengan indah dan hangatnya, dan mereka berdua rebah diatas sebuah pembaringan kayu yang kokoh kuat.
Keduanya saling pandang dan gairah berahi mereka memuncak, tak mungkin dapat ditahan lagi, dan tanpa bicara keduanya lalu saling rangkul, saling dekap dengan mesra dan panas. Tak ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu mencegah apa yang terjadi diantara mereka.
Keduanya seperti dikuasai nfsu berahi yang berkobar, tak mampu mempergunakan akal budi lagi, ingatan mereka seperti terapung di atas samudera luas yang indah menghanyutkan, seperti terbang melayang diantara awan- awan dia nagkasa dan mereka pun hanyut, tidak dapat mempertahankan diri karena tidak ada lagi yang dapat diingatnya kecuali melaksanakan hasrat yang berkobar.
Mereka seperti dua orang kehausan di padang pasir, yang sudah hampir mati kehausan, lalu tiba-tiba mendapatkan air yang jernih dan sejuk. Mereka minum dan meneguk air sejuk itu tanpa mengenal puas, sampai akhirnya keduanya terhempas dan terengah-engah diatas pembaringan itu, lalu tertidur pulas seperti pingsan, tubuh penuh keringat.
Tak kurang dari tig jam Siang Lee dan Lan Ci tidur tertelentang, sebelah menyebelah, tanpa pakaian sama sekali, tidur nyenyak seperti pingsan. Mereka sama sekali tidak tahu betapa ada byangan orang masuk dan melemparkan pakaian mereka keatas pembaringan dekat tubuh mereka, lalu bayangan itu menghilang lagi.
Mereka terbangun hampir berbarengan. Siang Lee yang lebih dulu bangun dan mengeluh karena kini dia merasa kepalanya pening, kepeningan yang menyakitkan, dan tubuhnya terasa lelah sekali. Keluhannya ini seperti menggugah Lan Cid an gadis ini pun terbangun. Seperti Siang Lee, ia pun merasa pening dan matanya berkunang. Akan tetapi, mereka dapat mengetahui kehadiran masing-masing, dan ketika membuka mata melihat betapa mereka telanjang bulat, bersama berada di dalam pondok diatas senbuah pembaringan, keduanya terkejut bukan main.
Lan Ci mengeluarkan jeritan tertahan, seperti kilat cepatnya menyambar pakaiannya yang ada didekatnya dan menutupi dada dan pahanya, matanya mengeluarkan kilat yang menyambar kearah Siang Lee yang juga berusaha menutupi perutnya dengan pakaiannya.
Keduanya saling pandang, terbelalak dan ketika Lan Ci melihat noda-noda merah diatas pembaringan, tahulah ia pa yang terjadi dengan dirinya. Ia mengeluarkan jerit tertahan, dan tangannya menyambar kedepan, kearah kepala Siang Lee yang juga terkejut dan terheran setengah mati, sudah dapat melempar tubuh ke bawah pembaringan sambil membawa pakaiannya dan dengan beberapa loncatan dia sudah keluar dari pondok itu.
Dengan tergesa-gesa dia mengenakan pakaiannya, memeras otak untuk mengingat apa yang telah terjadi dengannya dan dengan gadis itu.
Bagaimana mereka tahu-tahu berada di dalam pondok, diatas pembaringan dalam keadaan bugil dan telah terjadi hubungan diluar kesadaran mereka? Diapun samara-samar teringat betapa telah terjadi kemesraan antara dia dan Lan Ci, terjadi hubungan badan yang amat mesra dan semua kejadian itu seperti dalam mimpi saja.
“Wuuuuuutttttt… ” Kini Lan Ci meloncat keluar, dalam
keadaan sudah berpakaian. Kedua pipinya basah air mata dan mukanya pucat, matanya mencorong ketika ia memandang kepada Siang Lee. Lalu ia menuding pemuda itu dengan telunjuknya dan membentak.
“Jahanam, keparat engakau. Engkau Engkau harus
menebus dengan nyawamu!”
Akan tetapi Siang Lee sudah merenungkan peristiwa itu. dia memang terkejut dan batinya terguncang namun tidaklah sehebat guncangan batin yang diderita oleh Sim Lan Ci maka pemuda ini dapat lebih dahulu menenangkan batinya dan dapat merenungkan dan mengingat-ingat peristiwa yang telah terjadi itu.
“Nanti dulu, nona. Harap nona suka bersabar dulu sebelum menyerang aku, dan marilah kita bicara dengan kepala dingin. Percayalah, aku bersumpah bahwa aku tidak melakukan seperti apa yang kau sangka. Kita sama-sama berada dalam keadaan tidak sadar dan seperti dalam mimpi kita bersama melakukan hal itu, kita telah masuk perangkap musuh, Nona.”
Lan Ci mengerutkan alisnya dan menghapus air mata dengan punggung tangan kirinya.
“Apa ……….. apa maksudmu ?” tanyanya, heran dan
samar-samar ia teringat akan “mimpi” itu, betapa pemuda itu sama sekali tidak memperkosanya, melainkan betapa keduanya melakukan hubungan dengan mesra, dengan suka rela.
“Harap kau suka bersikap tenang, Nona. Sekali lagi, percayalah bahwa aku tidak melakukan hal keji seperti yang kau sangka. Nah, mari kita ingat-ingat, kita berdua telah roboh tertotok oleh musuh besar kita, Liu Bhok Ki? Kita tidak berdaya dan aku sudah menduga bahwa kita tentu akan dibunuh, setidaknya aku aku akan dibunuh, seperti yang terjadi pada tiga belas orang suheng-suhengku. Kemudian, ketika jahanam itu mengetuk leherku aku tidak ingat apa-apa lagi. Dan tahu- tahu aku terbangun, aku merasa seperti dalam mimpi, di dalam pondok diatas pembaringan itu, dalam keadaan
tanpa pakaian ………. Dan kau ……..pun disana dalam
keadaan yang sama lalu kita ………… kita ah, seperti dalam
mimpi saja, nona. Kemudian, tadi aku terbangun, sadar dan kepalaku pening dan Kudapati engkau lalu engkau
menyerangku! Nah, aku berani bersumpah bahwa seperti itulah kejadiannya.”
Sim lan Ci, yang mukanya berubah merah sekali karena teringat betapa ia telah menyerahkan diri bulat-bulat dan dengan suka rela kepada pemuda ini, betapa ia dirangsang oleh gairah yang memuncak, kini juga mengingat-ingat dan ternyata bahwa apa yang dialaminya persis seperti yang diceritakan pemuda itu kepadanya. Sampai lama ia termenung, kemudian ia mengangguk.
“Aku ……. Aku percaya kepadamu.” Ia pun menjadi
bersedih sekali karena ia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan keperawanannya dan hal ini bagi seorang wanita gagah sperti ia, lebih hebat daripada kematian.
“Ah, si jahanam Liu Bhok Ki!” Siang Lee berseru sambil mengepal tinju dan menghadap kearah pondok itu.
“Jelaslah sekarang, ini adalah perbuatannya. Dia merobohkan kita, membuat kita pingsan dan dalam keadaan pingsan itu, dia agaknya membawa kita kedalam pondok, diatas dipan kayu itu, dan agaknya dia menanggalkan pakaian kita dan meminumkan obat perangsang yang membuat kita berdua lupa segala. Tidak salah lagi Nona, itulah yang terjadi!”
“Jahanam Liu Bhok Ki!” Sim Lan Ci memaki dan ia pun mengepal tinju, percaya penuh bahwa memang demikianlah tentu yang telah terjadi dengan mereka.”
“Dia atau kita yang mati!” Tiba-tiba Siang Lee berseru dan dia pun sudah meloncat ke dalam pondok untuk mencari musuhnya, diikuti oleh Lan Ci yang sudah marah sekali.
Akan tetapi, mereka tidak menemukan Liu Bhok Ki dalam pondok itu, bahkan kepala Coa Kun Tian yang tadinya tergantung di tengah ruangan, dan kepala Phang Hui Cu yang terendam anggur dalam botol, tidak terdapat disitu. Yang mereka temukan adalah pedang-pedang mereka yang berada diatas meja. Mereka segera mengambil pedang masing- masing akan tetapi untuk apa? Musuh mereka rsudah pergi.
Sim Lan Ci dengan pedang ditangan, berdiri didepan pembaringan dan menilhat noda merah tanda hilangnya kehormatannya sebagai seorang gadis, membuat ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangislah Lan Ci sesunggukan. Melihat keadaan gadis itu, Siang Lee berdiri bengong. Dia merasa kasihan, dan dia pun harus mengakui bahwa ia amat tertarik kepada gadis itu, apalagi membayangkan apa yang telah terjadi diantara mereka, membayangkan kemesraan sikap gadis itu, kemanisan dan kehangatannya. Dia merasa suka dan takkan malu untuk mengaku bahwa dia telah jatuh cinta seperti yang belum pernah dialaminya.
“Nona ………… maaf ……….. mengapa engkau menangis?”
katanya lirih sambil menghampiri. Tangannya digerakkan, ingin rasanya untuk menyentuh, untuk memeluk dan menghibur hati gadis yang sedang berduka itu, namun dia tidak berani.
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Lan Ci membalikkan tubuh menghadapinya dengan air mata mengalir sepanjang kedua pipinya. “Mengapa? Engkau bisa Tanya mengapa? Aaahhh, bagimu seorang pria, peristiwa itu agaknya tidak berbekas apa-apa. Akan tetapi bagi aku dunia rasanya hancur. Aku telah ternoda, aku tertimpa aib, aku kehilangan kehormatan dan engkau masih bertanya mengapa? Uhu-
hu-huuuuh… ”
Siang Lee memandang bingung dan merasa semakin iba kepada gadis yang kini menangis tersedu-sedu sambil menutupi muka dengan kedua tangan itu. gadis itu gagah perkasa, berilmu tinggi akan tetapi sekarang menangis seperti anak kecil. “Nona, dengarlah baik-baik. Aku Coa Siang Lee, cucu ketua Hek-houw-pang sejak kecil sudah mendapat didikan agar menjadi orang gagah yang bertanggungjawab. Biarpun apa yang terjadi diantara kita tadi bukan merupakan perbuatanku yang kusengaja atau kusadari, biarpun hal itu terjadi karena kita berdua terjebak perangkap musuh, namun Coa Siang Lee bukan orang yang tidak bertanggungjawab.
Aku mempertanggungjawabkan perbuatanku, nona. Dan kalau sekiranya engkau setuju…….. aku aku ingin
mengambilmu sebagai isteriku. Nah, dengan demikian, aib itu akan lenyap dari dirimu, Nona.”
Mendengar ucapan ini, lan Ci menurunkan kedua tangannya dan untuk sesaat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, ia mengusap kedua matanya. Berapa kali, mengeringkan air matanya. Ia ingin melihat apakah ucapan itu keluar dari hati sanubari pemuda yang tampan dan gagah!
Biarpun hal itu belum cukup untuk membuat ia jatuh cinta, akan tetapi setelah apa yang terjadi antara mereka tadi, tidak ada jalan lain yang lebih baik daripada kalau mereka menjadi suami isteri yang sah! Iapun samara-samar teringat akan kemesraan diantara mereka tadi, dan wajahnya kembali menjadi semakin merah.
“Kau kau ingin menjadi suamiku hanya karena