Tadi sehabis berkelahi membantai para anggauta Ban-hwa-pang, Siang Lan baru melihat betapa indahnya tempat itu. Lembah yang penuh dengan bunga beraneka warna! Sinar matahari pagi membuat pemandangan dari lereng itu semakin semarak dan indah sekali sehingga ia mengambil keputusan untuk memiliki lembah ini!
“Mulai saat ini, aku yang memiliki lembah ini. Akan kubangun lembah ini. Kalian yang mempunyai anak, bawalah semua harta milik kalian dan pergilah meninggalkan lembah. Akan tetapi kalian yang tidak mempunyai anak, boleh tinggal di sini membantuku Aku akan mendirikan sebuah perkumpulan terdiri dari wanita semua di lembah ini!”
Lima orang wanita yang semalam melayani Siang Lan, kemudian pingsan tertotok dan kini agaknya sudah pulih kembali dan ikut keluar, segera maju dan berlutut di depan gadis perkasa itu.
“Lihiap, kami berlima tidak mempunyai keluarga, kami ingin ikut dan membantu Lihiap,” kata seorang di antara mereka yang usianya sekitar tigapuluh dua tahun dan berwajah manis.
Siang Lan memang suka kepada mereka karena selama melayaninya mereka bersikap amat baik, bahkan merasa kasihan kepadanya. Ia mengangguk, lalu bertanya kepada pembicara itu.
“Enci, siapa namamu:,”
“Nama saya Kiok Hwa (Bunga Seruni), Bwe Kiok Hwa, Lihiap.”
“Baik, kuangkat engkau menjadi pembantu utamaku. Kuterima kalian berlima sebagai para pembantuku!” Lima orang wanita itu memberi hormat dengan girang.
Para wanita yang merasa tidak mempunyai anak atau keluarga, segera berbondong maju dan berlutut di belakang lima orang wanita pelayan itu. Mereka berjumlah sekitar tigapuluh orang, berusia antara limabelas sampai tigapuluh tahun. “Kami siap membantu dan menjadi anak buah Lihiap!” seorang di antara mereka berseru. Siang Lan merasa senang.
“Bagus! Sekarang kalian semua yang ingin membantuku, kuberi tugas dengan dipimpin Bwe Kiok Hwa. Pertama, bantulah para isteri dan anak mengurus penguburan suami dan ayah mereka. Semua jenazah agar dikubur di luar daerah bukit ini, di kaki bukit sana. Kalian pilih saja tempat yang baik. Kedua, kalian bantu mereka yang harus pergi meninggalkan lembah, dan atur agar mereka membawa semua barang milik mereka, juga kalau ada simpanan harta di sini, berilah bekal secukupnya kepada keluarga yang meninggalkan lembah. Aku tidak ingin ada laki-laki dan kanak-kanak berada di sini!
“Ketiga, bakar gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng ini. Aku tidak sudi melihatnya lagi, dan kita akan bangun sebuah gedung baru. Kiok Hwa, kau atur agar barang-barang berharga tidak ikut dibakar karena kita perlu untuk membiayai bangunan baru. Akan tetapi semua perabot dalam rumah ini harus dibakar habis. Aku tidak sudi lagi melihatnya. Nah, mengertikah kalian semua akan tiga tugas itu?”
“Kami mengerti!” terdengar para wanita itu riuh menjawab. Hati mereka merasa gembira karena selama ini para wanita di situ seolah hanya dijadikan budak, melayani para laki-laki dan terkadang diperlakukan kasar. Kini, dengan seorang ketua pendekar wanita, mereka melihat kecerahan di masa depan mereka.
“Untuk tugas pertama dan kedua, aku minta agar dapat diselesaikan dalam tiga hari. Setelah tiga hari, di sini tidak ada lagi wanita dengan anak-anak mereka, juga wanita yang tidak ingin menjadi anggauta perkumpulanku. Adapun tugas ketiga, yaitu membakar gedung, harus dilakukan sekarang juga. Nah, aku pergi dan tiga hari kemudian aku kembali ke sini!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Siang Lan lenyap dari depan para wanita itu yang menjadi makin takut. Mereka ada yang sudah mendengar bahwa gadis itu berjuluk Iblis Betina Terbang dan sekarang mereka menyaksikan sendiri betapa wanita itu pandai menghilang seperti iblis!
Hwe-thian Mo-li berlari menuruni lereng di mana terdapat lembah yang penuh dengan bunga itu. Setelah tiba di lereng bawah, ia menengok dan melihat asap membubung tinggi dan tahulah ia bahwa gedung tempat tinggal Siangkoan Leng itu mulai dibakar oleh para pembantunya. Ia membalik lagi dan memandang ke depan. Melihat sebuah telaga kecil dengan airnya yang mengkilap tertimpa sinar matahari pagi, ia cepat berlari menuju ke telaga itu.
Setelah tiba di tepi telaga kecil yang sunyi dan indah itu, Siang Lan yang merasa betapa tubuhnya lunglai, menjatuhkan diri di atas rumput tebal di tepi telaga dan menangislah gadis itu. Menangis sejadi-jadinya, tersedu-sedu, terisak sampai terengah dan merintih-rintih, bahkan tanpa ia sadari terdengar rintihannya memilukan.
“Ibuuu...... lbu......, Ayah...... di mana kalian......? Ibu......!” Hatinya terasa seperti diremas-remas teringat akan peristiwa semalam. Ia telah dihina, diperkosa seorang laki-laki macam Siangkoan Leng tanpa berdaya. Ia merasa begitu terhina, kotor dan menjijikkan.
“Ibuuu......! Suhuuu......, teecu (murid) lebih baik mati saja......!” Kini ia merintih memanggil mendiang gurunya yang mengasihinya seperti ayahnya sendiri.
Siang Lan duduk setengah rebah menelungkup, membiarkan mukanya terbenam dalam rumput dan menjadi basah oleh air mata dan embun, tubuhnya yang terisak-isak itu bergoyang-goyang, sesenggukan seperti seorang anak kecil. Ia telah membantai puluhan orang untuk melampiaskan dendamnya, namun perbuatan itu ternyata tidak memuaskan hatinya, bahkan menambah ganjalan hatinya kalau ia teringat bahwa belum tentu semua orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Ia telah membunuhi suami orang, ayah orang, tanpa memperhitungkan apakah yang ia bunuh itu jahat atau tidak.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa sejak ia lari meninggalkan lembah tadi, ada bayangan orang yang selalu mengikutinya dari jauh. Kini, ketika ia menangis, meratap dan merintih di tepi telaga kecil, bayangan itu bersembunyi di balik semak-semak, tidak begitu jauh darinya sehingga pengintai itu bukan saja dapat melihat semua yang ia lakukan, bahkan mendengar semua ratapan dan rintihannya.
Dan, orang itu, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, wajahnya tampak pucat dan matanya muram alisnya berkerut. Melihat Siang Lan meratap dan menangis, dia lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri yang sudah banyak ubannya itu sambil bercucuran air mata!
02.04. Penyesalan Seorang Pendekar “Sie Bun Liong, jahanam busuk kau! Apa yang telah kau lakuan......? Kau layak mampus !” Sepuluh jari
tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri sampai gelungnya terlepas awut-awutan, kemudian kedua tangannya menampari kedua pipinya dari kanan kiri.
“Plak-plak-plak-plak-plak-plak! Kau layak mampus, layak mampus huu-huu-huuhh......!” Dia menangis sambil menahan suaranya, air matanya bercucuran, kedua pipinya bengkak-bengkak oleh tamparannya sendiri dan kedua ujung bibirnya berdarah!
Kalau orang melihat Hwe-thian Mo-li menangis mengguguk seperti anak kecil seperti itu, tentu orang yang mengenal Hwe-thian Mo-li akan terheran-heran. Gadis yang dikenal dengan juluan Iblis Betina Terbang, yang terkenal pemberani, tak mengenal takut, keras, liar dan ganas itu, bagaimana mungkin kini menangis mengguguk seperti anak kecil?
Dan orang yang mengenal laki-laki yang bersembunyi itu tentu akan lebih heran. Dia adalah Sie Bun Liong yang telah kita kenal ketika malam tadi berkunjung ke rumah adik tiri berlainan ayah ibu di Ban-hwa-pang. Sie Bun Liong adalah seorang perantau, seorang kelana yang bertahun-tahun berkelana di daerah Tibet dan Himalaya, seorang ahli sastra dan ahli silat yang amat pandai, kini menangis, menjambak-jambak rambutnya dan menampari pipinya sendiri!
Sie Bun Liong maklum bahwa adiknya berlainan ayah dan ibu, Siangkoan Leng, adalah seorang laki-laki yang lemah dan mudah diperbudak nafsu-nafsunya. Karena itu, sebelum meninggalkan Ban-hwa-pang di mana adiknya itu menjadi ketua, dia sudah meninggalkan banyak pesan dan nasihat agar adiknya tidak meninggalkan jalan kebenaran seperti seorang pendekar.
Namun, ketika kemarin dia menuju ke Ban-hwa-pang, dia mendengar keterangan yang kurang menyenangkan tentang Ban-hwa-pang dari para penduduk. Maka, ketika melihat Ban-hwa-pang mempersiapkan pesta pernikahan adiknya itu, dia sudah merasa curiga dan ingin bertemu calon pengantin wanita untuk melihat apakah wanita itu mau menikah dengan Siangkoan Leng dengan suka rela atau dipaksa. Kalau dipaksa, dia akan turun tangan mencegah dan melarang adiknya memaksa wanita untuk menjadi isterinya!
Akan tetapi Siangkoan Leng melarangnya bertemu dengan calon pengantin dengan alasan yang kuat dan karena betapapun juga Sie Bun Liong memiliki rasa sayang kepada adik tiri ini, maka dia mau diajak minum bermabok-mabokan oleh adiknya. Dia minum sampai begitu maboknya sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika dia sadar dari keadaan setengah pingsan itu, dia merasakan tubuhnya panas dan tidak karuan. Kepalanya berdenyut-denyut dan berdengung, perasaannya demikian gembira tidak wajar.
Dia membuka mata dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di dekatnya rebah pula seorang wanita dalam keadaan telanjang bulat! Dalam keremangan cuaca dalam kamar dia melihat kulit tubuh yang putih mulus, ketika tersentuh merasakan kehangatan yang luar biasa dan mencium keharuman yang tiba-tiba membuat gairahnya berkobar dan memuncak!
Sie Bun Liong bukan seorang laki-laki yang mudah tergiur wanita, bahkan dalam usia empatpuluh dua tahun itu dia belum pernah bergaul secara intim dengan seorang wanita. Melihat keadaan dirinya yang juga setengah telanjang karena pakaian luarnya bertumpuk di tepi pembaringan itu, Sie Bun Liong mencubit lengannya sendiri karena mengira bahwa semua itu tentu hanya mimpi. Akan tetapi ternyata bukan mimpi.