Agaknya fajar telah menyingsing dan cuaca dalam kamar itu tidak segelap malam tadi. Ia melihat lima orang wanita penjaga masih rebah di lantai dan ketika ia memeriksa, mereka pun bukan sedang tidur melainkan pingsan tertotok pula!
Siang Lan cepat melompat melalui lubang jendela untuk melakukan pengejaran. Hatinya menangis dan menjerit-jerit teringat akan keadaan dirinya. Akan tetapi ketika tiba di luar ia tidak melihat orang yang semalam memperkosanya. Andaikata ia melihatnya, ia pun tidak akan mengenalnya karena semalam ia hanya melihat bayangan orang itu dalam kegelapan.
Akan tetapi hatinya merasa yakin bahwa pelakunya sudah pasti Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang. Kalau bukan dia, siapa lagi yang berani melakukan perbuatan keji yang terkutuk itu? Kini ia merasa hatinya panas. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Ia merasa seperti dibakar kemarahan dan kebencian.
Tiba-tiba muncul tiga orang anggauta Ban-hwa-pang. Mereka terkejut melihat calon pengantin yang tadinya menjadi tawanan itu telah bebas dan berada di luar kamar dengan rambut tergerai dan sepasang mata berkilat.
“Hei......! Nona pengantin, telah terlepas !” teriak seorang di antara mereka.
“Syuutt dukk!” Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tamparan tangan Siang Lan membuat
kepalanya retak.
Dua orang rekannya terkejut dan marah. Cepat mereka mencabut pedang akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang, kembali kedua tangan Siang Lan berkelebat dan mereka berdua roboh dan tewas!
Setelah membunuh tiga orang itu, Siang Lan menjadi semakin beringas seperti seekor harimau mencium darah. Ia menyambar sebatang pedang milik anggauta Ban-hwa-pang yang tewas itu, lalu ia mulai mencari Siangkoan Leng dengan hati penuh dendam kebencian yang membuat ia hampir gila mengingat akan malapetaka yang menimpa dirinya semalam!
Lima orang anggauta Ban-hwa-pang muncul. Para anggauta perkumpulan itu memang mulai bangun dan siap untuk melanjutkan persiapan perayaan pernikahan ketua mereka.
Ketika lima orang itu melihat Hwe-thian Mo-li berdiri dengan pedang di tangan, tentu saja mereka terkejut. Mereka sudah mendengar bahwa calon pengantin itu adalah seorang gadis yang berjuluk Iblis Betina dan lihai sekali.
Tadinya mereka mendengar dan bahwa gadis itu menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga tidak mungkin dapat lolos. Kini, tahu-tahu gadis itu telah berada di depan mereka. Maka sambil berteriak-teriak memanggil teman, mereka lalu mengepungnya.
“Nona, engkau hendak ke manakah? Sebagai calon pengantin, Nona tidak boleh keluar kamar ”
“Singgg crakkk!” Pembicara itu roboh dengan leher hampir putus terbabat pedang!
Empat orang yang lain terkejut dan marah. Mereka lalu mengeroyok dengan pedang mereka dan para anggauta lain yang mendengar keributan itu, berdatangan berbondong-bondong. Akan tetapi pedang rampasan di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung. Ia mengamuk seperti Iblis Betina benar-benar dan terdengar jeritan disusul robohnya tubuh para pengeroyok.
Darah muncrat dan membanjiri lantai! Karena ruangan itu terlalu sempit, apalagi sudah ada enam orang malang melintang tewas disambar pedangnya. Hwe-thian Mo-li merasa tidak leluasa mengamuk. Maka ia lalu melompat keluar dan setelah tiba di pekarangan depan rumah besar Siangkoan Leng, ia berhenti menanti sampai puluhan orang anggauta Ban- hwa-pang datang mengepungnya.
“Anjing-anjing jahanam keparat! Majulah kalian semua. Hari ini kalau tidak dapat membunuh bangsat Siangkoan Leng dan kalian semua anak buahnya, jangan sebut aku Hwe-thian Mo-li!” Ia menjerit dan segera tubuhnya berkelebatan, pedangnya menyambar-nyambar.
Terjadilah perkelahian yang mengerikan. Puluhan orang anggauta Ban-hwa-pang itu bagaikan segerombolan anjing serigala mengeroyok Hwe-thian Mo-li yang mengamuk seperti seekor naga. Jerit dan teriakan susul menyusul. Tubuh para pengeroyok berpelantingan dan tewas seketika, terkena sambaran pedang atau tamparan tangan, kiri gadis itu. Baju Hwe-thian Mo-li sudah berlepotan darah mereka yang ia robohkan. Banjir darah di pekarangan gedung itu.
Setelah merobohkan dan membunuh lebih dari duapuluh orang pengeroyok, tiba-tiba terdengar gerengan dahsyat dan muncullah Sang Ketua yang bertubuh tinggi besar itu.
“Perempuan iblis!” Siangkoan Leng membentak, melintangkan tombak cagaknya di depan dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah Hwe-thian Mo-li. “Perempuan tidak tahu diuntung! Engkau hendak kuangkat derajatmu menjadi Nyonya Ketua Ban-hwa-pang, sekarang malah membunuhi anggauta perkumpulanku! Engkau harus menebus dosa ini dengan nyawamu!”
Kini Siang Lan dapat melihat laki-laki itu dengan jelas dan ia bergidik muak. Kepala yang besar itu dengan semua anggauta badan yang bulat dan besar membuat ketua itu tampak seperti seekor kera yang menjijikkan. Mengingat bahwa orang ini semalam telah melakukan penghinaan yang sebesar-besarnya kepadanya, telah memperkosanya, maka sepasang mata Siang Lan mencorong.
Apalagi ia melihat pedangnya tergantung di pinggang orang itu, saking marahnya ia hampir tak mampu bicara. “Mampuslah, jahanam!” Ia menjerit dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya.
Siangkoan Leng bukan seorang lemah, akan tetapi ketika dia menggerakkan tombaknya untuk menangkis, terdengar bunyi berdentang dan dia terhuyung ke belakang. Dia terkejut bukan main. Ternyata gadis ini memang lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Dia meneriaki anggauta perkumpulannya untuk mengeroyok dan kembali Siang Lan mengamuk. Ia sengaja selalu menjauhi Siangkoan Leng yang merupakan lawan paling tangguh. Ia mengamuk di antara para anggauta Ban-hwa-pang.
Satu demi satu para pengeroyok itu ia robohkan. Setelah terjadi pertempuran yang lebih merupakan pembantaian itu selama hampir dua jam, akhirnya semua anggauta Ban-hwa-pang roboh dan tewas! Kini hanya tinggal Siangkoan Leng seorang yang menghadapi Siang Lan dengan muka pucat dan merasa ngeri. Limapuluh lebih anak buahnya tewas di tangan Hwe-thian Mo-li!
Tadi memang sengaja gadis itu menghindari Siangkoan Leng karena dengan cara demikian, tidak ada anak buahnya yang melarikan diri. Kalau ia lebih dulu merobohkan ketuanya, maka sisa anak buahnya pasti akan melarikan diri ketakutan. Memang Hwe-thian Mo-li sudah memperhitungkan dan mengambil keputusan untuk membunuh semua anggauta Ban-hwa-pang!
“Jahanam busuk! Sekarang tiba saatnya aku mencincang hancur tubuhmu yang amat kotor dan jahat itu!” Hwe-thian Mo-li berseru dan ia segera menyerang dengan cepat.
Siangkoan Leng masih merasa ngeri melihat semua anak buahnya tewas. Untuk melarikan diri pun sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia pun dengan nekat melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silat tombaknya yang lihai.
Mereka bertanding di antara puluhan mayat yang berserakan. Terkadang mereka terpaksa menginjak mayat karena pekarangan itu memang penuh dengan mayat. Sepak terjang Hwe-thian Mo-li amat mengerikan. Ia bagaikan kesetanan, tidak mengenal ampun. Hati dan pikirannya dipenuhi dendam kebencian yang amat hebat karena peristiwa semalam yang merenggut kehormatannya sebagai seorang gadis.
Siangkoan Leng adalah seorang yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman berkelahi. Dalam hal ilmu silat dan tenaga, mungkin tingkatnya tidak berselisih jauh dari tingkat kepandaian Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi yang jelas, dia kalah jauh dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga ketika dalam perkelahian itu Siang Lan mengerahkan seluruh gin-kangnya, pandang mata Ketua Ban-hwa-pang itu menjadi kabur karena baginya, tubuh gadis itu seperti berubah banyak, menyerang dari berbagai jurusan dan bayangannya sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk dapat mengarahkan serangannya. Maka, setelah bertanding kurang lebih limapuluh jurus lamanya, Siangkoan Leng yang memang sudah merasa jerih dan ngeri melihat betapa semua anak buahnya telah tewas, tak mampu mengelak dari tendangan Siang Lan yang mengenai bawah perutnya. Dia berteriak mengaduh dan roboh terjengkang!
Bagaikan kesetanan Siang Lan menubruk ke depan, pedang yang berada di pinggang Siangkoan Leng itu disambarnya dan di lain saat Lui-kong-pokiam (Pedang Pusaka Halilintar) yang bersarung buruk, pedang pusaka pemberian mendiang gurunya, menggantikan pedang rampasan yang dibuangnya. Tampak sinar menyilaukan mata menyambar-nyambar ke arah tubuh Siangkoan Leng. Hanya dua kali Ketua Ban-hwa- pang itu menjerit dan selanjutnya, tubuhnya dicincang oleh Siang Lan yang sudah memegang pedangnya sendiri. Mengerikan sekali keadaan tubuh Siangkoan Leng. Siang Lan terus membacoki sambil mencucurkan air mata.
“Mampuslah, mampuslah......!” berulang-ulang ia berseru dan akhirnya ia berdiri setengah lunglai, lelah sekali, berdiri memegangi pedangnya yang berlepotan darah memandang ke arah onggokan daging di depannya, bekas tubuh Siangkoan Leng yang dicincang berikut tulang-tulangnya itu!
Kemudian Nyo Siang Lan memerintahkan keluar semua penghuni dalam perkumpulan Ban-hwa-pang itu.
“Hayo, semua orang keluar dan berkumpul di sini! Siapa yang tidak mematuhi perintahku ini, akan kubunuh seperti yang lain!” bentaknya sambil mengerahkan lwee-kang (tenaga dalam) sehingga suaranya terdengar lantang menggema sampai ke seluruh lembah itu, bahkan menggetarkan semua pondok yang berada di situ!
Mendengar seruan ini, berbondong-bondong keluarlah keluarga para anggauta Ban-hwa-pang bersama anak-anak mereka. Para wanita dan anak-anak itu menangis karena merasa ngeri dan ketakutan melihat banjir darah dan mayat-mayat suami dan ayah mereka berserakan! Juga di gedung besar tempat tinggal Siangkoan Leng, keluar belasan orang wanita yang tadinya menjadi pelayan ketua itu. Mereka semua berlutut dan menggigil ketakutan.
Melihat puluhan orang wanita dan kanak-kanak itu, hati Siang Lan menjadi agak lemas dan kemarahannya memudar, terganti rasa iba.
“Hemm, mana yang laki-laki? Aku tidak melihat seorang pun laki-laki di antara kalian!”
“Semua laki-laki telah tewas terbunuh, Li-hiap (Pendekar Wanita), dan ada beberapa orang yang melarikan diri. Tinggal kami para isteri dan anak. !” jawab seorang di antara mereka yang agak tabah.