Lembah Selaksa Bunga Chapter 07

NIC

“Gila!” Dia berseru dalam hatinya dan berusaha sekuatnya untuk menolak karena nalurinya mengatakan bahwa semua ini tidak benar! Akan tetapi, semakin dilawan, gairah itu semakin kuat, seolah api yang berkobar membakar dirinya.

Dalam keadaan seperti gila dan masih setengah sadar dia tidak mampu lagi menahan gairah berahinya dan terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki hati nuraninya. Hatinya menolak namun badannya tidak dapat dikendalikan lagi dan terjadilah peristiwa itu. Dia telah menggauli wanita yang tidak dikenalnya itu, wanita yang agaknya berada dalam keadaan setengah sadar atau pingsan.

Ketika pengaruh hawa rangsangan yang amat kuat itu mulai melemah, pada pagi hari itu dia segera mengenakan pakaiannya dan turun dari pembaringan. Dia hampir gila karena penyesalan, bercampur keheranan dan penasaran mengapa sampai terjadi hal seperti itu.

Apa yang telah terjadi? Siapa gadis itu? Apakah adiknya, Siangkoan Leng yang sengaja menyuruh gadis itu melayaninya? Akan tetapi ketika dia keluar dari jendela kamar itu, dia mendapat kenyataan bahwa itu merupakan kamar terbesar dan di depan pintu kamar terdapat hiasan kamar pengantin dengan kain merah! Gadis itu adalah gadis calon pengantin, calon isteri Siangkoan Leng! Sie Bun Liong tidak dapat menahan lagi rasa malu, marah, dan penyesalannya. Perbuatannya semalam merupakan dosa yang tak dapat diampuni, merupakan perbuatan kotor dan hina, menyeretnya menjadi manusia iblis yang merusak kehormatan seorang gadis! Terkutuk! Dia lalu melarikan diri, meninggalkan Ban-hwa-pang dengan amat cepat sehingga tidak diketahui siapa pun.

Setelah berada jauh dari Ban-hwa-pang, dia berhenti, menjatuhkan diri di atas tanah lalu berlutut, menangis dan berdoa mohon pengampunan atas dosa yang telah diperbuatnya! Akan tetapi dia juga merasa heran.

Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan hina seperti itu, memperkosa seorang gadis yang berada dalam keadaan tidak berdaya? Sekarang baru dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah ditotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan dan tidak mampu mengeluarkan suara!

Akan tetapi, mengapa dia mau melakukan perkosaan seperti itu? Ini sama sekali bukan dirinya. Sampai mati pun dia tidak akan sudi melakukan hal itu. Akan tetapi mengapa dilakuannya juga?

Dia mengingat-ingat dan membayangkan apa yang terjadi kemarin sore. Dia minum-minum dengan Siangkoan Leng, minum arak sebanyak-banyaknya karena adiknya itu membujuk dan setengah memaksanya untuk minum, demi kebahagiaan adiknya. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi dan yang teringat hanya peristiwa malam tadi. Malam jahanam yang membuat dia berubah menjadi iblis! Mengapa begitu?

Sie Bun Liong duduk termenung, diam tak bergerak seolah telah berubah menjadi arca. Dia memikirkan hal yang telah terjadi secara aneh dan luar biasa itu. Lalu dia teringat akan perasaannya ketika mulai sadar dan mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan, di dekat seorang gadis yang rebah telentang dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa tubuhnya seperti dibakar, kepalanya berdenyut, telinganya berdengung sehingga sukar baginya untuk berpikir.

“Ah !” Tiba-tiba dia teringat bahwa adiknya, Siangkoan Leng adalah orang yang suka sekali mempelajari

tentang semua bunga di Lembah Selaksa Bunga itu dan membuat ramuan obat dari bunga-bunga itu!

Mungkin dia telah keracunan, pikirnya! Ya, malam itu dia terpengaruh racun yang amat hebat, racun perangsang yang amat kuat sehingga seolah melumpuhkan semua kesadaran dan pertahanan batinnya. Dia dalam pengaruh racun perangsang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat diracuni?

Apakah ketika dia minum-minum dengan adiknya? Dan siapa yang meracuninya? Adiknya sendiri? Rasanya tidak mungkin! Mana mungkin Siangkoan Leng meracuni kakak sendiri agar kakaknya memperkosa gadis yang menjadi calon isterinya? Sama sekali tidak mungkin! Lalu siapa? Apa yang sebenar telah terjadi?

Dia merasa malu, bahkan ngeri untuk kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Bagaimana dia dapat berhadapan muka dengan Siangkoan Leng setelah dia memperkosa calon isteri adiknya itu? Lebih lagi, bagaimana dia akan dapat berhadapan dengan gadis yang semalam telah dia perkosa?

Sampai lama sekali, setelah termenung di situ seperti orang yang kehilangan ingatan, Sie Bun Liong baru bangkit berdiri. Dia tidak boleh berdiam diri saja, pikirnya. Dia harus menyelidiki bagaimana peristiwa semalam itu dapat terjadi dan apa artinya semua itu.

Laki-laki bertubuh sedang dengan pakaian sederhana itu kini melangkah menuju ke Lembah Selaksa Bunga kembali. Wajahnya yang memiliki garis-garis kehidupan mendalam dengan bentuk yang jantan dan tampan itu kini tampak muram. Sepasang matanya yang biasanya lembut penuh kesabaran dan tenang itu kini tampak gugup dan bingung.

Setelah agak dekat dengan perkampungan Ban-hwa-pang dia mendengar suara orang-orang berkelahi di perkampungan itu. Dia terkejut dan cepat berlari menuju ke Ban-hwa-pang. Ketika dia tiba di sana dan memandang ke pekarangan gedung tempat tinggal adiknya, matanya terbelalak, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.

Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah, rambutnya awut-awutan, pakaiannya berlepotan darah, memegangi sebatang pedang yang berkilauan, berdiri di tengah pekarangan dan di sekelilinginya tampak mayat-mayat puluhan orang berserakan! Dia mendengar Hwe-thian Mo-li mengucapkan perintah tiga macam tugas kepada puluhan orang wanita yang berlutut menghadapnya.

Dengan hati penuh kengerian Sie Bun Liong maklum apa yang telah terjadi. Gadis yang dia gauli dalam keadaannya yang tidak wajar dan hampir tidak sadar itu adalah calon pengantin adiknya! Agaknya gadis itu memang ditawan adiknya dan agaknya hendak dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi karena gadis itu yang disebut Hwe-thian Mo-li kabarnya amat lihai, maka gadis itu ditotok dan direbahkan dalam kamar itu.

Dan ketika dia minum-minum dengan adiknya itu, Siangkoan Leng tentu telah mencampurkan obat perangsang yang amat kuat ke dalam arak yang diminumnya, lalu sengaja membawanya ke dalam kamar di mana calon pengantin itu rebah dalam keadaan tertotok dan telah ditanggalkan semua pakaiannya. Ah, dia kini dapat membayangkan apa yang terjadi.

Tidak salah lagi, tentu Siangkoan Leng sengaja menjebaknya, mungkin karena tahu bahwa dia pasti akan melarang adiknya memaksa Hwe-thian Mo-li menikah dengannya, maka adiknya yang telah tersesat itu menggunakan siasat seperti itu! Kalau sudah ternoda, dia mengharapkan Hwe-thian Mo-li tidak menolak lagi, dan dia yang sudah menodai gadis itu tentu tidak lagi dapat melarang adiknya menikah dan memaksa gadis itu menjadi isterinya!

“Lemah dan bodoh!”

Dia menggumam dan kembali dia melihat ke arah Hwe-thian Mo-li yang menghadapi para wanita itu. Dia dapat menduga bahwa setelah terbebas dari totokannya, tentu Hwe-thian Mo-li mengamuk dan membunuhi semua anggauta Ban-hwa-pang.

Dia bergidik melihat puluhan mayat berserakan seperti itu, dan hampir dia menjerit melihat onggokan daging di depan gadis itu. Dia mengenal sisa pakaian dari bekas tubuh yang kini hancur tercincang itu. Tak salah lagi, adiknya, Siangkoan Leng, juga telah dibunuh dan dicincang oleh Hwe-thian Mo-li!

Hampir saja Sie Bun Liong melompat untuk menyerang gadis yang liar dan ganas, yang telah dengan kejam membasmi semua orang Ban-hwa-pang. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan dirinya. Apa yang hendak dia lakukan? Membalas dendam dan membunuh gadis itu? Padahal, Hwe-thian Mo-li melakukan pembantaian itu karena merasa dirinya diperkosa. Dialah yang menjadikan gadis itu mengamuk seperti kemasukan iblis!

Teringat akan hal ini, Sie Bun Liong merasa lemas lagi, seluruh urat syarafnya seperti dilolosi dan dia menangis tanpa suara dengan sedih, menangisi kematian adiknya dan para anggauta Ban-hwa-pang, menangisi perbuatannya sendiri malam tadi. Ketika dia melihat gadis itu lari meninggalkan Ban-hwa-pang dengan cepat setelah memberi tugas kepada bekas anggauta Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong juga lari membayanginya.

Demikianlah, ketika Hwe-thian Mo-li menjatuhkan dirinya yang lemah lunglai di tepi telaga, kemudian merintih dan meratap-ratap menangis sedih menyebut ayah dan ibunya, Sie Bun Liong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pedang. Dia menangis dan dengan menyesal dan perasaan benci kepada diri sendiri dia menampari semuanya sampai kedua pipinya bengkak-bengkak dan kedua ujung bibirnya berdarah.

Setelah tangisnya mereda karena kekerasan hati Siang Lan tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan, gadis itu bangkit duduk melamun. Mukanya pucat dan basah, juga kotor terkena tanah basah. Dirabanya mukanya dan dilihatnya telapak tangannya yang terkena kotoran dari mukanya.

“Aku kotor...... aku kotor. !”

Ia berseru dan setelah memperhatikan keadaan sekeliling dengan penglihatan dan pendengarannya, yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar situ, ia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan masuk ke dalam air telaga. Ia menyelam lama sampai terengah-engah ketika muncul kembali dan ia menggunakan ilalang untuk menggosoki seluruh tubuhnya dengan kuat sehingga semua kulit tubuhnya yang putih mulus menjadi kemerahan.

Ketika tadi Hwe-thian Mo-li mulai menanggalkan pakaiannya, Sie Bun Liong terkejut dan heran, akan tetapi segera dia memejamkan matanya. Sudah menjadi wataknya sejak dulu untuk bersikap sopan terhadap wanita dan kecabulan nafsu berahi sebetulnya sudah lama dia jauhi. Dia hanya mengikuti gerakan gadis itu melalui pendengarannya karena pantang baginya melihat seorang wanita menanggalkan pakaiannya.

Setelah dia mendengar suara gadis itu masuk ke dalam telaga, baru dia membuka matanya dan dia melihat betapa gadis itu menyelam dan menggosoki badannya dengan ilalang. Dia merasa iba sekali karena dia seolah dapat merasakan keadaan gadis itu. Agaknya gadis itu hendak membersihkan diri dari penghinaan yang dialaminya semalam.

Kembali dia memejamkan matanya ketika gadis itu keluar dari air telaga, mengenakan pakaiannya kembali. Dia membuka mata mendengar gadis itu kembali meratap. “Aih...... aku kotor...... kotor......! Ayah...... Ibu...... aku tidak tahan lagi menanggung derita kecemaran ini !” Gadis itu menangis sesenggukan.

Posting Komentar