Naga Sakti Sungai Kuning Chapter 04

NIC

Siang Lee adalah seorang pemuda yang sudah tinggi ilmu silatnya. Mendengar suara isarat ini, dia pun berhati-hati. Dia tidak berani memandang ringan kepada lawan ini, karena tadi, ketika berkelahi satu lawan satu, dia sudah merasakan kehebatan ilmu silat Liu Bhok Ki. Kini diapun mengerti mengapa banyak sekali murid dan anak buah Hek-Houw-pang tewas ditangan musuh besar ini.

Dan memang sesungguhnya Liu Bhok Ki amat berbahaya kalau sudah mempergunakan sabuknya sebagai senjata. Dia seorang ahli senjata apapun, dan permainan pedangnya juga hebat. Akan tetapi, untuk menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang menggunakan pedang, senjata sabuk kain tebal itu sungguh amat tepat. Kain itu bersifat lemas shingga tepat sekali untuk menghadapi senjata pedang atau golok yang keras dan sabuk itu dapat dipergunakan dari jarak dekat maupun jauh karena dapat diulur panjang. Ditangan ahli seperti Liu Bhok Ki, kain yang lemas itu dapat pula dibuat kaku, dapat berubah lemas kembali, untuk melibat dan membelit senjata lawan tanpa merusak sabuk.

Liu Bhok Ki maklum bahwa pemuda itu lihai, dan Cap-sha- tin juga berbahaya sekali. Maka dia pun tidak menunggu dan membiarkan dirinya didesak, begitu pengepungan itu mengetat dan di berhadapan dengan mereka yang melingkarainya dalam jarak dua meter, dia menggerakkan sabuknya dan mengamuk!

Sabuk itu lenyap bentuknya dan nampak hanya gulungan sinar hitam yang panjang, menyambar-nyambar seperti seekor naga hitam yang bemain diantara awan di angkasa.

Barisan itu berusaha membendung gerakan sinar bergulung-gulung itu dengan meningkatkan kerjasama mereka. Namun, belasan pedang itu tetap saja tidak mampu membendung daya serang dari sabuk panjang di tangan Liu Bhok Ki.

Terdengar bunyi berdesing-desing dan angina menyambar bagaikan angina puyuh, disusul teriakan-teriakan para anggota Hek-Houw-pang. Betapun mereka itu mempertahankan diri dan saling Bantu, tetap saja mereka dilanda oleh gulungan sinar hitam seperti naga mengamuk itu dan susunan barisan mereka pun cerai berai dan kacau balau.

Liu Bhok Ki menambah Sin-kang pada gerakan sabuknya dan terdengar teriakan susul-menyusul diikuti robohnya para pengeroyok seorang demi seorang. Para anggota Hek-Houw- pang masih melawan terus sekuat tenaga, dipelopori oleh Coa Siang Lee yang memaninkan siang-kiamnya dengan cepat dan kuat.

Namun, mereka itu bagaikan semut-semut yang mengeroyok seekor jangkerik. Tubuh mereka berpelantingan, dan akhirnya yang masih dapat bertahan hanyalah Coa Siang Lee seorang. Pemuda ini masih memainkan sepasang pedangnya melakukan perlawanan mati-matian, sedangkan tiga belas orang anggota Hek-Houw-pang itu telah tewas semua.

Tentu saja Coa Siang Lee tidak tahu bahwa andaikata Liu Bhok Ki menghendaki, diapun tentu sudah roboh dan tewas. Ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam perasaan hati pendekar tinggi besar yang sedang mengamuk itu. Melihat betapa Coa Siang Lee demikian mirip wajahnya dengan Coa Kun Tian dan melihat keberanian pemuda itu, besarnya semangatnya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, timbul suatu perasaan saying dan iba kepada pemuda itu. Kalau sampai saat itu CoaSiang Lee masih belum roboh, bahkan terluka, hal itu adalah karena perasaan ini yang mengganjal di hati Liu Bhok Ki.

Gerakan gulungan sinar sabuknya tadi menggulung Cap- sha-tin. Seluruh daya serangnya ditujukan untuk merobohkan tiga belas murid Hek-Houw-pang itu, sedangkan terhadap Coa Siang Lee, dia hanya menangkis dan membendung serangan sepasang pedang itu.

Kini terjadi perkelahian yang seru namun berat sebelah antara Liu Bhok Kid an Coa Siang Lee. Seru karena pemuda itu dengan nekad masih terus menyerang mati-matian, namun semua serangannya gagal dan kemanapun sianr sepasang pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan ujung sabuk dan terpental kembali. Perkelahian itu terjadi mati-matian diantara tiga belas sosok mayat yang berserakan. “Coa Siang Lee, sudahlah. Tiada gunanya engkau nekat. Engkau masih muda, saying kalau mati konyol. Apakah engku tidak mau menghentikan permusuhan gila ini? Pulanglah dan engkau boleh …. Membawa kepala ayahmu.”

Sungguh luar biasa sekali mendengar ucapan Liu Bhok Ki ini. Biasanya dia amat keras hati dank eras kepala, ingin “menyiksa” kepala orang yang menzinai isterinya itu selama dia masih hidup. Akan tetapi kini dia yang jelas menguasai pemuda itu dengan mudah akan mampu merobohkannya, mendadak menawarkan perdamaian dan membolehkan pemuda itu membawa pergi kepala ayahnya.

“Liu Bhok Ki, tak usah banyak cakap hari ini engkau atau aku yang mati!” Coa Siang Lee mendesak dengan sepasang pedangnya.

Pemuda ini memang lihai dan ilmu sepsang pedang itu pun berbahaya sekali. Sekarang, setelah tidak ada murid Hek- Houw-pang yang membantu, dia bahkan dapat mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya dan terasalah oleh Liu Bhok Ki bahwa pemuda ini memang cukup tangguh.

Diapun memutar sabuknya dan kini terjadilah perkelahian yang lebih hebat lagi., karena Liu Bhok Ki tentu saja tidak menjadi korban sepasang pedang yangganas itu dan dia mulai membalas dengan serangan-serangannya. Biarpun dia mampu mendesak pemuda itu, namun pendekar tinggi besar ini maklum bahwa tidak mau menerima usulnya berdamai itu membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga.

Pada sat itu terdengar bentakan nyaring, “Liu Bhok Ki memang seorang laki-laki pengecut dan jahat!” dan begitu bentakan itu terhenti, terdengar suara berdesing-desing dan ada tiga sinar kecil berkelebat menyambar kearah tubuh Liu Bhok Ki. Itulah tiga batang senjata rahasia piauw beronce merah yang mengandung racun.

Liu Bhok Ki mengeluarkan bentakan nyaring dan sabuknya diputar melindungi tubuhnya. Tiga batang piauw itu terpukul dan terlempar jauh, dan Liu Bhok Ki meloncat jauh kebelakang.

“tahan senjata!” bentaknya dan suaranya mengandung kekuatan khikang yang demikian hebatnya sehingga Coa Siang Lee dan orang yang baru muncul itu berhenti dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.

Ketika dia memandang gadis yang baru saja muncul dan yang menyerangnya dengan senjata rahasia piauw itu, hampir Liu Bhok Ki mengeluarkan teriakan kaget. Dia melihat wajah isterinya yang telah tiada.

Gadis itu mirip sekali dengan isterinya. Muka yang bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan, rambut yang hitam halus dan panjang, mata yang bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora, mulut yang bibirnya merah basah dan menantang itu.

“Kau ….. kau siapakah ?” akhirnya dia dapat

mengeluarkan suara yang agak bergetar.

“Sebetulnya, tidak pantas seorang macam engkau mengenal namaku, Liu Bhok Ki!” kata gadis itu dan Liu Bhok Ki terbelalak heran.

Suaranya juga persis suara isterinya.

”Akan tetapi agar engakau tidak mati penasaran, ketahuilah bahwa namaku Sim lan Ci, dan aku datang untuk membunuhmu!” “Tapi ……… tapi ” Suara pendekaryang biasanya tenang

dan tabah itu masih gagap karena jantungnya masih terguncang hebat melihat seolah-olah isterinya hidup kembali.

Apalagi kini gadis itu berdiri didekat Coa Siang Lee, seolah- olah dia melihat isterinya berdiri berdampingan dengan Coa Kun Tian, bersama-sama hendak menghadapinya dan membunuhnya.

Kepala Kun Tian itu masih tergantung disana, dan botl besar itupun masih diatas meja!

“Mengapa engkau hendak membunuhku, dan engkau ini

…….. puteri siapakah ?” Bergidik dia membayangkan bahwa

gadis itu, seperti juga Siang Lee yang mengaku sebagai putera Kun Tian, akan mengaku pula sebagai puteri Hui Cu, isterinya.

Akan tetapi tidak, gadis itu tidak mengaku demikian, dan memang hal itu tidak mungkin. Isterinya masih perawan ketika menikah dengan dia, dan isterinya mati dalam usia masih muda, tidak mungkin meninggalkan keturunan, seperti halnya Kun Tian.

“Buka telingamu baik-baik, Liu Bhok Ki. Aku hendak membunuhmu untuk menuntut balas atas kematian bibiku Phang Hui Cu, yang bukan saja kau bunuh secara keji, akan tetapi juga kepalanya kaunasukkan dalam botol besar dank au rendam dalam anggur, kau jadikan minuman. Sungguh hal itu tidak dapat kubiarkan begitu saja!”

Liu Bhok Ki mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa isterinya, Phang Hui Cu mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Phang Bi Cu dan menurut cerita isterinya, kakak perempuan itu sejak kecil sekali diculik orang dan tidak pernah ada kabar ceritanya. Apakah gadis itu puteri Phang Bi Cu? Kalau kakak perempuan isterinya itu wajahnya mirip dengan isterinya memang bukan tak mungkin wajah sang keponakan serupa benar dengan wajah bibinya.

“Kau …… puteri dari ….. Phang Bi Cu ?” tanyanya, masih

ragu dan masih terpengaruh wajah gadis yang sama benar dengan wajah isterinya itu.

Gadis itu tersenyum mengejek, “Agaknya engkau masih belum kehilangan ingatanmu! Benar sekali, aku puteri tunggalnya. Aku mendengar akan apa yang kau lakukan terhadap mendiang bibi Phang Hui Cu, maka aku datang untuk mencabut nyawamu dan untuk minta kepala bibi agar dapat kumakamkan dengan baik.”

“Tidak!” Tiba-tiba kekerasan hati Liu Bhok Ki datang kembali begitu dia teringat akan perbuatan isterinya dan Coa Kun Tian. Dua orang muda didepannya ini, yang mirip sekali dengan isterinya dan kekasih gelap isterinya, mengingat akan dia dan semua yang terjadi dua puluh tahun lebih itu, dan mendatangkan pula kemarahan dan kekerasan hatinya.

“Mereka berdua itu patut dihuku selama aku masih hidup. Mereka telah menghancurkan kehidupanku, menghancurkan kebahagianku!”

“Kalau begitu mampuslah!” teriakan ini disusul berkelebatnya sinar hitam yang selain cepat dan dasyat, juga membawa bau amis tanda bahwa pedang itu, yang berwarna hitam, seperti senjata rahasia piauw tadi, mengandung racun yang berbahaya. Pedang itu membuat gerakan memutar, berkelebat dan tiba-tiba menusuk kearah muka Liu Bhok Kid an begitu pendekar ini mengelak ke kiri, pedang yang luput menusuk muka itupun berkelebat mengejar ke kiri dan membacok kearah leher.

Cepat sekali gerakan gadis yang berpakaian serba hitam itu, dan bau amis dari pedangnya membuat lawan merasa muak dan pusing. Namun, Liu Bhok Ki yang maklum akan berbahayanya pedang hitam itu, cepat mengerahkan sin- kangnya untuk menahan serangan bau amis, dan begitu melihat pedang membacok, diapun menggerakkan ujung sabuk di tangan kiri untuk menangkis dan melibat agar dia dapat merampas pedang itu.

Posting Komentar